Mohon tunggu...
Yohannes Krishna Fajar Nugroho
Yohannes Krishna Fajar Nugroho Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Video Editor dan Junior Public Relations

It's ok to be different.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekerasan Seksual dalam Perspektif Teori Kultivasi

6 Juni 2023   18:32 Diperbarui: 29 Agustus 2023   08:39 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Dokumentasi Pribadi

Fenomena Kekerasan Seksual

Ada berita menyedihkan yang terjhadi di Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu, yaitu kasus pemerkosaan seorang gadis berusia 15 tahun yang dilakukan oleh 11 orang dewasa, dan yang lebih miris, bahwa seorang anggota kepolisian dari Korps Brimob turut serta terlibat dalam peristiwa itu. Tidak jauh dari kasus itu, seorang guru ngaji cabuli duabelas santriwati di sebuah pondok pesantren di Bandung. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada sebanyak 4.280 kasus kekerasan seksual terjadi di tahun 2023. Kenyataan ini adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan karena terjadi di negara yang mengklaim menjunjung tinggi sopan santun dan etika. Dalam artikel ini saya akan melihat kasus-kasus ini dengan kacamata teori kultivasi yang diperkenalkan oleh George Gebner, dan kawan-kawannya. 

Tapi, sebelum saya masuk kesitu, saya akan coba tarik dari tingkat pendidikan rata-rata warga negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa rata-rata lama pendidikan warga indonesia adalah selama 9,4 tahun yang mana hanya sampai di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Padahal ini sudah tahun 2023 tapi rata-rata tingkat pendidikan warga hanya di tingkat SMP. Tidak mengherankan apabila tayangan-tayangan televisi, atau video di internet masih lebih laris manis daripada artikel-artikel jurnal. Tayangan audio visual jauh lebih mudah dipahami daripada bentuk teks. Kelompok orang yang memiliki tingkat pendidikan rata-rata sembilan tahun tidak akan mau dan mampu untuk memahami jurnal-jurnal penelitian yang diterbitkan oleh kampus-kampus besar. Karena kebanyakan dari mereka mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghibur. 

Berbicara soal komunikasi massa, dikenal dengan pola one to many dimana pesan disampaikan dari satu pihak ke sejumlah pihak yang dikenal sebagai Massa atau orang banyak, yang tidak saling mengenal. Banyak teori-teori dalam ilmu komunikasi yang berkembang seperti Hypodemic Theory, Stimulus Organism and Responses, Framing, Kultivasi dan Agenda Setting; dalam konsep ini Massa atau Khalayak dianggap sebagai pihak yang pasif, hanya menerima pesan dan memasukkannya sebagai acuan dalam dirinya sendiri. 

Seiring berjalannya waktu, Massa atau khalayak sudah dianggap sebagai khalayak aktif, sehingga khalayak bisa memilih channel apa, pesan apa yang ingin dia terima. Teori yang dikenal dalam era ini adalah Uses and Gratification Theory. Pada masa ini, media massa masih dikontrol oleh satu pihak untuk menyediakan pesan-pesan kepada khalayaknya. Meskipun banyak baron yang menguasai media, tapi pesan yang disampaikan terstruktur dan dikelola dengan apik dan rapih oleh tim redaksi, khalayak masih mempunyai pilihan untuk menonton apa yang berguna baginya. 

Kehadiran internet banyak mengubah pola komunikasi massa yang sebelumnya telah terjadi, dari One To Many menjadi Many to Many.  Setiap orang yang menggunakan internet bisa menjadi komunikator dan komunikan. Internet menjadi sangat tidak terbatas dan menjadi sangat luas bagi kehidupan. Bahkan pemerintah tidak bisa mengontrol internet karena cakupan internet yang terlalu luas. Memang pemerintah sudah memblokir situs-situs yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, tapi karena internet menyediakan segala kemudahan, maka situs-situs yang sudah diblokir itu bisa diakses menggunakan VPN. Jadi seketat apapun kontrol pemerintah, massa atau khalayak masih mampu untuk mengakses website-website tersebut, bahkan mungkin di media sosial Twitter, maupun telegram. 

Lalu bagaimana melihat kasus kekerasan seksual dengan teori Kultivasi?

Teori ini sebenarnya digunakan untuk melihat impact dari tayangan media massa televisi, Gerbner menyatakan bahwa Kultivasi merupakan proses kumulatif dimana televisi menumbuhkan persepsi atau keyakinan terhadap realitas sosial kepada khalayak. Tentu saja seperti yang telah saya bahas diatas, khalayak dengan tingkat pendidikan rendah akan dengan mudah menerima pesan yang disampaikan oleh media massa. Memang banyak yang tidak bisa menerima jika saya membahas internet dengan teori kultivasi, tapi dalam hal ini saya melihat ada sedikit kesamaan, sehingga tidak ada salahnya jika saya membahas dengan teori kultivasi. Internet seperti kita ketahui menyediakan banyak konten, termasuk audio-visual.

Di negara-negara maju, film porno adalah sebuah industri media profesional. Pemainnya dibayar dengan profesional dan peredarannya dikawal ketat, hanya kelompok umur dewasa yang diperkenankan membeli film-film itu. Sedangkan di Indonesia, film-film itu banyak dipasarkan di daerah Glodok. Sex bebas juga menjadi hal yang lumrah di negara maju, karena mereka memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Negara maju, tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan merupakan satu hal yang biasa, sementara di Indonesia seorang pria yang bermalam di rumah si pacar sudah jadi omongan tetangga. Yang jadi masalah adalah ketika kebiasaan di negara maju, masuk ke Indonesia yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tabu, dan tidak pantas. Jangankan film porno, edukasi sex saja diberikan di tingkat Sekolah Menengah Atas. Idealnya, pendidikan seks diberikan di usia dini, supaya bisa mempersuasi anak-anak tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap lawan jenis. 

Konten pornografi juga seperti dalam pembahasan diatas sudah menjadi biasa di media internet, karena akses internet masih dikuasai oleh negara maju. Sekalipun kementerian Komunikasi Informasi sudah memblokir ribuan situs porno, tapi saking luasnya dunia internet, pemerintah tidak akan mampu menangani itu semua. Terkait juga dengan paparan di atas mengenai rata-rata lama pendidikan warga NKRI, mereka akan dengan mudah menganggap tindakan-tindakan dalam film-film pornografi seperti berhubungan sex dengan banyak pria atau wanita merupakan hal yang wajar terjadi. 

Tidak heran jika kasus kekerasan seksual di tahun 2023 ini mencapai lebih dari 4000 kasus. Kasus-kasus itu ada, karena dilaporkan, jika tidak dilaporkan kasus itu akan tertutup. Singkatnya begini, orang dengan intelektualitas yang rendah akan dengan mudah menerima terpaan  pesan-pesan pornografi melalui media sosial, dan menganggap hal itu adalah sebuah kenyataan yang terjadi sehingga dia melakukan kekerasan seksual tersebut di lingkungan yang mendukung. Jangankan orang dengan intelektualitas rendah, bahkan seorang guru ngaji bisa mencabuli belasan santriwati. 

Tidak mungkin si guru ngaji ini mempelajari hal biadab itu dari kitab suci. Terpaan konten pornografi di internet menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya hal-hal seperti itu. Mungkin ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, tapi jika kita mencoba melihat masalah ini dengan kacamata Teori Kultivasi, terpaan konten pornografi lah yang menyebabkan banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. 

Kesimpulan.

Seperti yang sudah saya bahas diatas bahwa efek dari kultivasi ini adalah terpaan pesan yang kumulatif yang secara terus menerus terhadap orang-orang yang menyaksikan tayangan televisi atau internet atau audio visual sehingga dianggap sebagai sebuah kenyataan yang ada oleh orang-orang yang menyaksikannya. Dalam hal ini, terpaan film porno yang menjadi industri di negara maju, menjadi konsumsi bagi khalayak di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada akhirnya semua kembali ke tiap-tiap individu, mau menjadi orang yang mudah terpengaruh oleh media massa, atau menjadi orang yang mampu mencerna pesan-pesan yang ada di media massa. Dengan sumberdaya yang sedikit, kita tidak akan mampu membendung air sungai. Supaya tidak terjadi banjir yang merugikan, ada baiknya kita membuat saluran-saluran yang terkontrol dan diawasi dengan rapi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun