Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku, Yoga dan Duka Mama

27 Oktober 2015   19:27 Diperbarui: 27 Oktober 2015   20:36 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kejadian itu membuat Mama sangat marah. Mama menghukumku. Menyetop uang sakuku selama tiga hari. Gara-gara tidak mendapat uang saku, aku tidak bisa menonton pertandingan final bola basket tim putri sekolahku melawan sekolah lain yang menjadi lawan abadi di final. Aku tidak bisa membuktikan perhatianku kepada Indri, salah satu pemain tim basket sekolahku, yang selama ini menjadi teman dekatku. Aku benci Yoga.

@@@

Sudah hampir satu minggu Mama dan Yoga di Semarang. Aku hanya sendirian di rumah. Selama ini kami memang hanya bertiga. Papa sudah hampir dua tahun meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Aku mulai merasa bosan. Untung saja  beberapa teman  menawarkan diri untuk menemani. Mereka selalu datang dan berkumpul di rumah bahkan sampai menginap. Banyak hal yang bisa aku lakukan bersama dengan mereka  tanpa harus takut dimarahi Mama. Begadang, mencoba-coba rokok, atau hal-hal lain yang selama ini belum pernah aku coba karena takut dimarahi Mama. Aku menemukan dunia lain yang mengasyikkan.

Karena tidur terlalu malam, kami  sering  terlambat bangun di pagi hari. Agar tidak dimarahi guru, kami  membolos.

“De, Mama belum bisa pulang. Yoga tiba-tiba sakit,” ujar Mama di suatu pagi melalui telepon. “Kamu baik-baik saja, kan?” lanjutnya lagi. Kabar ini seharusnya membuatku sedih, tapi nyatanya aku malah merasa senang. Aku merasa lebih bebas  tanpa pengawasan Mama.

Sudah hampir satu bulan, Mama dan Yoga belum juga pulang. Petualanganku  semakin jauh. Kami mulai berani mencoba minuman yang mengandung alcohol. Keharusanku untuk datang ke sekolah sudah tidak aku pedulikan. Dunia kami sudah jungkir balik. Aku hampir tak pernah melihat matahari.  Sepanjang siang aku akan tertidur dengan pulas dan malam hari kami baru mulai beraktivitas.

Setelah beberapa hari tak ada kabar dari Mama, suatu pagi Mama kembali meneleponku. “De…” Mama tidak segera  melanjutkan ucapannya. Suaranya terdengar parau. Aku yang terbangun karena suara dering telepon, berusaha keras menahan mataku agar tidak kembali terpejam. “De, Yoga…” kembali diam, yang jelas terdengar hanya suara isakan dan helaan nafas berat.. “De, Yoga tidak tertolong,” berikutnya aku hanya mendengar suara tangisan Mama. Suara tangisan seorang Ibu yang kehilangan anak yang disayangi.

Tubuhku tiba-tiba lemas. Aliran darahku seakan berhenti tiba-tiba. Mataku terpaku pada tiga lembar surat panggilan orang tua dari kepala sekolah yang tidak pernah kukabarkan kepada Mama. Di samping ketiga amplop itu tergeletak pula  sebuah map berwarna biru yang berisi surat pemberhentianku dari sekolah karena di dalam tasku telah ditemukan beberapa butir pil terlarang. Dan aku tak mampu membayangkan kehancuran Mama saat mengetahui semua ini.

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun