Pengantar.Â
Investor-State Dispute Settlement (ISDS) merupakan salah satu mekanisme penyelesaian penanaman modal langsung (FDI).[1] Dalam mekanisme penyelesaian sengketa ini, investor yang merasa bahwa dirinya telah dirugikan oleh Negara penerima investasi (Host State) dapat menggugat Host State yang bersangkutan ke dalam arbitrase. [2] Sejak akhir 1990, penggunaan ISDS mulai marak dan terus meningkat secara signifikan.[3] Namun, mekanisme ini ternyata mengandung masalah-masalah yang membuat pihak Host State menjadi semakin enggan dengan mekanisme penyelesaian sengketa ini.[4] Kekurangan-kekurangan yang ada pada ISDS telah membuat hilangnya kepercayaan publik dan karenanya, dibentuklah Investment Court System (ICS) sebagai sebuah alternatif mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih kredibel.[5] Penyelesaian sengketa ICS merupakan bentukan Uni Eropa (EU) untuk menggantikan ISDS dan rencananya akan diterapkan di seluruh perjanjian investasi EU yang mendatang.[6] Mulanya, ICS dirancang dalam rangka Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP).[7] Selanjutnya, rancangan ICS dimasukan juga ke dalam Comprehensive Economic and Trade Agreement (CETA) dan EU-Vietnam Free Trade Agreement.[8] Pada bulan Juli 2016, Uni Eropa (EU) bersama dengan Indonesia telah setuju untuk memulai pembahasan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).[9] Perkembangan terakhir dari negosiasi CEPA menunjukan bahwa ICS telah mulai dibahas dan masih memerlukan telaah secara lebih lanjut oleh kedua belah pihak.[10]
Hal-hal yang akan diatur dalam ICS.Â
Pertama, Institusi Banding (Appeal Tribunal).Â
Institusi banding yang ada pada ICS akan memberikan legitimasi yang lebih kepada penyelesaian sengketa investasi.[11] Berbeda dengan pembatalan putusan pada ISDS saat ini, melalui Appeal Tribunal ini ICS menyediakan mekanisme banding yang memberikan ruang untuk memperbaiki kesalahan hukum dalam putusan yang dikeluarkan oleh tribunal yang pertama menangani sengketa (Tribunal).[12]Â
Kedua, rule of precedence. Walaupun tidak ada kewajiban untuk menerapkan rule of precedence, ICS melalui konstruksi hakimnya yang statis akan membuat putusan-putusan ICS lebih konsisten dan terprediksi dibandingkan dengan ISDS yang ada sekarang.[13] Hakim-hakim ICS ini memiliki penunjukan tetap dalam suatu periode.[14] Di samping itu, adanya Appeal Tribunal juga akan meningkatkan tingkat konsistensi putusan ICS.[15]
Ketiga, Transparansi. Dalam mewujudkan sistem yang transparan, ICS menawarkan transparansi total untuk seluruh dokumen-dokumennya.[16] Dengan mengadopsi UNCITRAL Rules of Transparency, ICS menawarkan keterbukaan yang lebih dibandingkan dengan sistem ISDS saat ini.[17] Dengan pengaturan ini, nama-nama pihak bersengketa serta dengan sektor ekonomi yang bersangkutan harus segera diinformasikan kepada publik.[18]Â
Keempat, kualifikasi "hakim".Â
Dalam ICS, ketentuan untuk "hakim" ICS (arbiter) lebih spesifik disbanding dengan ketentuan arbiter yang ada pada ISDS dalam ICSID. "Hakim" ICS diwajibkan untuk memiliki kualifikasi sebagaimana diatur oleh lembaga judisial Negara masing-masing atau sebagai advokat (jurist) dan juga harus terbukti telah menunjukan keahlian dalam bidang hukum internasional publik.[19] Sedangkan kualifikasi yang ditentukan oleh ISDS yang ada saat ini di bawah pengaturan ICSID, tidak dirumuskan secara terperinci karena yang dituntut hanyalah karakter moral yang tinggi, dan kompetensi yang diakui dalam hukum, komersil, industri atau keuangan. [20]Â
Kelima, imparsialitas.Â
Ketidakberpihakan ICS akan tercapai melalui sistemnya yang memiliki hakim tetap, penunjukan hakim secara objektif, dan larangan peran ganda sebagai pengacara.[21] Hakim yang tetap dan juga larangan peran ganda akan mengatasi masalah ISDS yang ada, yaitu pada pengacara komersil yang juga berperan sebagai tribunal serta menghasilkan netralitas dan ketidakberpihakan dalam penyelesaian sengketa.[22]
Penutup.Â
Harus diakui bahwa masih terlalu dini untuk mengetahui keseluruhan manfaat dari ICS sebagai alternatif sistem ISDS yang ada. Hal ini karena sampai saat ini belum terdapat satu kasus pun yang diselesaikan melalui mekanisme ICS. Namun demikian, ada baiknya untuk mempertimbangkan fitur-fitur utama yang ditawarkan oleh ICS. Tentu saja berbagai dukungan maupun penolakan untuk membentuk pengadilan tetap (permanent court) dan menunjuk arbiter harus dikaji oleh Pemerintah dengan lebih seksama baik dari perspektif hukum, politik dan ekonomi dalam rangka memenuhi prinsip dasar demokrasi dan prosedur "rule of law" untuk menyelesaikan perselisihan antara Negara dan investor.
Harapannya, dengan sistem penyelesaian sengketa yang lebih baik, kedaulatan Indonesia dapat dijaga dan ditegakan dengan lebih baik, terutama dengan adanya kesempatan untuk mengajukan banding (appeal mechanism), putusan yang lebih konsisten, arbiter yang lebih terkualifikasi, dan juga arbiter yang lebih netral dan tidak memiliki benturan kepentingan dalam ICS.
Â
Pengakuan (Acknowledgement)
Tulisan ini merupakan luaran dari penelitian yang berjudul "Urgensi dan Kepentingan Indonesia dalam Pembentukan Investment Court System dalam Hukum Investasi Internasional" dalam Hibah Strategis 2018 Skema UI Peduli. Penelitian ini dilakukan bersama oleh Penulis, Wenny Setiawati, ML.I, Arie Afriansyah, PhD, dan Rizky Banyu Permana, SH. Sebagian dari tulisan juga merupakan ekstrasi dari penelitian sebelumnya (2017) yang dilakukan oleh Penulis dan Michael R.K. Murtommo.
Catatan kaki
[1] Roland Klager, 'Fair and Equitable Treatment' in International Investment Law (New York: Cambridge University Press, 2011), 1-2.
[2] Jeswald W. Salacuse, The Three Laws of International Investment: National, Contractual, and International Framework of Foreign Capital (Oxford: Oxford University Press, 2013), 332.Â
[3] United Nations Conference on Trade and Development, Investor-State Dispute Settlement and Impact on Investment Rulemaking (United Nations: New York and Geneva, 2007), 7.
[4] Todd Alle and Clint Peinhardt, "Delegating Differences: Bilateral Investment Treaties and Bargaining over Dispute Resolution Provisions," International Studies Quarterly 54, no. 1 (March 2010): 7.
[5] Cecilia Malmstorm, "Proposing an Investment Court System," European Commission, September 16, 2015, accessed January 23, 2017, http://ec.europa.eu/commission/2014-2019/malmstrom/blog/proposing-investment-court-system_en.
[6] John Gaffney, "The EU Proposal for an Investment Court System: What Lessons can be Learned from the Arab Investment Court?" Columbia Center on Sustainable Investment, no. 181 (August, 2016): 1, accessed March 15, 2017, http://ccsi.columbia.edu/files/2013/10/Perspective-Gaffney-Final-Formatted.pdf
[7] "Commission Proposes New Investment Court System for TTIP and other EU Trade and Investment Negotiations," European Commission News Archive, last modified September 16, 2015, accessed January 23, 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/press/index.cfm?id=1364.
[8] "Inception Impact Assessment: Establishment of a Multilateral Investment Court for Investment Dispute Resolution," European Commission, accessed January 31, 2017, http://ec.europa.eu/smart-regulation/roadmaps/docs/2016_trade_024_court_on_investment_en.pdf.
[9] "EU and Indonesia Launch Bilateral Trade Talks," European Commission, July 18, 2016, accessed January 31, 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/press/index.cfm?id=1528.
[10] "Report of the 3rd Round of Negotiations for a Free Trade Agreement between the European Union and Indonesia: 11-15 September 2017, Brussels," European Commission, accessed December 16, 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2017/september/tradoc_156114.pdf.
[11] Fletcher QC, "Should ICSID Have or Not Have a New Appellate Process Including a Standing Body to Hear Annulment Applications?" 121.
[12] Robert. W. Schwieder, "TTIP and the Investment Court System: A New (and Improved?) Paradigm for Investor-State Adjudication," Columbia Journal of Transnational Law, (2016): 202.
[13] Schwieder, "TTIP and the Investment Court System," 202.
[14] European Commission, "Commision Draft Text TTIP," Article 9 paragraph (5) and (8) and Article 10 paragraph (5) and (9).
[15] Cline Lvesque, "The European Commission Proposal for an Investment Court System: Out with the Old, In with the New?" (Centre for International Governance Innovation, Investor-State Arbitration Series Paper No. 10, August 2016), 11.
[16] Klett, "National Interest vs. Foreign Investment -- Protecting Parties through ISDS,", 229.   [17] Schwieder, "TTIP and the Investment Court System," 195.
[18] August Reinisch, "Will the EU's Proposal Concerning an Investment Court System for CETA and TTIP Lead to Enforceable Awards? -- The Limits of Modifying the ICSID Convention and the Nature of Investment Arbitration," Journal of International Economic Law 19, (2016):  764.
[19] European Commission, "Commision Draft Text TTIP," Article 9 paragraph (4).
[20] The Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID Convention), Article 14 paragraph (1).
[21] Harten, "Reforming the System of International Investment Dispute Settlement," 111.
[22] Hachez and Wouters, "International Investment Dispute Settlement in the Twenty-First Century," 447.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H