Empat tahun lalu nama Wae Rebo mungkin masih kurang populer di telinga kita semua. Tapi siapa sangka desa kecil di timur Indonesia itu sudah lama didatangi banyak wisatawan asing. Catatan pengunjung di desa itu menyebutkan bahwa sejak tahun 2002 sampai 2009 Wae Rebo setidaknya sudah dikunjungi 480 orang wisatawan dan hanya 9 orang yang merupakan orang Indonesia. Agak menyedihkan memang karena daerah ini jauh lebih terkenal di luar negeri dari pada di negaranya sendiri. Keberadaan Wae Rebo ibarat sebuah permata yang sudah lama tersembunyi di tengah hutan.
Permata tersembunyi ini semakin terkenal sejak UNESCO memberikan penghargaan tertinggi untuk rumah adat Wae Rebo yang bernama Mbaru Niang pada Agustus 2012 lalu. Mbaru Niang terpilih sebagai proyek konservasi terbaik dalam Award of Excellence in the 2012 UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation.
[caption id="attachment_371452" align="aligncenter" width="448" caption="Desa Wae Rebo dari Kejauhan"][/caption]
Ada banyak hal yang dapat kita nikmati di Desa Wae Rebo. Satu hal yang paling unik dari desa ini tentunya adalah arsitektur rumah adatnya yang nyaris punah. Untungnya sekelompok arsitek yang dipimpin oleh arsitek senior Yori Antar mendatangi desa ini di tahun 2008. Saat itu nama Wae Rebo belum terkenal, bahkan kedatangan para arsitek ke desa itu bisa dibilang tidak disengaja. Yori Antar dan timnya kala itu menemukan kondisi rumah adat yang cukup memprihatinkan. Salah seorang tokoh adat Wae Rebo menjelaskan bahwa dulu nenek moyang masyarakat Wae Rebo mewariskan tujuh buah rumah adat. Sementara yang tersisa saat itu hanya tinggal empat buah rumah adat yang masih tegap berdiri dan dua rumah yang nyaris hancur. Atas kerjasama Yori Antar, beberapa yayasan sosial dan donator, tiga rumah adat yang nyaris punah itu pun dibangun kembali.
Saya merasa beruntung karena dapat menyaksikan pembangunan kembali rumah yang nyaris punah itu. Dua rumah adat yang telah rusak dibangun kembali layaknya membangun rumah baru. Sementara satu rumah adat yang telah hilang dimakan usia dibangun dari nol. Pembangunan dilakukan secara gotong-royong oleh warga Wae Rebo sendiri. Karena memiliki ikatan batin dengan alam dan leluhur, serangkaian upacara adat pun dilakukan oleh warga. Beberapa ekor ternak disembelih dan dibakar sebagai simbol penghormatan kepada leluhur dan alam semesta. Upacara adat bukan hanya dilakukan sebelum pembangunan dilakukan, tapi juga saat warga akan menebang beberapa pohon yang kayunya mereka gunakan sebagai fondasi dan tiang rumah. Kayu paling besar dan paling sulit didapat adalah kayu worok. Tak heran, perlu tenaga puluhan orang untuk memikul kayu ini dari hutan ke dalam desa.
Salah satu kendala pembangunan kembali Mbaru Niang adalah karena masyarakat Wae Rebo masa lalu belum mengenal budaya tulis. Teknik pembangunan rumah diwariskan secara lisan dari generasi tua ke generasi muda. Pembuatan rumah ini sangat dirahasiakan oleh nenek moyang warga Wae Rebo. Bahkan kepala bangunan yang memimpin pembuatan rumah konon harus dibunuh setelah rumah terbangun, demi menjaga kerahasiaan teknik ini. Untungnya peraturan tersebut tidak berlaku lagi di masa sekarang. Para tetua adat yang masih mengingat teknik itu pun mengarahkan warga untuk membangun rumah dengan menggunakan teknik ikatan rotan yang cukup rumit.
Ya! Mbaru Niang tidak menggunakan paku dan beton dalam pembuatannya. Kayu-kayu dapat menjadi fondasi yang kuat karena diikat erat dengan berbagai teknik anyaman rotan. Mbaru Niang menggunakan alang-alang dan ijuk sebagai atapnya. Satu resep yang membuat alang-alang, ijuk, dan kayu tetap kuat dari serangan rayap dan ngengat adalah asap. Itu sebabnya dapur diletakkan tepat di tengah rumah, di dekat tiang utama. Asap yang keluar dari tungku tempat kaum ibu memasak akan membumbung hingga ke puncak atap. Membuat kayu, alang-alang, dan ijuk semakin kuat dan mengurangi kelembapannya.
[caption id="attachment_371455" align="aligncenter" width="448" caption="Para Warga Bekerja Sama Membangun Rumah Adat"]
Cara menuju Desa Wae Rebo tidaklah terlalu sulit. Kita terlebih dahulu harus mendatangi Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ada banyak penerbangan dari Jakarta menuju Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo kita dapat menyewa mobil menuju Desa Dintor dengan waktu tempuh cukup lama, sekitar 5-6 jam. Ada baiknya terlebih dahulu menghubungi warga Wae Rebo yang sudah terbiasa menjadi pemandu wisata untuk memudahkan kita mengakses angkutan menuju Dintor. Desa Dintor ialah desa pesisir yang berada di dekat pantai. Dari Desa Dintor kita dapat melihat Pulau Mules dengan pemandangan gunung dan stepa laksana gunung-gunung di film Jurassic Park. Kita dapat bermalam di Dintor supaya bisa benar-benar fit untuk memulai perjalanan ke Wae Rebo keesokan harinya. Jangan lupa siapkan baju hangat karena suhu udara di Wae Rebo sangat dingin. Sebaiknya kenakan celana panjang yang menutupi mata kaki dan sepatu hiking untuk menghindari isapan pacet di sekitar sungai menuju Wae Rebo. Akan lebih baik jika Anda meminum obat anti malaria sebelum memulai trip ini.
Perjalanan menuju Wae Rebo memang tidak terlalu mudah. Dari Dintor kita harus menuju kampung terdekat Desa Wae Rebo bernama Kampung Denge. Untuk menuju Kampung Denge dapat menggunakan angkutan umum berupa truk. Seru juga loh naik truk yang biasa digunakan warga untuk berjual-beli ke pasar. Apalagi kalau truk itu memutar lagu-lagu disko berbahasa Flores. Perjalanan Dintor-Denge tidak terlalu lama, hanya sekitar 15 menit.
Nah.. petulangan sesungguhnya adalah perjalanan dari Denge ke Wae Rebo. Saya sarankan Anda untuk banyak-banyak latihan dan olah raga jauh-jauh hari sebelum melakukan trip ini untuk membiasakan tubuh dengan pendakian. Karena selanjutnya kita akan melakukan trekking dengan medan menanjak selama 3-4 jam. Tidak perlu khawatir dengan barang bawaan yang berat karena akan ada porter yang siap membantu kita. Jangan lupa juga untuk menikmati pemandangan dan kesejukan hutan hujan tropis yang bernuansa magis seperti yang kita lihat dalam film The Lord of The Rings. Di sepanjang perjalanan kita bisa melihat pepohonan khas hutan Flores disertai suara burung Pacycepala yang amat merdu.
[caption id="attachment_371456" align="aligncenter" width="448" caption="Hutan Menuju Wae Rebo"]
Beberapa meter sebelum mencapai desa saya mendengar suara alat-alat musik dari kejauhan. Rupanya warga sudah mempersiapkan penyambutan bagi orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Wae Rebo. Mereka sudah siap dengan baju putih serta kain khas Manggarai dan batik penutup kepala untuk menyambut para tamunya. Keramahan memang adalah ciri khas warga Wae Rebo. Saya belum pernah melihat keramahan warga lokal seperti keramahan mereka. Biaya penginapan di salah satu rumah adat Wae Rebo relatif tidak terlalu mahal. Karena rombongan saya cukup banyak (sekitar 20 orang) saya hanya perlu membayar 150 ribu Rupiah semalam. Itu sudah termasuk makan tiga kali sehari (harga ini diterapkan tahun 2011, besar kemungkinan saat ini sudah berubah). Kaum ibu yang biasa disebut Mama akan dengan senang hati memasakkan makanan untuk kita. Para Mama di Wae Rebo pun akan sangat senang kalau kita membeli kain tenun yang mereka buat sendiri di halaman rumah. Harganya berkisar mulai dari 250 hingga 350 ribu rupiah. Kainnya pun sangat indah. Rasanya rugi kalau tidak membelinya.
Saya dan teman-teman tinggal di salah satu rumah adat yang khusus disiapkan warga untuk menjamu tamu. Di rumah berbentuk bundar itu kami tidur melingkar mengelilingi tiang di tengah rumah. Berbeda dari rumah adat lainnya yang ditinggali warga, rumah adat untuk wisatawan memiliki dapur terpisah di belakang rumah. Di dalam rumah home stay ada satu kamar kecil yang bisa digunakan untuk berganti pakaian. Air di desa ini pun mengalir lancar dan disediakan pula toilet umum bagi wisatawan. Kebersihan sarana umumnya pun terjaga dengan baik. Jika mau, kita dapat mandi di pancuran yang airnya berasal dari mata air pegunungan.
Trip melelahkan benar-benar terbayar impas dengan pemandangan yang kita lihat di Wae Rebo. Desa ini terletak di dasar lembah pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut. Bentuknya seperti kuali raksasa karena dikelilingi oleh pegunungan. Terkesan misterius karena tersembunyi jauh dari desa-desa lainnya di Manggarai. Kesan misterius semakin kental saat saya tiba dan melihat kabut menyelimuti desa itu dari kejauhan. Apalagi rumah-rumah bulat berbentuk kerucut seperti Mbaru Niang belum pernah saya lihat sebelumnya. Ingatan saya pun terbayang pada perkampungan Galia di komik Asterix. Suatu perkampungan yang tak ubahnya seperti negeri khayalan. Negeri yang berselimut awan.
[caption id="attachment_371458" align="aligncenter" width="640" caption="Pucuk Mbaru Niang yang Nyaris Tertutup"]