Deg-degan!
Mungkin kata inilah yang cukup mewakili perasaan hati, saat memilih capres dan cawapres di tanggal 9 Juli tempo hari. Bukan apa-apa, ini kali pertama menyuarakan hak suara di tanah rantau. Sebagai mahasiswa rantauan, memilih untuk stay di daerah domisili merupakan satu langkah penghematan biaya tentunya. Tapi, hal tersebut tentu saja tidak mengurangi esensi dari pesta "demokrasi" rakyat itu sendiri. Selang beberapa hari sebelumnya, sejak diumumkannya pemberitahuan mengenai pengecekan informasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) di web Komisi Pemilihan Umum (KPU), saya sudah melakukan pengecekan untuk memastikan ketersediaan informasi saya, apakah sesuai atau tidak, apakah saya benar-benar terdata atau tidak. Hal ini saya rasa merupakan satu bentuk kepedulian dan mengantisipasi hal/kejadian yang mungkin tidak diinginkan kedepannya.
Bertepatan dengan hal tersebut, dari pihak kampus khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPB kemudian mengakomodir para mahasiswa, juga dosen (termasuk yang dikategorikan rantauan) yang ingin memilih di daerah domisili, dengan mengisi form untuk Daftar Pemilih Tambahan, dengan sebelumnya mengisi lengkap formulir yang dibagikan serta mengirimkan screenshoot hasil pencarian DPSHP tersebut di atas. Saya salah satunya yang langsung menaati himbauan tersebut. Saya menyegerakan diri mengisi daftar isian form yang memakan waktu kurang dari 5 menit serta langsung menelusur website KPU dengan sebelumnya mengisikan nomor KTP sebagai pra syarat, lalu men-screenshoot hasil pencarian kemudian langsung mengirimkannya ke pihak BEM IPB. Selang beberapa hari nama saya langsung terdata dalam Daftar Pemilih Tambahan. Saya tinggal memenuhi panggilan untuk mengambil form A5 untuk diserahkan pada petugas pada saat hari H pencoblosan.
Tepat tanggal 9 Juli, hari Rabu pukul 11 WIB waktu setempat, saya tiba di lokasi TPS 17 berlokasi di Asrama Putri IPB. Suasana terbilang lengang, mungkin menjelang penutupan, pikir saya. Walaupun ada kerumunan pas di pintu masuk, tapi saya menjalani prosesi pencoblosan dengan sangat khidmat.
Nah, inilah asal muasal adu mulut tersebut terjadi hingga menimbulkan kegaduhan. Sebenarnya dari sini bisa terlihat bahwa ada miskomunikasi antar pihak. Adapun isi broadcast tersebut tidak bisa juga kemudian dijadikan pembenaran untuk  menuntut hak sebagai warga negara. Toh, kalo memang Anda WNI yang baik, kenapa tidak mempersiapkan diri jauh-jauh hari (sebelum Anda terlanjur menjadi golput, itu konsekuensi dan resiko yang perlu ditanggung).
Beberapa dari mereka berasalasan, bahwa tidak tahu informasinya (Menurut saya ini mustahil! Pihak BEM maupun KPU sendiri sudah melakukan sosialisasi jauh-jauh hari. Akses informasi sudah sangat mudah dijangkau apalagi di kalangan mahasiswa. Saya sendiri memperoleh informasinya melalui grup milis dan media sosial facebook), sibuk (Saya mengisi form daftar isian yang dibagikan oleh pihak BEM dengan waktu kurang dari 5 menit! Sesibuk apa hingga tidak bisa meluangkan waktu duduk manis depan laptop 5 menit saja?), malas (Untuk alasan yang satu ini, sepertinya tidak ada sanggahannya karena hal ini kembali ke pribadi individu masing-masing).
[caption id="attachment_347201" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana gaduh di TPS karena para calon pemilih terancam golput (dok: pribadi)"]
Para petugas sempat dibuat bingung dan linglung tentunya, mereka kemudian mengiyakan untuk para calon pemilih untuk mengumpulkan KTP dan print out A5 tapi tak berapa lama salah satu petugas menelepon untuk mengklarifikasi dan mulai bermunculan kembali "gesekan" antara calon pemilih dan petugas.
[caption id="attachment_347199" align="aligncenter" width="560" caption="Petugas sedang mengklarifikasi tentang info broadcast yang disebar kepada para calon pemilih (dok: pribadi)"]
Tak lama datanglah rombongan PPK untuk mencairkan suasana dan diharapkan memberikan pencerahan serta arahan berupa solusi untuk permasalahan saat itu. Tapi tampaknya para PPK pun tidak kalah bingungnya, sampai ada Bapak yang bersuara "Saya sudah capek. Hal ini baru kali pertama terjadi".
Sepertinya masalah yang timbul tidak dengan mudah terselesaikan, padahal waktu kian "mepet" mendekati penutupan untuk kemudian dilakukan penghitungan suara. Tak lama mahasiswa kemudian berduyun-duyun mengantri dan mengumpulkan fotocopy-an KTP yang mereka miliki ke petugas, tapi setelah itu suasana di dalam ruangan lengang belum ada yang boleh memilih dan semuanya diarahkan keluar ruangan.
[caption id="attachment_347203" align="aligncenter" width="560" caption="Semua berduyun-duyun mengumpulkan fotocopyan KTP (dok: pribadi)"]
[caption id="attachment_347204" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana lengang, belum ada lagi yang mencoblos (dok: pribadi)"]
Waktu berlalu, hingga lewat pukul 14 WIB, belum ada solusi ataupun tanda-tanda bagi para simpatisan untuk bisa menyuarakan haknya. Saya rasa juga hal ini mustahil, karena sebelumnya pihak PPK sudah menjelaskan bahwa hal ini bisa menjadi pelanggaran ketika dituruti, hukumannya pidana.
Tapi, pada akhirnya keputusan finalnya ialah...
Yah beginilah, kita masih sedang dan harus terus belajar untuk berdemokrasi. Tapi, minimal menggerus sikap apatis itu wajib hukumnya. Suatu cerminan sikap yang acuh tak acuh, sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak memperhatikan. Tapi, mungkin bisa jadi apatis itu suatu cara melawan secara halus melalui gerakan kekuatan pasif seseorang yang kurang terdorong untuk melawan secara terbuka. Tapi, lagi-lagi bukan pembenaran untuk kemudian merepotkan orang banyak. Satu cara, setiap orang yang memang ingin maju harus BERTEKAD untuk tidak membiarkan sikap apatis masuk ke dalam dirinya. Salam Demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H