Mohon tunggu...
Yeremias Jena
Yeremias Jena Mohon Tunggu... -

Seorang putra daerah yang mengabdikan diri sebagai pendidik di Kota Metropolitan. Menulis adalah bagian dari hidupku.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi, Nalar, dan Epistemologi Feminis

19 September 2017   07:34 Diperbarui: 19 September 2017   08:43 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan mendasar menyusul tindakan korupsi yang melibatkan orang terdidik adalah mengapa mereka masih saja tergodadan berperilaku tidak bermoral? Asumsinya setiap orang yang "mengetahui yang baik" harus bertindak secara baik. Sebaliknya, subjek yang bertindak tidak bermoral mendekonstruksi kemampuan nalarnya.

Banyak opini di media massa yang dibangun di atas optimisme bahwa "mengetahui yang baik" akan bermuara pada perilaku yang baik(misalnya korupsi adalah tindakan tidak bermoral, karena itu, supaya berperilaku moral, saya tidak boleh korupsi). Beberapa di antaranya akan saya deskripsikan di sini untuk membela argumen saya, bahwa mengetahui yang baik tidak dapat secara otomatis membuat individu bertindak moral. Dibutuhkan simpati pada penderitaan orang lain dan kesediaan untuk ikut merasakan penderitaan mereka sebagai jalan untuk mencegah perilaku koruptif.

Dua Kutub Sumber Moral

Eko Wijayanto dalam tulisannya Budaya Korupsi dan Akal Sehat(Kompas, 19/8/2008) menghubungkan korupsi dengan perilaku binatang, di mana perilaku liar-kebinatangan ini hanya bisa dijinakkan oleh nalar. Hal senada dikatakan P. Ari Subagyo dalam tulisannya berjudul Gagalnya Diskursus Antidemokrasi(Kompas, 27/4/2010). Bagi Ari Subagyo, kapitalisasi diskursus antikorupsi dapat mencegah tindakan koruptif.

Beberapa tulisan opini terbaru pun mengafirmasi keyakinan yang sama. Sumbo Tinarbuko dalam tulisannya berjudul Cacat Moral Insan Terpelajar(Kompas, 17/6/2017), melihat bahwa pelaku korupsi telah mendekonstruksi diri menjadi insan tak-terpelajar. Jika ini dibiarkan, perlawanan terhadap korupsi akan menjadi berat, karena kita menjadi semakin toleran dan permisif terhadapnya (Dahnil Anzar Simanjuntak, Era Kegelapan Komisi Pemberantasan Korupsi, republika.co.id, 19/6/2017).

Bagi Saldi Isra, perilaku koruptif di Indonesia juga melibatkan partai politik yang korup, dan itu disebabkan oleh pengabaian atas ideal-ideal politik dan demokrasi (Kekuasaan dan Perilaku Korupsi,Jakarta, Penerbit Buku Kompas: xx-xxi). Ini diamini Aji Chen Bromokusumo dalam tulisannya berjudul Perlawanan Koruptor dan Oligarki Berbungkus Agama dan Sentimen Etnis(kompas.com, 15/5/2017). Tindakan korupsi oleh individu dan/atau partai politik yang korup telah menjadi bukti besarnya nafsu kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara.

Berbagai pendapat itu menegaskan dua hal penting. Pertama,  mengetahui yang baik mendorong individu untuk bertindak etis. Sudah sejak lama Aristotelesmenegaskan bahwa mengetahui yang baik tidak pertama-tama untuk memiliki pengetahuan teoretis, tetapi untuk menjadi baik, yakni mempraktikkan isi pengetahuan yang baik itu sendiri (Nicomachean Ethics, bk.2, ch.2).Selaku penerus etika Aristotelian, Thomas Aquinas menegaskan hal yang sama dan kemudian menambahkan bahwa tujuan tertinggi hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan kekal, dan bahwa tindakan etis adalah syarat untuk mencapai keadaan tersebut (Frederick Copleston, The History of Philosophy 2,1993: 398-411). Beberapa opini yang dirujuk di sini ada pada optimisme yang sama (Eko Wijayanto, P. Ari Subagyo, Sumbo Tinarbuko, Dahnil Anzar Simanjuntak). Posisi ini mengandaikan bahwa tindakan yang didasarkan pada pengetahuan akan yang baik telah menjadi kebiasaan/perilaku sehingga seberapa besar pun godaan korupsi, pengetahuan akan yang baik memampukan dia untuk menghindarinya.

Kedua,pentingnya ideal ethicstertentu yang menjadi tujuan tindakan moral, dan ini yang absen dalam tindakan dan perilaku individu dan institusi politik (Saldi Isra) persis karena nafsu kekuasaan telah memberangusnya dari realitas kehidupan sosial-politis kita (Aji Chen Bromokusumo). Meskipun kemudian dikritik oleh etika Kantian -- bahwa tindakan moral dilakukan pertama-tama demi ketaatan pada kewajiban moral yang telah ditetapkan setiap individu dalam hatinya dan bukan demi merealisasikan cita-cita moral sosial tertentu --tampaknya kita masih memerlukan ideal-ideal semacam itu. Demi memperkuat kebiasaan menghindari korupsi dan perilaku tak bermoral lainnya, kita masih membutuhkan cita-cita moral bersama yang melihat bahwa masyarakat bebas korupsi adalah keniscayaan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Epistemologi Feminis

Jika praktik korupsi tampak masih sulit diberantas, apakah itu berarti nalar dan pengetahuan akan yang baik telah gagal mendorong tindakan baik? Nalar dan otonomi moral pada level tertinggi sebagaimana dicita-citakan etika Kantian -- bahwa individu tetap akan bertindak etis meskipun berada dalam situasi di mana perilaku korupsi dianggap sebagai kelaziman -- harus terus ditanamkan. Termasuk di dalamnya adalah upaya mendekonstruksi pandangan bahwa orang berperilaku baik supaya masuk surga. Ada atau tidak adanya surga bukanlah kondisi niscaya bagi tindakan etis.

Kita juga butuh cita-cita moral bersama, yakni hasrat bersama untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Misalnya dengan mengkapitalisasi kesadaran bahwa tanpa korupsi kita mampu membangun lebih dari 4.000 kilometer jalan di Papua, hampir 3000 kilometer jalan tol lintas Sumatera, lebih dari seribu kilometer jalan di Kalimantan, ribuan kilometer jalan di Sulawesi dan daerah-daerah lain yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Cita-cita moral bersama inilah "masyarakat yang adil dan makmur" sebagaimana diangan-angankan para pendiri bangsa ini, dan itu hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan di segala bidang tanpa korupsi. Di sinilah kita butuh banyak tokoh panutan serta teladan para tokoh publik dan kepala pemerintahan yang hidupnya bersih dengan manajemen pemerintahannya yang bebas korupsi.

Pendidikan moral dan karakter di sekolah-sekolah tidak boleh berhenti pada level kognitif, juga tidak berhenti pada mengisahkan watak ideal para tokoh panutan. Ia harus mampu memicu hasrat atau keinginan kuat untuk mencintai dan memiliki kebaikan (loving the good) dan kemauan kuat untuk mewujudkannya (acting good). Untuk itu, pengetahuan akan yang baik dan buruk saja tidaklah cukup, apalagi sekadar menarasikan moralitas tokoh-tokoh panutan. Dibutuhkan pengalaman relasional berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang masih masih berjuang untuk keluar dari jerat kemiskinan, keterbelakangan, keadaan buruknya sanitasi dan pelayanan kesehatan, tertinggalnya situasi pendidikan di pedalaman, sulitnya mengakses fasilitas publik, dan sebagainya.

Dalam konteks inilah kita butuh epistemologi feminis dalam pembentukan watak moral warga negara. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan cara kaum perempuan membangun dan mendeskripsikan pemahaman mereka mengenai moralitas. Kaum feminis tidak pernah memulainya dengan merumuskan prinsip-prinsip moral dan kemudian mewujudkannya. Kaum feminis selalu memulainya dengan membangun relasi personal dengan orang dan/atau kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable). Mirip seperti yang sering dilakukan Presiden Jokowi, kaum feminis menegaskan pentingnya dekat dengan dan menjadi bagian dari "duka dan kecemasan" masyarakat.

Kaum feminis juga menegaskan pentingnya mengubah cara berpikir dari kecendrungan abstraksi dan objektivasi kepada pentingnya feeling withatau ikut merasakan (Nel Noddings, Caring,2013:203-208). Bagi mereka, simpati harus berdiri paling depan dalam setiap relasi dengan orang lain, terutama dengan individu dan kelompok masyarakat rentan, dan bukan nalar saintifik yang cendrung menjauhkan kita dari realitas. Jika hal terakhir seringkali gagal mendorong tindakan moral -- dan itu nyata dalam perilaku koruptif di Indonesia --epistemologi feminis yang memosisikan simpati mendahului pengetahuan saintifik dipercaya dapat mendorong tindakan moral, karena identifikasi pelaku moral dengan "duka dan kecemasan orang lain", dan dirinya adalah bagian dari seluruh penderitaan tersebut.

Mengadopsi cara berpikir kaum feminis, kita dapat mengajukan gugatan-gugatan ini: tegakah mengkorupsi ketika hampir 45 ribu anak mengalami gizi buruk di Indonesia dengan prevalensi mencapai hampir 20 persen (gizi kurang dan gizi buruk)? Tegakah mengkorupsi ketika sekitar 2,5 juta anak Indonesia mengalami putus sekolah (data Unicef 2016)? Sampai hatikah mencuri uang rakyat ketika 4,1 juta anak di Indonesia mengalami penelantaran (data Unicef 2015)? Masih tegakah kita merampok uang negara ketika angka kematian ibu di Indonesia masih bercokol pada 305 per seratus ribu kelahiran (data Kemenkes 2017)?

Kembali ke epistemologi feminis, jika saja kita menjadi bagian dari penderitaan sesama, jika saja para politisi rajin ke daerah pemilihan dan ikut mengalami secara nyata penderitaan rakyat. Jika saja parpol-parpol kita benar-benar memedulikan wong cilik. Jika saja setiap orang di republik ini sanggup menanggung ke dalam dirinya "duka dan penderitaan" sesamanya. Kita hanya bisa berandai-andai, karena semuanya ini masih jauh panggang dari api.

Penulis adalah etikawan dan dosen tetap di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun