Tanah pekarangan tersebut hingga tanah di belakang situs masih merupakan tanah milik beliau. Tanah situs ini merupakan bagian kepemilikan beliau juga, namun kemudian disumbangkan untuk dikelola kelurahan semenjak pembangunan situs ini.Â
"Dulunya, bangunan utama ini difungsikan sebagai perpustakaan. Anak-anak jaman dulu sering ke perpustakaan ini," jelas pak Trimurti.
Pak Trimurti memasangi terpal pada fasad bangunan utama oleh karena keadaan pintu-pintu bangunan yang sudah berlubang-lubang; menjaga keamanan bangunan agar tak sembarang digunakan. Memang disayangkan karena orang yang lewat tidak bisa mengetahui rupa dari bangunan ini. Namun, semakin paham dan maklumlah saya ketika saya hendak mendokumentasikan dan menengok keadaan interior bangunan dengan membuka terpal berat tersebut.
Ternyata keadaan interior bangunan lebih memprihatinkan daripada exterior-nya.Â
Meskipun memang masih utuh dan berdiri tegak, namun plafonnya sudah tak berbentuk, atapnya berlubang-lubang dan strukturnya mulai rusak, dindingnya juga dirambati lumut, kotor dan kosong.Â
Tak ada barang-barang lagi, semua dipindahkan di museum Soeharto di Sedayu. Tak dapat digunakan. Tentu membutuhkan biaya yang cukup besar dalam membenahi keseluruhan bangunan ini dan tak cukup bila hanya pak Trimurti seorang yang memelihara bangunan ini.Â
Adapula sumber air situs yang berupa sumur tepat di samping Barat bangunan perpustakaan. Persis di sampingnya merupakan puing-puing kamar mandi yang sudah diratakan dengan semen.Â
Sumur tersebut juga dipasangi pompa oleh bapak Trimurti. Tentu untuk menjaga vegetasi situs tetap hidup dan hijau, diperlukan air untuk menyiraminya.
Melihat aktivasi pompa tersebut, lampu-lampu di pekarangan, steker-steker yang ada di situs juga membutuhkan listrik, saya menanyakannya kepada pak Trimurti. Sebelumnya, beliau berkata bahwa meteran dan perangkat listrik situs ini sudah diambil kembali oleh pemerintah daerah. Sisanya masih menempel di dinding Timur bangunan perpustakaan.