Mohon tunggu...
Yesi Moci
Yesi Moci Mohon Tunggu... -

penulis novel cinta pada pendengaran pertama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Paraphase Novel Cinta pada Pendengaran Pertama

18 Juni 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah mendapatkan penjelasan detail dari Ayahnya hati Uni yang dicengkram amarah tersebut kemudian ber-revolusi (berubah secara drastis) menjadi merasa bangga dan terharu terhadap tindakan Ayahnya tersebut. *dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan oleh Lin Yin selidiki dulu kebenarannya sebelum memvonis orang lain. Dalam hal ini kita musti berpikiran positif terlebih dahulu untuk memerangi dan bertarung dengan pikiran-pikiran negatif*

Pemikiran Lin Yin (seorang sahabat perempuan Uni yang beragama non-Islam) ini pun sesungguhnya bertemu dengan sebuah rumusan dari kitab suci Al-Qur’an yakni surat Al-Hujurat (49:12) yang berbunyi, “Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (QS. Al Hujurat 49:12 dalam Yessi Moci, 2011:60).

Selanjutnya, berkenalan-lah Uni dengan adik tiri ayah kandungnya itu atau Tantenya yang bernama Syara. Tante Syara ternyata adalah sosok perempuan yang baik hati, berwawasan luas, dan bijaksana. Dia lah yang menasehati Uni agar lebih bijak dalam menghadapi permasalah adiknya Ulfah yang belakangan ini doyan berbohong. Kehadiran Tante Syara, ditengah-tengah mereka, ternyata sanggup menggantikan ibunda yang sedang bekerja di luar negeri sebagai TKI itu, walaup eksistensi ibunda tidak pernah tergantikan oleh sosok Tante Syara dihati Uni, Ulfah dan ayah kandungnya. Dan lebih jauh lagi, Tante Syara lah yang berhasil mengembalikan Ulfah untuk bersikap jujur dan menjauhi kebohongan.

Tante Syara pada suatu hari pernah berbincang dengan akrab dengan Ulfah, dan disela-sela berbincangan yang akrab tersebut secara lembut dan penuh kasih Tante Syara mengajukan pertanyaan kepada Ulfah mengenai kebohongannya kepada teman-teman sekolahnya tersebut. Ulfah pun berkata perbuatan bohongnya tersebut dilakukannya karena dia malu memiliki ibu kandung yang bekerja di luar negeri hanya sebagai pembantu yang tidak menutup kemungkinan akan selalu menghadapi ancaman dilecehkan dan tindak kekerasan dari majikannya. Mendengar apa yang dikatakan oleh Ulfah tersebut, Tante Syara pun dengan segenap kelembutannya menerangkan kepada Ulfah bahwa bekerja di luar negeri itu adalah salah satu tindakan yang sangat mulia, karena para TKI itu dijuluki sebagai para pahlawan devisa, dimana melalui remitansi mereka telah berhasil menstabilkan kondisi keuangan bangsa Indonesia yang sempat morat-marit karena dihantam krisis moneter pada 1998-an. Dan apabila ada ancaman terhada hak-hak asasinya mekanisme perlindungan yang dilakukan oleh negara pun sudah cukup untuk melindungi para TKI. Namun mengapa masih banyak berita tentang TKI yang mengalami penyiksaan di sana? Karena mereka, pertama, mungkin TKI ilegal dan yang kedua mungkin karena tidak mengetahui hak-hak mereka dan kemana mereka harus mengadu ketika hak-hak mereka dilanggar. “Seharusnya Ulfah bangga dong memiliki ibu seorang TKI yang dipundaknya menyandang gelar pahlawan devisa. Jadi Ulfah ga perlu berbohong,” nasehat Tante Syara.

Ulfah pun kembali mengatakan sejujurnya mengapa dia berbohong. Pada awalnya Ulfah hanya berbohong kalau orang tuanya ada diluar negeri untuk traveling. Kemudian ada teman-nya yang bertanya kepada Ulfah tentang rumahnya, untuk menutupi kebohongannya yang pertama, Ulfah pun berkata bahwa rumahnya itu besar dan elite, karena tidak mungkin orang tuannya yang senang traveling ke luar negeri itu rumahnya kecil dan ecek-ecek. Dan ketika teman-temannya, tanpa disadari oleh Ulfah membuntuti kepulangan Ulfah, memergoki rumah Ulfah kecil dan ecek-ecek dengan sigap Ulfah pun berbohong bahwa itu bukan rumahnya tetapi rumah pembantunya dan seorang perempuan berkacamata yang ada dirumah itulah anak pembantunya bukan kaka kandungnya. Begitulah terus, satu kebohongan akan membuka kemungkinan untuk mendatangkan kebohongan lainnya.

Karena nasihat-nasihat yang diberikan oleh Tante Syara tersebut, yang sudah sembuh dari ke-Syaraf-annya, Ulfah menyadari perbuatan buruknya dan kembali menjadi seorang yang jujur dan ikhlas menerima segala sesuatunya dengan apa adanya.

Ternyata hadirnya Tante Syara di tengah-tengah mereka telah memberikan solusi terhadap 2 permasalahan yang dihadapi oleh Uni. Dan inilah ending dari pertempuran Uni memerangi pikiran negatif yang selama ini menggerogoti dan menyita pikirannya.

Jadi novel ini, sesungguhnya mengajarkan kepada pembacanya, seharusnyalah kita berpikiran positif ketika kita menghadapi segala sesuatu dan tanamkanlah cinta ketika kita sedang membenci orang lain, niscaya, cinta itu akan menghujam dihati orang yang menanamkannya dan akan menyeret orang tersebut untuk bersikap dan bertindak lebih bijaksana. Namun demikian, pikiran positif itu atau prasangka baik kepada orang lain harus diletakkan pada frame analistis dan rasional. Pengoprasional pikiran positif ini jika dilakukan secara membabi buta, maka dampaknya akan menjerumuskan orang itu sendiri. Hal itu dicontohkan dalam novel ini sebagai berikut:

Dalam novel ini ada episode yang menyoroti fenomena pengobatan “akal-akalan” yang dilakukan oleh gerombolan orang yang mengaku-aku sebagai kyai. Kyai Syarif namanya. Kyai Syarif menjanjikan pada orang-orang yang berbondong-bondong mengunjunginya bahwa dia sanggup mengobati penyakit apapun hanya dengan menggunakan sebuah serpihan genting, sekali gosok minggat atau pergi penyakitnya. Berangkat dengan pikiran positifnya Uni pun sempat akan terperangkap dalam strategi “akal-akalan” dari Kyai Syarif ini, tapi untung saja sebelum Uni tertipu oleh Kyai tersebut Uni sudah terlebih dahulu membongkar kebusukan Kyai tersebut. Sehingga terhindarlah Uni dari perangkap tersebut. Hampir saja uang sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) diserahkannya kepada Kyai brengsek itu karena kepercayaan Uni bahwa Kyai Iblis tersebut mampu menyembuhkan penyakit ayan-nya.

Sekarang mari kita kembali pada cerita kemesraan antara Uni dan Dian yang bertemu melalui siaran radio yang diselenggarakan oleh radio Suara Hikmah FM. Telah disebutkan tadi bahwa perhatian Dian yang berlebih kepada Uni ternyata menumbuhkan rasa cinta di hati Uni kepada Dian. Namun rasa cinta yang tumbuh subur di ladang hati milik Uni tersebut sempat ditepis oleh Uni karena Uni merasa Dian tidak mungkin akan jatuh hati kepada Uni karena mata Uni yang juling dan Uni yang mengidap penyakit ayan atau epilepsi. Namun, pikiran negatif Uni ini pun tidak terbukti karena justru sebaliknya Dian pun sebenarnya jatuh cinta kepada Uni. Kesungguhan cinta Dian ini semakin kentara sekali setelah Dian bertemu dengan Uni dalam acara pertemuan antar pendengar radio Suara Hikmah di sebuah jembatan Balerang, jembatan yang dibangun di atas sungai di kepulauan Batam.

--Ada episode yang menarik, Uni setelah pertemuan dengan teman-teman on airnya dari radio Suara Hikmah FM tersebut langsung memakai jilbab. Uni langsung berhijab ketika melihat teman-temannya berhijab. Padahal Uni pada bagian awal novel ini paham betul bahwa berhijab (memakai jilbab) itu perintah dari agama (ilahi) (?)--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun