Mohon tunggu...
Diandra Yesastia
Diandra Yesastia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Proud Javanese, pescatarian, spiritually devoted, mama Universe's favorite. Self-taught renaissance woman warrior. || An Architecture student and an art enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Soeharto dan Segoroyoso: Prasasti Pengingat yang Terlupa

16 Juni 2021   19:30 Diperbarui: 18 Juni 2021   10:45 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Enggak tahu," jawab ibu saya saat ditanyakan perihal keberadaan situs Monumen Segoroyoso. 

Saya pribadi tidak akan pernah tahu akan keberadaannya apabila tidak melalui tugas mata kuliah Konservasi Arsitektur di kampus saya.

Penelusuran lewat Google untuk ruang-ruang serta bangunan peninggalan sejarah yang berada di Yogyakarta tentu tak ada habisnya. 

Hingga pada suatu kesempatan, saya secara tidak sengaja menemukannya; Monumen Segoroyoso; saksi bisu perjuangan Letkol Soeharto dan pasukannya bersama dengan desa Segoroyoso.

Bangunan ini belum memiliki sertifikasi yang dipublikasi berupa surat keterangan bangunan bersejarah maupun cagar budaya. 

Bahkan, artikel dan informasi mengenai situs ini begitu minim. Dokumentasi terkini pun diambil pada akhir tahun lalu. Satu-satunya jalan untuk mengenalnya lebih dekat adalah dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan pengelola situs. 

Terkirim. 

Surel tersebut saya tujukan sebagai surat perizinan dan pemberitahuan survey kepada pemerintah daerah Pleret; beberapa hari sebelum penelitian lapangan. 

Barangkali, bangunan tersebut merupakan objek yang tidak diberikan perizinan bagi siapapun untuk menginjakkan kaki di pekarangannya. 

Namun, satu hari menjelang penelitian, tak ada jawaban. Hati saya sudah begitu mantap dengan pilihan objek saya; ada suatu dorongan untuk mengenalnya lebih dekat. 

Mau tak mau, berangkatlah saya dengan segala resiko ke situs tersebut. 

Dibangun untuk Mengingatkan, 'Runtuh' tanpa Peringatan

Setelah menempuh kurang lebih 30 menit perjalanan dari area Madukismo, Bantul, sampailah saya, ditemani ibu saya, di situs monumen Segoroyoso. Kendaraan saya terparkir sekitar 50 meter dari pekarangan itu oleh karena keterbatasan ruang parkir. 

Bahkan ketika sampai pada tujuan, saya mempertanyakan validitas bangunan tersebut sebagai bangunan bersejarah. Keadaannya begitu menyedihkan. 

Tak salah pendapat salah satu jurnalis yang menulis ungkapan sinisme bahwa 'saking parahnya kondisinya, bangunan ini lebih mirip gudang daripada sebuah monumen'.  

Namun, ada sedikit kelegaan melihat bentuk aslinya jauh lebih baik daripada yang saya lihat pada mesin pencarian internet.

Penampilan Situs di Mesin Pencarian || Sumber : jogjasuper.co.id
Penampilan Situs di Mesin Pencarian || Sumber : jogjasuper.co.id

Cukup mudah menemukannya, situs ini berada tepat di Utara pinggir jalan desa Segoroyoso yang menembus ke arah Timur menuju jalan raya Pleret-Pathuk.

Terduduk diam nan manis di Utara jalan desa Segoroyoso, ialah sebuah bangunan sederhana dengan pelataran cor-coran yang kosong; bak singgasana tanpa raja. 

Tamannya yang luas berhiaskan pucuk merah yang membingkai rapih pekarangan situs yang dipagari oleh bilah-bilah bambu bercat hijau. 

Rumputnya rapih. Wajahnya tertutup terpal, dan atap-atapnya sempal. Kayu-kayunya lapuk. 

Hening nan sepi. Ironisnya, ketika kau tanyakan siapa namanya, ia adalah monumen peringatan peninggalan Letkol Soeharto.

Gapura, Gerbang dan Sangkalan || Sumber : Dokumentasi Penulis
Gapura, Gerbang dan Sangkalan || Sumber : Dokumentasi Penulis

Pagar besi pada gapura, akses utama pekarangan di depan pekarangan tertutup erat; yang dapat saya lihat hanyalah sebuah tembok rendah di dalam gapura yang berhias pahatan batu tokoh Ganesha.

'Uninga diponggo anggatra janma,' baca sebuah tulisan aksara jawa di atasnya.  Sebuah sengkalan dengan kronogram Ganesha berhias lambang garuda di dada kirinya; tanggal dibangunnya situs ini. 1983.

Siapa sangka bangunan ini merupakan bentuk peninggalan sejarah yang melatarbelakangi Serangan Umum 1 Maret 1949. Keberadaan dua prasasti pada sisi kiri dan kanan situs saja tak cukup meyakinkan. 

Berdasarkan artikel-artikel dari cendananews.com dan jogjasuper.co.id., keberadaan dari monumen (prasasti) tertulis ini merupakan dan menjadi saksi bisu perjuangan Soeharto beserta pasukannya dan juga keikutsertaan warga desa Segoroyoso dalam perlawanan terhadap para penjajah, dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. 

Komandan Wehrkreise III Letkol Suharto bersamaan dengan pasukannya menyusun dan mempersiapkan seluruh strategi penyerangan tersebut di desa ini. 

Di masa itu, pemuda-pemuda desa banyak yang mengikuti latihan militer dalam rangka perlindungan kawasan pada saat itu, maupun dikirim ke luar daerah. 

Desa ini juga menyumbangkan rumah-rumahnya untuk digunakan sebagai markas pertahanan dan juga fasilitas pendukung lain seperti rumah sakit, serta fungsi lainnya.

Prasasti di Situs Segoroyoso || Sumber : Dokumentasi Penulis
Prasasti di Situs Segoroyoso || Sumber : Dokumentasi Penulis

 Tak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di sekitar situs, saya segera memutuskan untuk bertanya pada warga pemilik toko kelontong di seberang jalan. 

Sesuai dengan informasi-informasi yang saya baca di internet, bangunan ini memang dan masih belum aktif digunakan semenjak gempa 2006.

Gempa vulkanik tersebut meruntuhkan sebagian besar elemen dan bagian dari bangunan ini. Menurut ibu pengelola toko tersebut, situs tersebut tak lagi sebagai tempat berkegiatan pramuka, maupun wadah arisan ibu-ibu PKK. 

Kini, bangunan tersebut hanya digunakan sebagai titik kumpul kegiatan warga sekitar yang bernama Pitse, yaitu sepeda gembira bersama setiap hari Jumat atau pada agenda-agenda lain. 

Atau, dalam beberapa kesempatan, anak-anak daerah sekitar juga bermain-main di pekarangan ini.

Dari ibu pemilik toko tersebut, saya disarankan untuk langsung saja berkomunikasi, mewawancara pengelola situs tersebut yang tinggal tak jauh dari lokasi saya saat itu.

Bapak Trimurti; Sosok di Balik Membaiknya Wajah Situs

Sekitar 100 meter ke Barat dari situs, berdirilah sebuah rumah tinggal sekaligus warung tepat di tikungan jalan. Bangunan sederhana tersebut tak lain dan tak bukan adalah rumah tinggal bapak pengelola sekaligus penanggung jawab situs monumen Segoroyoso. 

Bukan, bukan seorang tokoh 'penting' desa, apalagi pemerintah daerah. Beliau adalah bapak Trimurti, salah satu warga desa Segoroyoso. 

Sesampainya di lokasi, sapaan yang amat ramah langsung menyambut saya dan ibu saya usai memarkirkan kendaraan pada pekarangan kecil rumah sekaligus warung lotek tersebut. 

Terkejut? Tentu. Sangat bersahabat dan hangat. Saya dipersilahkan masuk setelah memperkenalkan diri saya. Ditemani secangkir teh hangat buatan istri bapak Trimurti, percakapan dengan pak Trimurti seputar situs tersebut berjalan.

Tampilan Rumah Tinggal Bapak Pengelola || Sumber : Tangkap layar Google Street View
Tampilan Rumah Tinggal Bapak Pengelola || Sumber : Tangkap layar Google Street View

Ternyata, situs tersebut terbuka untuk umum. Gerbangnya tak bergembok. Status tanah dari bangunan tersebut adalah milik kelurahan. Tak banyak dana yang masuk sebagai bentuk sumbangsih pemerintah daerah dalam rangka pelestarian situs ini. 

Sebagian besar disumbangkan secara swadaya oleh warga sekitar dan bapak Trimurti sendiri.

Rumput-rumput yang rapi, struktur pagar lama yang tak bersisa digantikan oleh pagar bambu buatan tangan pak Trimurti. Lampu-lampu sorot yang ada di situs ini pun hasil pemasangan tangan beliau. Situs ini di-manage seluruhnya secara swadaya oleh bapak Trimurti.

"Sudah diajukan Surat Keterangannya sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tak ada jawaban. Jadi, saya berikan apa yang saya berikan saja untuk menjaga. Ada warga juga yang ikut membantu dana dan mengurus situs," ujar pak Trimurti seputar pengajuan surat usulan keterangan cagar budaya. 

Sedari 2017 menanti, hingga kini, sumbangan dan respon yang didapat hanyalah lampu-lampu sorot dan lampu pekarangan untuk menerangi beberapa titik di situs. 

Setelah bercakap singkat, Pak Trimurti dengan rendah hati menawarkan, mengantarkan dan memandu saya dalam penelitian dan pengamatan saya di situs monumen Segoroyoso.

Struktur Tua Atap Gapura || Sumber : Dokumentasi Penulis
Struktur Tua Atap Gapura || Sumber : Dokumentasi Penulis

Sesampainya di sana, Pak Trimurti menunjukkan struktur atap gapura yang masih menggunakan kayu dari tahun pertama dibangun; tahun 1983. Beliau mengutarakan niatnya untuk memperbaiki struktur tersebut juga setelah mengecat hijau pagar bambu pekarangan. 

Saya mulai mengukur situs tersebut menggunakan meteran saya; ternyata situs ini cukup luas. Tentu merupakan kegiatan yang cukup melelahkan bagi bapak Trimurti untuk mengolah dan memelihara situs ini seorang diri. 

Dari 23 meter bentang lebar Selatan dan Utara situs, pagar bambu buatan tangan tersebut menutupi bagian Selatan yang tak lagi berpagar.

Dahulunya, pagar di bagian Selatan ini memiliki struktur yang sama dengan sisa tembok pagar bercat putih yang berada di Barat situs yang berbatasan langsung dengan rumah warga. 

Tanaman perdu pucuk merah yang menghias pekarangan situs juga merupakan hasil sumbangan dan pekerjaan tangan bapak Trimurti. Tanaman lain seperti seperti euphorbia, kamboja, pohon alpukat dan lainnya juga merupakan sumbangan beliau.

Pengukuran Sisi Timur Situs dengan Bapak Trimurti || Sumber : Dokumentasi Penulis
Pengukuran Sisi Timur Situs dengan Bapak Trimurti || Sumber : Dokumentasi Penulis

Seluruh struktur yang tersisa pada situs ini masih sama persis dengan keadaan pertama kali dibangun. Mulai dari bangunan utamanya, gapuranya, sisa pagar yang ada, hingga kedua monumen dan tiang bendera situs. Ada pula tiga tanaman Dracaena fragrans (L.) atau sri gading yang merupakan peninggalan pembangunan awal situs ini.

Bila dilihat sekilas, bangunan utama memiliki beberapa unsur khas arsitektur Indische pada jamannya. Pintu-pintu tinggi dengan kaca yang lebar serta ventilasi di atasnya, kemudian penggunaan atap perisai atau limasan sebagai pelingkup atapnya. 

Namun, yang menarik perhatian saya adalah pelataran cor-coran yang merupakan bekas pendopo situs. Keberadaan elemen ini memperkuat kesan dan keadaan era di mana bangunan ini dibangun; menambahkan unsur arsitektur Jawa yang lebih kuat pada bangunan sederhana bernuansa Indische tersebut. 

Sayangnya, pelataran pendopo tersebut tak ada sisa atap dan strukturnya, atau kolom-kolom kayu; bahkan umpaknya saja tidak ada. Bersisa depresi-depresi persegi di mana seharusnya mereka berada.

"Hilang semua, mbak, setelah gempa 2006," jawab pak Trimurti setelah saya tanyai perihal pelataran tersebut.

Dibawa lari, dipergunakan kembali, atau mungkin dijual; tak ada yang tahu pasti ke mana larinya bahan-bahan sisaan pendapa tersebut. 

Pelataran Sisa Pendopo Situs || Sumber : Dokumentasi Penulis
Pelataran Sisa Pendopo Situs || Sumber : Dokumentasi Penulis

Melanjutkan pengamatan saya, kini saya mulai mengukur bangunan utama yang masih berdiri kokoh bertutup terpal di Utara situs. 

Keadaannya miris sekali. Plafonnya berlubang-lubang dan lapuk-lapuk. Dindingnya kusam, catnya mengelupas, dan dirambati lumut pada titik-titik rembesan air hujan. Kaca-kaca pintunya pecah dan beberapa kusennya digerogoti rayap.

Untuk mengobati kerancuan informasi yang saya tangkap dari artikel-artikel online, saya bertanya kepada beliau mengenai bagian manakah yang dipergunakan sebagai tempat perancangan strategi Letkol Soeharto dan pasukannya. 

Ternyata, situs monumen ini merupakan situs bangunan 1983 yang dibangun oleh Letkol Soeharto sebagai peringatan peristiwa dan partisipasi warga Segoroyoso; sesuai dengan sengkalan dan kronogram yang menghias tembok gapura.

Lokasi perancangan strategi penyerangan berada di rumah tepat di seberang jalan Timur situs. Dulunya merupakan rumah yang ditinggali oleh adik mendiang Soeharto. 

Tanah pekarangan tersebut hingga tanah di belakang situs masih merupakan tanah milik beliau. Tanah situs ini merupakan bagian kepemilikan beliau juga, namun kemudian disumbangkan untuk dikelola kelurahan semenjak pembangunan situs ini. 

"Dulunya, bangunan utama ini difungsikan sebagai perpustakaan. Anak-anak jaman dulu sering ke perpustakaan ini," jelas pak Trimurti.

Pak Trimurti memasangi terpal pada fasad bangunan utama oleh karena keadaan pintu-pintu bangunan yang sudah berlubang-lubang; menjaga keamanan bangunan agar tak sembarang digunakan. Memang disayangkan karena orang yang lewat tidak bisa mengetahui rupa dari bangunan ini. Namun, semakin paham dan maklumlah saya ketika saya hendak mendokumentasikan dan menengok keadaan interior bangunan dengan membuka terpal berat tersebut.

Kondisi Interior Bangunan Utama || Sumber : Dokumentasi Penulis
Kondisi Interior Bangunan Utama || Sumber : Dokumentasi Penulis

Ternyata keadaan interior bangunan lebih memprihatinkan daripada exterior-nya. 

Meskipun memang masih utuh dan berdiri tegak, namun plafonnya sudah tak berbentuk, atapnya berlubang-lubang dan strukturnya mulai rusak, dindingnya juga dirambati lumut, kotor dan kosong. 

Tak ada barang-barang lagi, semua dipindahkan di museum Soeharto di Sedayu. Tak dapat digunakan. Tentu membutuhkan biaya yang cukup besar dalam membenahi keseluruhan bangunan ini dan tak cukup bila hanya pak Trimurti seorang yang memelihara bangunan ini. 

Adapula sumber air situs yang berupa sumur tepat di samping Barat bangunan perpustakaan. Persis di sampingnya merupakan puing-puing kamar mandi yang sudah diratakan dengan semen. 

Sumur tersebut juga dipasangi pompa oleh bapak Trimurti. Tentu untuk menjaga vegetasi situs tetap hidup dan hijau, diperlukan air untuk menyiraminya.

Melihat aktivasi pompa tersebut, lampu-lampu di pekarangan, steker-steker yang ada di situs juga membutuhkan listrik, saya menanyakannya kepada pak Trimurti. Sebelumnya, beliau berkata bahwa meteran dan perangkat listrik situs ini sudah diambil kembali oleh pemerintah daerah. Sisanya masih menempel di dinding Timur bangunan perpustakaan.

Sisa Meteran Listrik Situs || Sumber : Dokumentasi Penulis
Sisa Meteran Listrik Situs || Sumber : Dokumentasi Penulis

 "Ya, listriknya memanfaatkan dari sisa-sisa listrik meteran bekas itu, lumayan bisa dipakai untuk lampu. Sudah izin dengan pemerintah daerah," jawabnya.

Mak tratap. 

Saya semakin merasa miris. Bahkan untuk listrik saja situs ini meresikokan untuk menumpang dari sisa guna yang lalu; perizinannya tak tahu ditanggungkan ke mana. Pak Trimurti sendiri yang mengajukan izin penggunaan listrik kepada perda; setidaknya agar tetap terpelihara dan pihak pemerintah tahu perihal penggunaannya. 

Situs Monumen Segoroyoso || Sumber : Dokumentasi Penulis
Situs Monumen Segoroyoso || Sumber : Dokumentasi Penulis

Ironis. Dibangun dalam rangka membingkai peristiwa sejarah, malah 'diruntuhkan'  dengan pasrah. Niat hati menjadikannya pengingat, malah terlupa semenjak gempa 2006.

Bila tidak dengan uluran tangan ikhlas bapak Trimurti dan beberapa warga desa Segoroyoso yang ikut memelihara, situs ini mungkin akan jauh lebih menyedihkan keadaannya. 

Warga sekitar juga mengutarakan keprihatinan terhadap tak banyaknya antusiasme warga untuk mendukung pengelolaan dan maintenance situs tersebut. Padahal, situs monumen Segoroyoso memiliki potensi yang baik bagi desa Segoroyoso. 

Besar harapan mereka agar situs ini segera diberikan perhatian lebih oleh pemerintah daerah.

Sayang sekali, padahal website daerah juga sudah mempublikasikan artikel tentang monumen ini, namun, kekhawatiran dan harapan warga sekitar tak kunjung terjawab. Ajuan warga untuk mengelola secara swadaya saja juga tak diterima.

Berdasarkan demografi Pleret milik perda Bantul (2019), warga Segoroyoso sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai buruh harian lepas, pelajar atau mahasiswa, wiraswasta atau buruh tani. Namun, pada peringkat tiga pada demografi pekerjaan setelah pelajar adalah tidak bekerja. 

Tentu segala bentuk revitalisasi ataupun konservasi; sedikit lirikan kepada situs ini dapat mendukung dan berdampak lebih baik bagi masyarakat lokal dalam segala aspek selain dengan menjaga dan memelihara peninggalan sejarah bangsa kita.

Beberapa poin menurut Tjandrasasmita (1982) mengutarakan bahwa peninggalan sejarah merupakan objek ilmu dan pengetahuan dan cermin sejarah dan budaya. 

Selain itu, peninggalan sejarah juga merupakan media pembinaan dan pengembangan nilai-nilai kebudayaan dan juga media pendidikan budaya bangsa sepanjang masa.  

Baiknya, janganlah hanya belajar untuk membangun masa depan hingga kita lupa hari ini dan meninggalkan masa lalu. Belajarlah dari masa lalu sehingga di masa kini kita bisa tahu langkah tepat untuk mencapai masa depan yang lebih baik.

Siapalah kita tanpa sejarah yang membentuk kita?

"Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya." - Ir. Soekarno 

Terima kasih kepada bapak Trimurti, pengelola dan pemelihara situs monumen Segoroyoso, serta masyarakatdesa yang telah peduli.

Semoga segera terwujud harapan kalian akan revitalisasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun