Pendidikan moral dan karakter di sekolah-sekolah tidak boleh berhenti pada level kognitif, juga tidak berhenti pada mengisahkan watak ideal para tokoh panutan. Ia harus mampu memicu hasrat atau keinginan kuat untuk mencintai dan memiliki kebaikan (loving the good) dan kemauan kuat untuk mewujudkannya (acting good). Untuk itu, pengetahuan akan yang baik dan buruk saja tidaklah cukup, apalagi sekadar menarasikan moralitas tokoh-tokoh panutan. Dibutuhkan pengalaman relasional berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang masih masih berjuang untuk keluar dari jerat kemiskinan, keterbelakangan, keadaan buruknya sanitasi dan pelayanan kesehatan, tertinggalnya situasi pendidikan di pedalaman, sulitnya mengakses fasilitas publik, dan sebagainya.
Dalam konteks inilah kita butuh epistemologi feminis dalam pembentukan watak moral warga negara. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan cara kaum perempuan membangun dan mendeskripsikan pemahaman mereka mengenai moralitas. Kaum feminis tidak pernah memulainya dengan merumuskan prinsip-prinsip moral dan kemudian mewujudkannya. Kaum feminis selalu memulainya dengan membangun relasi personal dengan orang dan/atau kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable). Mirip seperti yang sering dilakukan Presiden Jokowi, kaum feminis menegaskan pentingnya dekat dengan dan menjadi bagian dari "duka dan kecemasan" masyarakat.
Kaum feminis juga menegaskan pentingnya mengubah cara berpikir dari kecendrungan abstraksi dan objektivasi kepada pentingnya feeling withatau ikut merasakan (Nel Noddings, Caring,2013:203-208). Bagi mereka, simpati harus berdiri paling depan dalam setiap relasi dengan orang lain, terutama dengan individu dan kelompok masyarakat rentan, dan bukan nalar saintifik yang cendrung menjauhkan kita dari realitas. Jika hal terakhir seringkali gagal mendorong tindakan moral -- dan itu nyata dalam perilaku koruptif di Indonesia --epistemologi feminis yang memosisikan simpati mendahului pengetahuan saintifik dipercaya dapat mendorong tindakan moral, karena identifikasi pelaku moral dengan "duka dan kecemasan orang lain", dan dirinya adalah bagian dari seluruh penderitaan tersebut.
Mengadopsi cara berpikir kaum feminis, kita dapat mengajukan gugatan-gugatan ini: tegakah mengkorupsi ketika hampir 45 ribu anak mengalami gizi buruk di Indonesia dengan prevalensi mencapai hampir 20 persen (gizi kurang dan gizi buruk)? Tegakah mengkorupsi ketika sekitar 2,5 juta anak Indonesia mengalami putus sekolah (data Unicef 2016)? Sampai hatikah mencuri uang rakyat ketika 4,1 juta anak di Indonesia mengalami penelantaran (data Unicef 2015)? Masih tegakah kita merampok uang negara ketika angka kematian ibu di Indonesia masih bercokol pada 305 per seratus ribu kelahiran (data Kemenkes 2017)?
Kembali ke epistemologi feminis, jika saja kita menjadi bagian dari penderitaan sesama, jika saja para politisi rajin ke daerah pemilihan dan ikut mengalami secara nyata penderitaan rakyat. Jika saja parpol-parpol kita benar-benar memedulikan wong cilik. Jika saja setiap orang di republik ini sanggup menanggung ke dalam dirinya "duka dan penderitaan" sesamanya. Kita hanya bisa berandai-andai, karena semuanya ini masih jauh panggang dari api.
Penulis adalah etikawan dan dosen tetap di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H