Itulah sebabnya menurut penulis, meskipun umat Muslim memercayai dan meyakini sepenuhnya akan kemutlakan kebenaran ajaran Allah, yaitu Islam, tetapi tidak banyak yang sanggup memformulasikannya dalam bahasa-bahasa yang dimengerti oleh orang-orang awam. Tidak heran, Islamofobia akibat kolonialisme itu membuat mereka sampai sekarang menjadi apriori terhadap Islam.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Islam yang semestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam, malahan sering dirasakan sebagai ancaman. Hal itu barangkali wajar kalau datang dari musuh-musuh Islam. Namun bagaimana kalau datang dari golongan Islam sendiri, sekalipun Islam nominal?
Agama Islam mempunyai pengaruh besar bagi pemikiran politik kontemporer. Peranan ini akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada para penganutnya. Umat Islam harus mampu melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi pembangunan dan modernisasi.
Nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang aktif guna mewujudkan apa yang kita sebut masyarakat yang adil dan makmur yang mendapat rida dari Allah, sebab menurut Nurcholish Madjid esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata, melainkan meliputi pengembangan diri manusia sepenuhnya, sehingga dapat menghayati kekayaan dan keindahan dunia.
Penulis: Stephen Giovanni Walangare, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.
(Postingan tulisan ini atas permintaan penulis)
Referensi:
*Nurcholish Madjid, "Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi" dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
*Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
*Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution. Oxford: Oxford University Press, 1961.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H