Mohon tunggu...
Yesri Saefatu
Yesri Saefatu Mohon Tunggu... Guru - Menulis saja

Menulis untuk kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Negara Indonesia dan Masalah Kebangsaan: Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam dan Modernisasi Indonesia

20 Maret 2020   22:54 Diperbarui: 20 Maret 2020   22:59 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cak Nur - Nurcholish Madjid Foto realis

Pemikiran Nurcholish Madjid yang digunakan dalam tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan makna modernisasi sekaligus merespons kesan di masyarakat bahwa seakan-akan ada suatu golongan yang hendak menghalangi modernisasi di Indonesia, yaitu umat Islam (termasuk mahasiswa Islam). Padahal mahasiswa merupakan lapisan yang lebih terpelajar daripada masyarakat pada umumnya, yang seharusnya berperan sebagai agen modernisasi.

Modernisasi: tinjauan Islami
Modernisasi menurut Nurcholish Madjid adalah proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.

Mengingat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam, orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan berarti bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Jadi, sesuatu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.

Sehubungan dengan hal ini Nurcholish Madjid memandang bahwa modernisasi adalah suatu kewajiban yang mutlak karena merupakan pelaksanaan perintah ajaran Tuhan Yang Mahaesa. Dasar sikap itu ialah sebagai berikut. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haqq (benar), bukan bthil (palsu) (Q.S. 16:3; Q.S. 38:27) dan diatur dengan sunatullah (Q.S. 7:54; Q.S. 25:2).

Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis (Q.S. 21:7; Q.S. 67:3). Karena itu manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Q.S. 10:101). 

Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaan, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir yang akan mengerti dan memanfaatkan karunia itu (Q.S. 45:13). 

Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (Q.S. 2:170; Q.S. 43:22-25).

Demikianlah modernisasi yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Sikap ini adalah sikap yang konsekuen kepada nilai-nilai Pancasila. Maksudnya, Ketuhanan Yang Mahaesa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia.

Modernisasi Indonesia: Pengalaman berharga dari Snouckisme
Lebih jauh, Nurcholish Madjid memberi contoh dari sejarah Indonesia. Ketika Islam datang ke Nusantara, terjadi interaksi antara animisme dan dinamisme dengan Tauhid. Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya Indonesia: Social and Cultural Revolution, mengatakan bahwa salah satu karakteristik Islam yang unik adalah memberi manusia kesempatan untuk membangun dunianya sendiri dengan dituntun oleh intelegensinya. 

Untuk dapat bebas dari belenggu animisme dan dinamisme, desakralisasi harus dilakukan sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, sehingga ia terbebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan.

Dalam sejarah Indonesia, golongan intelektual adalah salah satu kelompok orang yang memegang peranan dalam menentukan politik negara ini. Nurcholish Madjid memaksudkan golongan intelektual ini sebagai orang-orang yang mempunyai seperangkat gagasan, sikap dan keyakinan yang berkiblat ke kebudayaan Barat. Faktor pendidikan Belanda dan faktor kedudukan sebagai kelas elit di zaman kolonial adalah dua faktor yang saling menyokong dan menguatkan.

Nurcholish Madjid menyoroti nasihat Snouck Hurgronje bahwa Pemerintah Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, namun sikap keras dan tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik.

Pada saat yang sama, Pemerintah Kolonial sekaligus harus merangkul golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya, yaitu kaum elit tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa dan kaum priyayi di Jawa.

Menurut Nurcholish Madjid, semua hal itu hanyalah permulaan politik Belanda lebih lanjut untuk sepenuhnya menghancurkan Islam. Lebih dari itu --- dan inilah intisari filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje --- Indonesia harus dimodernisasikan.

Seperti juga dikatakan oleh Snouck, "Oleh Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat, maka ia harus merupakan Indonesia yang dibaratkan".

Dalam analisisnya yang terakhir, Snouck Hurgronje mengatakan, "Pendidikan Barat adalah cara yang paling dapat dipercaya untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia". Inilah yang disebut Snouckisme oleh Nurcholish Madjid.

Oleh karena itu mudah dipahami bahwa umat Islam menjadi golongan yang paling dirugikan sebagai objek politik. Sebagai akibatnya, karena kebenciannya kepada Belanda dan segala sesuatu yang berbau Belanda, umat Islam menempuh jalan non-kooperasi dan non-asosiasi.

Umat Islam meneruskan pendidikan tradisional mereka sendiri, dan mengembangkannya dalam suatu persaingan yang hebat dengan pendidikan Belanda.

Dengan demikian, justru semangat patriotisme dan antikolonialisme menjadi semakin berkobar di kalangan rakyat di bawah pimpinan kaum ulama, yang kelak menjadi bibit gerakan-gerakan politik revolusioner Islam, bahkan menjadi bibit seluruh gerakan patriotik bangsa Indonesia. 

Karena berhasil mempertahankan kepribadian Islamnya, mereka ikut serta dengan rakyat dalam perjuangan patriotik melawan Belanda, bahkan memimpinnya. Mereka itu, untuk menyebutkan beberapa orang saja, ialah H. O. S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, K. H. M. Mansyur, Dr. Sukiman, Moh. Natsir, dan lain-lain.

Sekalipun pelaksanaan Snouckisme tidak menghasilkan seluruh apa yang digambarkan oleh penciptanya, tetapi segi-segi yang berhasil tetap dirasakan sampai masa-masa Indonesia merdeka, yang terutama diteruskan dan diwarisi oleh suatu lapisan sempit masyarakat Indonesia yang merupakan kelas atas (elit) secara politik maupun intelektualitas.

Itulah sebabnya menurut penulis, meskipun umat Muslim memercayai dan meyakini sepenuhnya akan kemutlakan kebenaran ajaran Allah, yaitu Islam, tetapi tidak banyak yang sanggup memformulasikannya dalam bahasa-bahasa yang dimengerti oleh orang-orang awam. Tidak heran, Islamofobia akibat kolonialisme itu membuat mereka sampai sekarang menjadi apriori terhadap Islam.

Hal ini tentu sangat disayangkan. Islam yang semestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam, malahan sering dirasakan sebagai ancaman. Hal itu barangkali wajar kalau datang dari musuh-musuh Islam. Namun bagaimana kalau datang dari golongan Islam sendiri, sekalipun Islam nominal?

Agama Islam mempunyai pengaruh besar bagi pemikiran politik kontemporer. Peranan ini akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada para penganutnya. Umat Islam harus mampu melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi pembangunan dan modernisasi.

Nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang aktif guna mewujudkan apa yang kita sebut masyarakat yang adil dan makmur yang mendapat rida dari Allah, sebab menurut Nurcholish Madjid esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata, melainkan meliputi pengembangan diri manusia sepenuhnya, sehingga dapat menghayati kekayaan dan keindahan dunia.

Penulis: Stephen Giovanni Walangare, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.

(Postingan tulisan ini atas permintaan penulis)

Referensi:

*Nurcholish Madjid, "Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi" dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

*Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.

*Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution. Oxford: Oxford University Press, 1961.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun