Mohon tunggu...
Yesi Moci
Yesi Moci Mohon Tunggu... -

penulis novel cinta pada pendengaran pertama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Paraphase Novel Cinta pada Pendengaran Pertama

18 Juni 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Yang semakin membuat Uni kesem-sem dan jatuh cinta kepada Dian adalah ketika Dian menasehati Uni bahwa Uni tidak perlu minder terhadap kecacatan fisik Uni dan penyakit yang bercokol pada diri Uni. Dian berkata demikian kepada Uni, “Fisik kita hanya pinjaman dari Allah, terserah pada Allah akan menjadikan apa terhadap fisik kita. Kita sebagai peminjam tidak boleh protes” (Yessi Moci, 2011:59).

Proses atau ritual tembak-menembak pun terjadi, yang pada gilirannya Dian dan Uni berpacaran. Walaupun jarak memisahkan mereka, tidak ada halangan bagi mereka untuk saling bermesraan, saling merayu dan (maaf) saling merangsang hingga sampai-sampai Uni pun mengaku pernah mengalami birahi terhadap rangsangan yang diberikan dari Dian kepadanya melalui serangan rayuan dan cumbuan strategis tepat mengenai titik sasaran. Mereka berpacaran melalui sms (short message service/pesan singkat) dan telepon-teleponan.

Ketenggelaman mereka dalam cinta kasih yang memabukan tersebut tanpa mereka sadari menyeret mereka jauh terhadap ajaran-ajaran agama [Islam]. Dan mereka baru sadar ketika Dian mengingatkan hal itu. Selama mereka tenggelam mereka sering meninggalkan shalat subuh karena mereka bangun kesiangan yang disebabkan karena mereka tidur sampai larut malam hanya sekedar saling sms, telepon, saling merangsang dan membangkitkan birahi seksual.

Kesadaran mereka terutama Uni yang telah meninggalkan ajaran agama karena kemabukan kepayang cinta kasih mereka itu hingga menyeret Uni pada kesadaran bahwa mereka sebenarnya sudah berbuat zina walaupun hanya melalui sms dan telepon-teleponan. Nah, untuk mencegah agar mereka tidak melakukan hal yang lebih buruk lagi, Uni pun dengan sangat berat hati dan cucuran air mata harus mengakhiri hubungan cinta kasih diantara mereka. Uni akhirnya memutus Dian tidak lagi sebagai pacarnya.

Ketika menerima surat dari Uni tentang keputusan Uni untuk mengakhiri hubungan pacaran mereka Dian pun mengerti dan paham betul alasan-alasan yang dilontarkan oleh Uni yang mendasari keputusannya tersebut. Dan dengan berat hati pun Dian merelakan Uni untuk tidak lagi menjadi pacarnya. Bagi Uni orang berpacaran itu haram hukumnya. Jika memang mereka berjodoh, tidak usahlah memakai proses pacaran namun si pria dipersilahkan untuk langsung melamar si gadis. Tapi yang menjadi pertanyaan, bukankah sebelum menikah orang harus mengenal satu sama lain? Dengan lugas Uni menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, “dalam ajaran Islam dikenal adanya ta’aruf. Ta’aruf adalah media Syar’i yang dapat digunakan sebagai media pengenalan antara calon pasangan. Si pria dapat mengenal secara fisik pasangannya dengan melihat wajah dan tangan si perempuan dan untuk kepribadian pun si pria bisa bertanya ke sana dan ke sini (Yessi Moci, 2011:143).”

Walaupun mereka sudah secara tegas-tegas putus hubungan pacaran, tidak bisa dipungkiri bahwa Uni pun selalu merasakan kerinduan yang luar biasa terhadap Dian mantan pacarnya dan kemesraan itu terus membayangi hari-harinya. Hal ini seakan-akan merupakan zona pertarungan atau arena tempur bagi Uni untuk melawan keinginan atau nafsu duniawinya yang menggebu-gebu dengan perisai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Ujung, dari pertempuran ini adalah penegasan sikap dan komitmen Uni untuk mengabdi pada kepentingan cinta ilahi.

Uni pun dalam novel ini saking tidak bisa menghalau pelbagai kenangan yang dilaluinya bersama dengan Dian, sampai-sampi Uni pun pernah bermimpi dilamar oleh Dian berbarengan dengan dilamarnya Ulfah oleh tunangannya. Namun, karena ketidak setujuan kedua orang tua Dian tersebut akhirnya Uni tidak jadi menikah dengan Dian dan dia merelakan dirinya di “langkahi” oleh adiknya Ulfah. Dan Uni pun baru terjaga ketika dirinya tanpa sengaja tersandung dan wajahnya menumbur kue pernikahan. Dan disampingnya sudah ada Li Yin yang baru saja pulang dari negeri China.

O iya, walaupun orang tua Dian, dalam mimpi tersebut, menolak Uni sebagai menantunya tetapi Dian ngotot untuk menikahi Uni. Dan Dian pun berkata bahwa, “Yang penting kamu nanti taat kepadaku....surga istri ada disuami (Yessi Moci, 2011:135).” Namun Uni dalam mimpinya tersebut tetap bersikukuh tidak mau menikah dengan Dian kalau tidak disetujui oleh kedua orang tua Dian, Uni berkata dan membenarnya bahwa surga istri ada disuami, tetapi surga juga terletak di bawah telapak kaki ibu. Dan oleh sebab itulah lebih baik Dian mengikuti apa kata orangtuanya akar tidak masuk neraka!

Demikianlah paraprase atau laporan-ku setelah aku membaca dari halaman awal sampai akhir novel yang ditulis oleh seorang mojang Cianjur Yessi Moci ini.... _/_ Thank’s telah membaca hasil laporan-ku... sekaran aku akan mencoba mengomentari novel ini.

Aku menangkap adanya pesan moral yang ingin disampaikan oleh Novel ini. Adapun pesan moral yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah:

1. Perbedaan (agama atau keyakinan, warna kulit, dan status sosial) bukan halangan untuk bersahabat: Hal ini digambarkan oleh persahabatan antara Uni dan Lin Yin yang saling berbeda keyakinan dan status sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun