Seorang gadis berlesung pipi memecah konsentrasiku menyimak upacara adat pernikahan sepupu dekatnya. Dengan balutan kain tenunan Buna Amanuban, ia terlihat mempesona di antara perempuan-perempuan pemegang dulang peminangan.
Seketika aku menoleh ke belakang. Aku dikagetkan oleh seorang perempuan yang tak kalah manis pula tapi kalah dalam persaingan menarik pandangan mataku. Menurutnya, aku tak berkedip sejak satu jam yang lalu.
Aku tak malu mengungkapkan kagumku pada perempuan itu. Aku tidak pernah melihat sosok gadis seperti dirinya. Aku juga tidak pernah merasakan kekaguman seperti ini. Bahkan, aku tidak pernah mengalami perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Malam itu, pertama kali dalam hidup, aku merasakan hal itu. Tapi, aku sadar bahwa akhirnya aku merasakan apa yang pernah kudengar. Jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Jantungku berdebar kencang. Tulang-tulang rusuk terasa kurang dan bergerak. Kedua bola mataku tak ingin berkedip lagi. Dan sesekali aku tersenyum sendiri, berimajinasi tentang pacaran.
Setelah empat jam berdiri, gadis perusak konsentrasi itu mencari tempat duduk untuk meletakkan pantatnya dan menggantungkan kedua kakinya yang tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang berbentuk gitar espanyola.
Aku berharap ia melirik sebuah kursi kosong di sampingku, agar memudahkan rencana-rencana nakalku. KELAPA, Kenalan Langsung Pacaran. Sebuah istilah ABeGe di zaman itu. Atau, setidaknya dapat memanjakan mataku dengan senyum-senyum manis yang dilepas.
Di saat ia melakukan salah satu peraturan baris-berbaris, balik kanan mencari kursi yang kosong untuk melepas lelahnya, betapa sialnya aku, harus bersaing dengan beberapa lelaki yang sedang jatuh cinta dengannya. Bagaikan kembang bunga yang layu, ekspektasiku tiba-tiba hilang ketika mataku melihat sebuah kursi kosong di samping seorang seorang laki-laki playboy di kampungku.
Laki-laki playboy itu terkenal dengan wajah tampan dan dikejar oleh banyak wanita dari kampung-kampung sebelah. Saat itu ia yakin bahwa perempuan itu akan jatuh cinta dengannya dan akan menolak laki-laki yang lain, apalagi sosok laki-laki sepertiku.
Bermodalkan wajah yang indah di antara perempuan yang hadir, perempuan itu seolah-olah melihat pikiran dan merasakan perasaan laki-laki itu, termasuk aku. Ia lebih memilih duduk di pangkuan ibunya yang berjarak 5 meter dariku dan 10 dari laki-laki pesaingku.
Akan tetapi, ibunya yang sudah berusia senja tak mampu menahan beban berat tubuh anak gadisnya itu. Ya, kedua betis kakinya yang berbentuk perut padi pun tak kuasa menahan berat badannya yang berlekuk-lekuk.
Ia menoleh ke samping kiri dan kanan. Kali ini, aku tidak berharap lagi untuk duduk di samping ku, apalagi lebih dari itu. Aku hanya berharap, ia melemparkan senyumnya padaku padaku. Itu sudah cukup.
Namun, akhirnya aku mengerti. Tuhan tidak akan mengabulkan harapan pikiran laki-laki playboy, ia hanya akan mengabulkan pikiran laki-laki baik. Tuhan juga tidak akan mengabulkan ekspektasi yang tidak realistis, hanya harapan yang masih dijangkau oleh akal sehat manusia.
Perempuan itu menoleh dan melemparkan senyum. Entah apa maksudnya, senyum tersebut membakar keberanianku memanggilnya menempati kursi karet yang kosong di sampingku.
"Ada kursi kosong ni Kaka," aku mengajaknya dengan menepuk kursi tersebut tiga kali. Berharap ia datang.
Beberapa lelaki yang baru jatuh cinta itu pun serentak batuk. Batuk buatan yang bernada "mengganggu" itu bermaksud agar perempuan itu malu mendekatiku.
Para laki-laki itu pun memilih pemikiran yang sama. Kalaupun aku gagal mendapatkannya, ia jangan jatuh cinta di tangan laki-laki di pesta ini, apalagi Boy, laki-laki playboy itu.
Betapa beruntungnya aku, ia memilih duduk di kursi kosong yang aku maksud. Ketika ia melangkah menujuku, mata para laki-laki itu pun serentak berpindah mengikuti langkah kakinya.
Para laki-laki itu mengekspresikan penyesalan mereka. Ada beberapa yang memilih keluar dari tenda pernikahan. Ada yang mengumpat dalam hati tapi kelihatan di bibir. Ada yang mengerutkan kening. Ada yang mengunyah gigi. Ada yang menatap aku dengan serius.
"Kakak baik e. Kasih Beta kursi," puji perempuan itu setelah merasakan harapannya. Menggantungkan kedua kakinya yang sudah tak kuasa menopang berat tubuhnya.
"Puji Tuhan," aku berkata dalam hati setelah mendengar testimoni berkesan dari seorang perempuan yang manis menawan.
Laki-laki playboy itu terlihat heran. Melihat aku berbincang-bincang dengan perempuan tersebut. Dia dan aku sadar bahwa tak perlu menjadi ganteng, tak perlu menjadi playboy untuk menarik perhatian perempuan. Cukup tunjukkan diri sebagai laki-laki penyayang dan bertanggung jawab, banyak perempuan cantik di sana yang sedang mencarimu.
"Kevin,"
"Marry,"
Kami berjabatan tangan (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H