Kerjasama riset internasional banyak dilakukan oleh negara maju seperti: Amerika; Jepang; Jerman; Perancis; Inggris; China; dan Australi. Pelaku kolaborasi riset antara lain: mahasiswa program master atau doktor, dosen, peneliti, dan ada juga professor. Bidang studi yang paling diminati sejak dulu hingga kini adalah penelitian berbasis pada bidang biodiversitas.Â
Hal ini disampaikan Sri Wahyono, Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN di acara Sosialisasi Perizinan Peneliti Asing, Selasa (15/6).
Biaya riset di Indonesia tidak sebanding denga apa yang diperoleh para peneliti asing yang datang ke Indonesia, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2014 Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Riset dan Teknologi, sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN.Â
Dengan besaran biaya riset yang mereka keluarkan tentu saja mereka tetap memperoleh banyak untung dari pada peneliti Indonesia selaku mitra kerjanya.
Dalam acara Wallace Week 2017 di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Senin (16/10/2017), Jatna Supriatna salah satu anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengatakan "Laboratorium alam terbesar di dunia bernama Wallacea. Keberuntungan yang sangat besar kalau kita menghargai laboratorium alam, dari pengobatan, pertanian, dan teknologi yang ada di sana".Â
Wallacea letaknya mencakup sekelompok pulau-pulau dan kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah. Selain kaya akan biodiversitas Indonesia di kenal dengan laboratorium alam terbesar di dunia, Indonesia juga kaya akan pengetahuan tradisional dan memiliki banyak pulau dengan jumlah lebih dari 17.000.
Sudah sejak lama semua orang tau bahwa Kalimantan atau lebih dikenal dengan Borneo oleh orang asing, menginspirasi banyak ilmuwan mancanegara untuk melakukan penelitian dan membuat film di hutan Kalimantan. Bahkan sepanjang sejarah pemberian izin penelitian kepada peneliti asing, Kalimantan merupakan salah satu pulau yang diminati.
Mengapa demikian? Word Conservation Monitoring Center pernah melaporkan bahwa Indonesia merupakan kawasan yang sangat penting karena kaya akan tumbuhan obat. Seperti halnya tanaman obat di Kalimantan Tengah menyebar di daerah pedalaman dan kawasan hutan yang merupakan habitat alami tanaman tersebut.
Sejak jaman nenek moyang dulu, sebagian kecil masyarakat di Kalimantan Tengah secara turun temurun telah menggunakan tanaman obat dari kawasan tersebut sebagai obat tradisional yang di ambil baik dari akar, daun maupun buah, hal ini lah yang di kenal dengan pengetahuan tradisional.
Sayangnya, jenis tanaman obat yang begitu beragam belum terinventarisasi dengan baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan untuk melindungi dan menginventarisasi tanaman obat sebagai pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual dengan baik.
Sehingga pada saat diperlukan dapat digunakan sebagai referensi khususnya untuk penelitian bidang bioteknologi yang telah berkembang di Indonesia sejak lama namun cenderung lambat karena faktor minimnya dana penelitian dalam bidang bioteknologi, rendahnya sumber daya manusia, fasilitas dan kebijakan pemerintah yang terkesan memperpanjang proses pemasaran produk rekayasa genetika. Dalam hal inilah kolaborasi riset internasional dengan peneliti asing diharapkan dapat memecahkan permasalahan tersebut.
Jika permasalahan telah ditemukan seharusnya semakin mudah diselesaikan bukannya semakin ruwet. Dengan kolaborasi riset internasional diharapkan hasil penelitian bidang Biodiversity berpotensi menghasilkan paten semakin bertambah dan tidak berharap muluk-muluk paling tidak beberapa di antaranya dapat dikomersilkan.Â
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) akumulasi produk hak kekayaan intelektual jenis paten yang berhasil dilindungi berdasarkan jangka waktu perlindungan terhitung tahun 2015 sampai dengan 2020 berjumlah 18.686 paten, sumber laporan tahunan DJKI.
Memang pada praktiknya di lapangan tidak semudah itu. Ketika Subdit Perizinan Peneliti Asing dengan beberapa anggota Tim Reviewer melakukan monitoring dan evaluasi jumlah capaian dan dampak hasil dari kolaborasi riset dengan peneliti asing, beberapa dosen dari perguruan tinggi yang pernah menjadi mitra kerja peneliti asing justru banyak yang curhat dan sambat.
Tingkat kesulitan bisanya mereka alami pada tahap negosiasi dan membuat perjanjian kerjasama dengan peneliti asing selaku mitra kerja mereka, para peneliti harus melakukan negosiasi untuk menentukan kesepakatan dalam menghasilkan capaian output dan outcome serta kepemilikan hak kekayaan intelektual yang dihasilkan, hal ini tentunya sulit mengingat latar belakang mereka bukanlah dari bidang hukum.Â
Misalnya, ketika perusahaan ingin bekerjasama dengan pihak supplier, anda harus melakukan negosiasi untuk mendapatkan harga yang sesuai, atau ketika ingin melakukan kerjasama bisnis, Anda harus bisa bernegosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan perusahaan.
Terbukti memang dampak kerjasama riset dengan peneliti asing dapat mendongkrak perolehan publikasi internasional dalam beberapa tahun belakangan, namun bagaimana dengan perolehan paten atau hak kekayaan intelektual lainnya? Adakah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh para pihak selama kerjasama berlangsung atau setelah kerjasama selesai?
Untuk durasi penelitian jangka pendek memang sulit untuk mencapai output berupa paten, sebagai bentuk suksesnya suatu kerjasama riset internasional, penelitian jangka pendek idealnya dapat menghasilkan publikasi ilmiah bereputasi internasional.Â
Untuk penelitian jangka Panjang, khususnya penelitian biologi, lebih spesifik lagi bioteknologi, sudah sepantasnya peneliti Indonesia selaku mitra kerja merangkap tuan rumah yang memiliki obyek penelitian secara tegas mengusulkan perolehan paten yang bersifat komersil dalam perjanjian kerjasama riset tersebut.Â
Meski terkadang dalam perjanjian menyebutkan bahwa sampel-sampel yang mereka gunakan hanya sebatas untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan dan analisis ini tidak mengarah kepada hal yang bersifat komersil. Siapa yang bisa menjamin hal tersebut?
Jadi bagaimana agar pihak Indonesia tidak terus menerus kecolongan paten yang berpotensi komersil dan memperoleh keuntungan yang setara dari hasil kerjasama penelitian internasional?
Khusus untuk penelitian jangka panjang, lakukan monitoring selama penelitian berlangsung secara berkala, agar penelitian tetap berjalan sesuai dengan rencana dan tujuan awal, bisa saja selama berjalannya penelitian terdapat ide baru yang memiliki kelebihan tertentu dari penemuan sebelumnya, hingga menghasilkan suatu invensi.
Kemudian lakukan evaluasi terhadap perjanjian-perjanjian kerjasama terutama pada penelitian yang memiliki nilai komersil, jika di dalam perjanjian tersebut belum mengatur mengenai hak kekayaan intelektual seperti kepemilikan data, publikasi bersama atau paten di samping hak lainnya yang memang sudah selayaknya di peroleh, maka peneliti Indonesia selaku mitra kerja berhak mengajukan revisi untuk menambah klausul tersebut.
Hal inilah yang seringkali terabaikan, bahkan mungkin sudah menjadi tradisi. Kita cukup puas dengan Perjanjian yang telah disepakati di awal saja, dengan perolehan hak yang apa adanya. Padahal hasil riset bisa saja berpotensi paten dan bernilai komersil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H