Konflik agraria tentunya telah menjadi pembahasan yang terus dikaji berulang-ulang, bahkan banyak literatur yang juga menjadikan konflik agraria sebagai topik penelitian. Tak cukup sampai disini, pemerintah juga mencanangkan program reforma agraria melalui percepatan Program Strategi Nasional (PSN) diantaranya adalah pendaftaran tanah sistematis lengkap.
FenomenaAdanya upaya tersebut tentunya menjadikan konflik agraria bukan lagi persoalan yang wajar dengan mendasarkan alasan bahwa konflik agraria telah berlangsung lama sejak masa lampau di Indonesia.Â
Kompleksitas persoalan tersebut tentunya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk dapat hadir memberikan jaminan perlindungan kesejahteraan rakyat nya melalui pengelolaan tanah beserta sumber daya alam yang ada dengan berdasar pada undang-undang.
Pada awalnya, konflik agraria bermula dari adanya penerapan UU Agraria yang di bawa oleh pemerintahan Kolonial tahun 1870 pada saat berlakunya politik liberal pada politik kolonial. Dengan demikian melalui politik liberal menandakan proses komersialisasi dengan memberikan secara bebas akses masuk kepada setiap permodalan swasta atau pengusaha secara legal.
Lahirnya undang-undang Agraria tahun 1870 tersebut memberikan kesempatan kepada pemilik modal besar dalam eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, melalui hak erpacht yang lebih dikenal Hak Guna Usaha (HGU) yang dilegitimasi dalam UU Agraria tersebut
Politik liberal memang memberikan peluang cukup lebar terbentuknya relasi-relasi kekuasaan baru. Hal ini tidak terlepas dari adanya kepentingan-kepentingan politik yang bercampur pada kekuatan oligarki sehingga dalam penerbitan kebijakan pemerintah cenderung dipengaruhi adanya ketertarikan kepentingan pada pengusaha.Â
Relasi ini menimbulkan patron-klien dan memperpanjang jalan klientalisme dalam sistem politik di Indonesia sehingga tak dipungkiri bahwa relasi kekuasaan lebih cenderung menerima kepentingan developer.
Persoalan-persoalan tersebut dapat terlihat di beberapa wilayah di Indonesia, lebih spesifik dapat terpantau di wilayah Provinsi Riau. Banyak persoalan yang berkaitan dengan konflik agraria ditengah masyarakat akibat adanya relasi kekuasaan antara pemerintah dengan korporasi.Â
Terlebih yang saat ini menghebohkan publik dengan menyerahkan diri-nya pelaku korupsi tersebesar di Indonesia, Surya Darmadi. Kasus yang menjerat bos PT Duta Palam tersebut ialah diduga adanya upaya melakukan politik transaksional terhadap proses revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau melalui Kementerian Kehutanan pada tahun 2014. Gubernur Riau Anas Maamun dan Menhut Zulkifli Hasan juga turut tersandung pada kasus tersebut.
Tak hanya itu, Surya Damadi juga diduga melakukan korupsi dalam upaya penyerobotan lahan puluhan ribu hektar di Riau kepada 5 Perusahaan milik PT Duta Palma, dugaan kasus ini pun menyeret mantan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008.Â
Kasus yang telah terjadi cukup lama ini tentunya menimbulkan pertanyaan terhadap proses kebijakan public yang dilakukan pemerintah terlihat dibawah kendali oligarki.
Konflik agraria diatas menjadi topik hangat saat ini, mengingat menimbulkan banyak kerugian bagi negara maupun masyarakat. Terdapat konflik lainnya di wilayah riau, yang juga berkaitan dengan relasi kekuasaan.Â
Seperti halnya konflik agraria antara masyarakat adat di Rokan Hilir dengan perusahaan yakni PT. Ivomas, PT. Cibaliung Tunggal Plantations, PT Gunung Mas Raya.Â
Dalam perjalanannya, konflik yang melibatkan masyarakat adat atas tanah ulayat itu telah sampai pada proses persidangan dengan menjadikan 3 perusahaan dan turut serta Menteri Agraria dan Tata Ruang sebagai tergugat.
Persoalan tersebut diduga adanya penyerobotan lahan yang dilakukan oleh ketiga perusahaan tersebut yang dimiliki oleh masyarakat adat melalui HGU yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. keterkaitan pemerintah dalam kasus tersebut tentunya berkaitan pada aspek legacy yang diberikan kepada korporasi sebagai bentuk legitimasi dalam menjalankan usahanya.
Terlebih lagi, terdapat konflik agraria yang telah terjadi selama 16 tahun yang juga terjadi di Kabupaten Rokan Hilir antara masyarakat dengan PT Jatim Jaya Perkasa.Â
Persoalan yang berkaitan secara administrasi telah dimiliki oleh masyarakat baik proses pada Tingkat kecamatan hingga dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian pun telah diperoleh masyarakat masih belum menemui titik terang.Â
Persoalan ini tentu menjadi perhatian bagi masyarakat dengan tidak efektiv nya pemerintah sebagai pengatur dan pengendali kebijakan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Adanya konflik agraria ini tentunya tidak bisa dilepaskan bagaimana keterkaitan pemerintah dalam pemberian izin terhadap korporasi (pengusaha) untuk mengelola tanah dan sumber daya alam yang ada didalamnya ataupun pembukaan lahan baru untuk perkebunan yang dibutuhkan.Â
Sekilas kita bisa beranggap bahwa tata Kelola tanah di Indonesia masih jauh dibawah dari kelayakan, bahkan sangat buruk. Pemberian hak eigendom kepada masyarakat adat atas tanah ulayat masih belum dapat terpenuhi secara maksimal, yang kemudian menimbulkan kerawanan akan terjadinya konflik agraria.
Konflik agraria yang bersinggungan dengan tanah ulayat sangat sering terjadi, akibat kurang keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dalam pengakuan hak eigendom tersebut. secara administrasi masyarakat mungkin dapat dikatakan awam dalam pengurusan dokumen yang modern, akan tetapi seharusnya pemerintah bisa hadir dalam pemberian bantuan pengurusan izin atau sertifikasi tanah yang dapat menjadi legitimasi kuat bagi masyarakat adat atas tanah ulayat.
Selain bersinggungan dengan masyarakat, persoalan agraria juga merugikan negara dengan adanya upaya pengambil alihan fungsi hutan yang kemudian dijadikan perkebunan. Sebanyak 1.8 Juta hektar hutan di Riau dirambah untuk kepentingan korporasi atau bahkan masyarakat sendiri.
Mayoritas pembukaan lahan perkebunan sawit diatas Kawasan hutan tentunya dapat diduga untuk memenuhi kebutuhan produksi perusahaan minyak kelapa sawit, dengan melibatkan masyarakat dalam pembukaan lahan perkebunan di Kawasan hutan tentunya akan menjadikan korporasi terlepas dari persangkaan pelanggaran.Â
Hal ini dapat terlihat bahwa melalui pola tersebut menjadi strategi korporasi menciptakan ketekaitan secara ekonomis diantara keduanya. Bahkan perambahan Kawasan hutan tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun. Dan menjadi bukti bahwa pengawasan dari pemerintah antara ada dan tiada.
 Hal yang menarik adalah pemerintah serius membahas mengenai persoalan agraria, tetapi tidak serius menangani secara komprehensif setiap perkembangan permasalahan agraria yang ada. Lebih konyol lagi, kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional melalui website nya menjelaskan, bahwa Riau rawan konflik agraria akibat tidak ada rencana tata ruang.Â
Ini tentunya sebuah tulisan yang seharusnya menjadi masukan untuk pelaksanaan lebih baik, namun dalam satu kondisi lembaga pemerintah ini memperlihatkan ketidak berdayaan nya dalam melakukan reformas agraria yang di canangkan oleh pemerintah iu sendiri.
Melihat kompleksitasnya persoalan agraria di Riau ini, memperjelas posisi penguasa yang tidak bisa telepas dari bayang-bayang oligarki. Keterkaitan hubungan diantara keduanya menimbulkan relasi yang harmonis diatas kepentingan keduanya.Â
Sehingga dalam proses pembuatan kebijakan pun penguasa cenderung mengikuti kepentingan developer berdasarkan hasil negosiasi dan kompromi dengan korporasi. Hal ini diperjelas dengan upaya penyelesaian konflik yang ada belum menemukan penyelesaian yang kongkrit bahkan telah berlangsung lama.
Dengan demikian, terjadinya transaksi politik sangat dimungkinkan terjadi dalam keadaan tersebut sehingga memperlihatkan kondisi kecenderungan pragmatism penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Seperti ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H