Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku, Yoga dan Duka Mama

27 Oktober 2015   19:27 Diperbarui: 27 Oktober 2015   20:36 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Mama lusa mau ke Semarang. Kakakmu Risma dapat  tugas ke luar kota selama dua minggu. Dia meminta Mama untuk menjaga Disa, kasian kalau tidak ada yang menemani.” Mama menyampaikan ini usai berbicara melalui telepon genggamnya dengan Kak Risma.

“Aku yang mengantar, ya Ma. Aku ingin juga main ke Semarang,” ujarku sambil mempererat  tali sepatuku yang sebelah kanan.

“Gak usahlah. Kamu kan sekolah,” jawab mama sambil meneruskan menyapu rumah yang tadi sempat terhenti karena telepon dari Kak Risma.

“Mama pergi sendiri?”  tanyaku lagi. Kali ini saat berpamitan untuk berangkat ke sekolah.

“Dengan Yoga. Mama kan tidak mungkin meninggalkannya,” jawaban yang ini lagi. Selalu jawaban ini yang aku dengar setiap kali dia bermaksud mengajak Yoga dan meninggalkanku.

Setiap kali kata-kata itu sudah diucapkan Mama aku akan berhenti bicara. “sabar ya, De,” lanjut Mama  kemudian.  Aku juga tak  menanggapi ucapan Mama dan segera melangkahkan kaki meninggalkan rumah.

Usiaku dengan Yoga hanya tertaut 30 menit. Dia yang lahir lebih dahulu. Ketika masih kecil kami selalu mengenakan pakaian yang sama, sepatu yang sama, bahkan semua perlengkapan sekolah kami juga selalu sama. Tapi, sejak teman-temanku selalu mengolok-olok, aku pun  menyadari bahwa aku dan dia berbeda, aku mulai menolak bila harus mengenakan pakaian atau apapun yang sama dengannya. Aku tak mau dikatakan sama dengannya.

Semakin hari perbadaan antara aku dan Yoga semakin kentara. Yoga bertubuh lebih besar, bermata lebih sipi, berbibir lebih tebal. Yoga tidak banyak bicara. Semakin jelas perbedaan itu, semakin jelas pula perbedaan perhatian yang diberikan oleh Mama kepada kami berdua.

Mama selalu saja mendahulukan keinginan Yoga dari pada keinginanku, “Yoga itu tidak seberuntung kamu, De. Dia tidak secerdas kamu. Walau badannya besar, dia tidak sekuat kamu. Kamu bisa mengisi hari-harimu bersama dengan teman-temanmu. Dia hanya punya kita. Itulah yang membuat Mama tidak sampai hati jika harus membuatnya kecewa.” Ucapan Mama yang penjang lebar ini sudah pasti tidak bisa kubantah walaupun sebenarnya tidak aku pahami apalagi aku setujui.”

Sebagai anak bungsu, seharusnya Mama memanjakan aku. Jangankan memanjakan, justru Mama selalu memintaku mengalah.

“Ma, Yoga ni, Ma,” teriakku panik. Aku dan temanku Firman tengah seru-seruan bermain badminton di halaman depan rumah. Yoga tiba-tiba datang dan meminta raketku. Dia terus berusaha merebut raket itu dariku. Dengan kesal akhirnya aku melepaskan raket yang sedang ditariknya  dengan keras itu sehingga dia terjengkang ke belakang. Yoga pinsan.

Kejadian itu membuat Mama sangat marah. Mama menghukumku. Menyetop uang sakuku selama tiga hari. Gara-gara tidak mendapat uang saku, aku tidak bisa menonton pertandingan final bola basket tim putri sekolahku melawan sekolah lain yang menjadi lawan abadi di final. Aku tidak bisa membuktikan perhatianku kepada Indri, salah satu pemain tim basket sekolahku, yang selama ini menjadi teman dekatku. Aku benci Yoga.

@@@

Sudah hampir satu minggu Mama dan Yoga di Semarang. Aku hanya sendirian di rumah. Selama ini kami memang hanya bertiga. Papa sudah hampir dua tahun meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Aku mulai merasa bosan. Untung saja  beberapa teman  menawarkan diri untuk menemani. Mereka selalu datang dan berkumpul di rumah bahkan sampai menginap. Banyak hal yang bisa aku lakukan bersama dengan mereka  tanpa harus takut dimarahi Mama. Begadang, mencoba-coba rokok, atau hal-hal lain yang selama ini belum pernah aku coba karena takut dimarahi Mama. Aku menemukan dunia lain yang mengasyikkan.

Karena tidur terlalu malam, kami  sering  terlambat bangun di pagi hari. Agar tidak dimarahi guru, kami  membolos.

“De, Mama belum bisa pulang. Yoga tiba-tiba sakit,” ujar Mama di suatu pagi melalui telepon. “Kamu baik-baik saja, kan?” lanjutnya lagi. Kabar ini seharusnya membuatku sedih, tapi nyatanya aku malah merasa senang. Aku merasa lebih bebas  tanpa pengawasan Mama.

Sudah hampir satu bulan, Mama dan Yoga belum juga pulang. Petualanganku  semakin jauh. Kami mulai berani mencoba minuman yang mengandung alcohol. Keharusanku untuk datang ke sekolah sudah tidak aku pedulikan. Dunia kami sudah jungkir balik. Aku hampir tak pernah melihat matahari.  Sepanjang siang aku akan tertidur dengan pulas dan malam hari kami baru mulai beraktivitas.

Setelah beberapa hari tak ada kabar dari Mama, suatu pagi Mama kembali meneleponku. “De…” Mama tidak segera  melanjutkan ucapannya. Suaranya terdengar parau. Aku yang terbangun karena suara dering telepon, berusaha keras menahan mataku agar tidak kembali terpejam. “De, Yoga…” kembali diam, yang jelas terdengar hanya suara isakan dan helaan nafas berat.. “De, Yoga tidak tertolong,” berikutnya aku hanya mendengar suara tangisan Mama. Suara tangisan seorang Ibu yang kehilangan anak yang disayangi.

Tubuhku tiba-tiba lemas. Aliran darahku seakan berhenti tiba-tiba. Mataku terpaku pada tiga lembar surat panggilan orang tua dari kepala sekolah yang tidak pernah kukabarkan kepada Mama. Di samping ketiga amplop itu tergeletak pula  sebuah map berwarna biru yang berisi surat pemberhentianku dari sekolah karena di dalam tasku telah ditemukan beberapa butir pil terlarang. Dan aku tak mampu membayangkan kehancuran Mama saat mengetahui semua ini.

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun