Mohon tunggu...
dora melisa
dora melisa Mohon Tunggu... Pustakawan - just an ordinary people

Librarian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Objek Wisata Penuh Sesak, Apakah Masyarakat Sudah Jenuh dengan COVID-19?

29 Juni 2020   20:05 Diperbarui: 29 Juni 2020   19:56 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

4 Bulan bersama COVID-19, Apakah Masyarakat Mulai Jenuh?

 Sejak munculnya kasus virus Corona/ COVID-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan. Aktivitas di luar rumah dibatasi sebagai upaya untuk menekan laju penyebaran virus. Kegiatan baik di instansi pemerintah maupun swasta, sedapat mungkin dilakukan dari rumah. 

Untuk pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dari rumah, pekerja/pegawai dan instansinya diwajibkan mengikuti aturan/protokol kesehatan. Di bidang pendidikan, aktifitas belajar mengajar baik dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi juga dilakukan secara daring/online.

Hampir empat bulan wabah COVID-19 melanda Indonesia, dan selama itu pula masyarakat "terkungkung" dalam rumah dengan berbagai aktifitas yang tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. Ternyata tidak sedikit masyarakat yang mengeluhkan kondisi ini. 

Di sejumlah laman media sosial, banyak curhatan masyarakat yang merindukan suasana beraktifitas di luar rumah. Rindu berkumpul kembali dengan teman-teman atau "nongkrong" di cafe sambil mengerjakan tugas, berwisata bersama keluarga atau bahkan sekedar berbelanja ke mall atau pusat perbelanjaan lainnya tanpa harus was-was tertular virus Corona.

Diberlakukannya New Normal di empat provinsi sepertinya menjadi angin segar bagi masyarakat untuk dapat beraktifitas kembali di luar rumah. Meski New Normal atau tatanan normal baru yang berlaku harus mematuhi standar protokol kesehatan yang ditetapkan kementerian kesehatan, namun pada kenyataannya banyak juga masyarakat yang tidak patuh. 

Tidak ada masker, tidak ada jaga jarak/physical distancing dan beberapa protokol kesehatan lainnya yang tidak dilakukan masyarakat. Entah apa yang ada dipikiran masyarakat sehingga tidak memperhatikan standar kesehatan yang dianjurkan. Mungkin saja mereka mulai lelah dengan segala protokol kesehatan yang harus dipenuhi atau tidak lagi menganggap COVID-19 sebagai sesuatu yang membahayakan.  

Objek Wisata Diserbu Masyarakat

Kendati baru empat provinsi yang menjalankan New Normal, pada kenyataan masyarakat di beberapa daerah lain di Indonesia terlihat sudah kembali beraktifitas secara "normal". Salah satu aktifitas yang terlihat cukup mencolok adalah di sektor pariwisata. Sejumlah pemberitaan dan unggahan di media sosial memperlihatkan aktifitas masyarakat di sejumlah objek wisata di Indonesia terlihat cukup padat. 

Pada hari Sabtu dan Minggu, ruas jalan menuju tempat-tempat wisata dipenuhi kendaraan roda dua dan roda empat. Terlihat sejumlah warga tidak mematuhi standar protokol kesehatan. Bahkan sebelum diberlakukannya New Normal, sejumlah objek wisata di Indonesia terlihat padat pasca lebaran Idul Fitri 1441 H. 

Tradisi liburan mengunjungi sejumlah objek wisata pasca lebaran ternyata tetap berjalan meski di tengah situasi pandemi COVID-19. Sebelum lebaran, mall dan sejumlah pusat perbelanjaan juga menjadi sasaran serbuan warga dalam menyambut Idul Fitri.     

 Kondisi masyarakat yang ramai-ramai memadati tempat wisata ini apakah mungkin gambaran dari kejenuhan masyarakat yang sudah berdiam diri di rumah selama empat bulan terakhir? 

Bisa jadi masyarakat sudah jenuh sehingga merasa perlu melakukan penyegaran/refreshing ke tempat wisata untuk mendapat suasana baru dan berbeda. Di satu sisi hal ini justru berdampak baik bagi pariwisata di Indonesia yang sempat "mati suri" karena aktifitasnya ditutup sejak munculnya wabah Corona.

Dilema Sektor Pariwisata 

New Normal sebagai langkah pemerintah untuk memulihkan keadaan ekonomi menimbulkan dilema terhadap beberapa sektor salah satunya pariwisata. Tidak dipungkiri sektor pariwisata merupakan salah satu penunjang pekonomian di Indonesia. Beberapa dearah justru menjadikan pariwisata sebagai "jualan" utamanya dalam meningkatkan pendapatan daerah. 

Lalu bagaimana  menggerakan sektor pariwisata di saat ancaman COVID-19 masih membayangi kehidupan masyarakat? Tentu harus ada standar yang perlu ditetapkan yang mengacu pada standar kesehatan. 

Di samping itu ada faktor-faktor lain seperti penetapan kuota pengunjung, harga tiket masuk  yang mungkin saja berubah karena pertimbangan kuota pengunjung tersebut, mekanisme pemeriksaan sebelum masuk ke lokasi wisata dan banyak hal lainnya yang harus jadi perhatian.

Semua hal tersebut di atas tidak mungkin dilakukan oleh pelaku pariwisata atau pemerintah daerah saja. Harus ada payung kebijakan yang disusun secara bersama-sama dengan pemerintah pusat yang tentunya juga melibatkan sejumlah kementerian/lembaga dan asosiasi-asosiasi pariwisata (lintas sektor). 

Harus ada perencanaan kebijakan tentang bagaimana wisata yang aman di tengah pandemi sehingga New Normal yang juga diartikan hidup berdampingan dengan COVID-19 dapat berjalan sesuai prosedur.      

Perencanaan dan Kebijakan Komunikasi 

Agar sektor pariwisata kembali bangkit di tengah situasi yang masih dibayang-bayangi virus Corona, harus ada perencanaan yang matang terkait bagaimana menjalankan pariwisata yang aman bagi masyarakat. 

Perlu ada komunikasi strategis antara pelaku pariwisata, pemerintah pusat maupun daerah dan organisasi atau asosiasi lainnya yang bergerak di bidang pariwisata. Komunikasi yang baik perlu untuk melakukan perubahan dan membangun pemahaman.

Komunikasi adalah tentang memelihara perubahan (Patterson & Radtke, 2009: 8-9). Agar perubahan sosial yang diharapkan berjalan sesuai rencana dan harapan, kunci keberhasilannya adalah komunikasi strategis. Dalam ilmu komunikasi, Komunikasi strategis ini didorong oleh misi, berfokus pada audiens, dan berorientasi pada tindakan. 

Komunikasi strategis adalah seni mengekspresikan ide yang dikombinasikan dengan ilmu transmisi informasi. Komunikasi strategis adalah menyusun pesan sehingga memotivasi audiens target untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. 

Komunikasi strategis membantu memproyeksikan citra positif organisasi, memfokuskan perhatian publik, memperkuat kemitraan masyarakat, dan memaksimalkan sumber daya organisasi yang langka untuk mencapai perubahan sosial (Patterson & Radtke, 2009: 8-9).

Perencanaan dan kebijakan yang melibatkan lintas sektor ini harus sistematis dan visioner. Dalam ilmu komunikasi, perencanaan komunikasi adalah suatu usaha yang sistematis dan kontiniu dalam mengorganisir aktivitas manusia terhadap upaya penggunaan sumber daya komunikasi secara efisien guna merealisasikan kebijakan komunikasi (Amic, 1982). 

Kebijakan komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi (Abrar, 2008).  Kebijakan komunikasi dalam konteks luas merupakan perencanaan strategis jangka panjang, sedangkan perencanaan komunikasi merupakan perencanaan operasional jangka menengah atau jangka pendek.

Ini artinya perencanaan dan kebijakan yang disusun harus memperhatikan sejumlah aspek. Ketika kebijakan dibuat, harus dilihat poin interest affectednya, yaitu apakah kebijakan itu melibatkan atau mempengaruhi banyak pihak. 

Dalam konteks pariwisata pihak-pihak yang mungkin terpengaruh selain pelaku pariwisata juga pemerintah, masyarakat/pengunjung, sektor perhotelan, industri kreatif dan sektor transportasi. Bagaimana kebijakan untuk semua sektor yang terkait ini dapat bersinergi agar tidak ada pihak yang dirugikan.

 Kemudian juga harus dipikirkan manfaat dari kebijakan tersebut, apakah manfaatnya dapat dirasakan banyak pihak atau hanya segelintir saja. Sebaiknya dirasakan banyak pihak karena, semakin banyak manfaat yang diberikan, kebijakan tersebut diindikasikan berhasil. 

Selanjutnya dipertimbangkan juga skala kebijakannya, karena ini terkait dengan tingkat perubahan yang diinginkan. Apakah perubahan secara luas atau hanya beberapa aspek saja.

Hal yang juga tidak kalah penting dalam sebuah kebijakan adalah letak pengambilan keputusannya dimana? Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. 

Semakin jauh letak pengambil kebijakan dari pihak yang dilayani, semakin sulit kebijakan tersebut diimplementasikan. Misalnya, selain kebijakan yang secara menyeluruh harus dibuat juga kebijakan untuk lingkup yang lebih sempit atau khusus. 

Contohnya peraturan daerah (perda) tentang pariwisata yang mengacu pada peraturan menteri pariwisata dan eknomi kreatif. Setiap daerah tentu tidak akan sama perdanya karena disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut.

Berikutnya dalam menyusun perencanaan dan kebijakan juga harus ditetapkan siapa pelaksana programnya, dalam hal ini mungkin saja pemerintah, sektor swasta/pelaku pariwisata dan masyarakat di sekitar objek wisata. 

Terakhir diperhatikan juga kebijakan tentang bagaimana pengelolaan sumber dayanya. Jika tidak ada perencanaan dan kebijakan yang jelas, mungkin sumber daya yang digunakan tidak sesuai ketentuan/digunakan secara serampangan atau sesuka hati.

Setelah sebuah perencanaan dan kebijakan disusun, harus dipikirkan bagaimana penerapannya. Kebijakan perlu mempertimbangkan kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. 

Selain pemerintah (pusat maupun daerah) dan pelaku/ asosiasi pariwisata, kebijakan ini juga dapat melibatkan industri kreatif, perhotelan, industri perdagangan dan jasa transportasi, pengamat pariwisata atau komunitas peduli pariwisata. Keterlibatan mereka misalnya dengan mensosialisasikan kebijakan yang sudah dibuat dan memberikan pemahaman tentang aturan itu.

Dalam mengimplementasikan kebijakan itu juga dilihat bagaimana karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa, karena lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. 

Misalkan ketika kebijakan tersebut diterapkan tapi tidak ada perhatian serius dari pihak yang terlibat dan tidak ada dukungan dari rezim yang sedang berkuasa untuk mensosialisasikannya, tentu saja tidak akan berhasil.

Selanjutnya tingkat kepatuhan dan respon dari pelaksana. Pelaksana dalam hal ini misalkan dinas pariwisata, harus menindaklanjuti kebijakan dengan menyusun agenda atau calender event pariwisata untuk mendongkrak kembali kunjungan wisatawan. Bentuk respon lain adalah dari pelaku industri perhotelan, bagaimana mempersiapkan hotel yang nyaman dan aman pada situasi pandemi COVID-19 sehingga pengunjung/wisatawan tidak khawatir untuk menginap. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun