Mohon tunggu...
Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim Mohon Tunggu... Penulis - Buruh Pendidikan yang tak jelas

Hidup hanyalah sementara. Jika ingin hidup, haruslah cari makan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kita Bebal? Indonesia Terserah

17 Mei 2020   14:26 Diperbarui: 17 Mei 2020   14:28 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
makassar.terkini.id

Kondisi perang membuat kita mempertanyakan tentang baik dan buruk yang selama ini kita percayai. Lebih tepatnya ini menyangkut persoalan moralitas. Jika kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus berjuang hidup, kita akan selalu bertemu dengan pertanyaan-pertanyaan moralis. Mungkin apa yang kita percayai akan berakhir absurd dan sia-sia.

Di sinilah kita dihadapkan pada kondisi perang tersebut walaupun sangat jauh berbeda dengan kondisi wabah covid19. Yang terpenting adalah bertahan hidup, lantas apakah kita harus menjadi bebal dengan segala macam peringatan?

Bebal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sikap sukar dalam mengerti sesuatu. Bebal bisa berarti juga kebal jika kita secara sengaja memang tak ingin mengerti. 

Berbeda dengan yang benar-benar tidak tahu sama sekali. Dalam tulisan ini, kita akan membahas mengapa orang-orang bebal banyak berkeliaran di dalam situasi mewabah ini.

Pertama, ini menyangkut persoalan kebebasan. Kita semua tentunya tidak ingin dikurung. Itu pun kata yang kita pakai (kurung) condong ke arah negatif. Padahal ini bukan persoalan kurung mengurungkan tapi ini menyangkut keterbatasan kita. Memang sekarang semuanya terbatas, tapi bukan berarti tidak bebas. 

Di jalanan misalnya, ternyata masih ada juga yang melakukan sahur on the road, bahkan ada juga yang lagi jalan-jalan tanpa memakai masker. Ketika ditanyai mengapa tak memakai masker, mereka menjawab kalau mereka tak ingin make up mereka luntur.

Kedua, ini tentang alam bawah sadar. Masih ingat dengan kata pengantar di atas tentang berjuang hidup dan moralitas? Yup, ini tentang kehidupan secara alami. 

Terkadang kita menemukan seseorang yang melakukan apa yang dia larang sebelumnya. Ini ternyata ada kaitannya dengan alam bawah sadar yang dia miliki. Dia ternyata menyukai apa yang sebenarnya dilarang walaupun dia mungkin telah berjanji agar tidak melakukannya. Mungkin dengan melanggar seperti aturan jaga jarak atau social distancing memiliki kenikmatan tertentu. 

Dan itu terekam di bawah sadar. Contoh umum, emak-emak yang melanggar aturan lalu lintas. Contoh saat ini, orang yang sok bener tentang aturan jaga jarak tapi tau-taunya ikutan juga melanggar. Kan kesal!

Terakhir, ini berhubungan dengan eksistensi sosial. Ini memang sebagian dari kita mengalami nasib sial jika kita berada di tempat yang tak semestinya. Misalnya, kita ini adalah orang-orang yang baik-baik, namun, karena lingkungan kita justru merubah kita. 

Sebagai contoh besar, sebuah keluarga di Madiun, Jawa Timur, menolak anggota keluarganya dibawa oleh petugas medis. Padahal, anggotanya sudah dikatakan positif. Mereka pun memakai dalih agama yang menurut penulis tidak sangat cocok untuk situasi seperti ini. Katanya, "alat tes itu buatan manusia dan bisa saja salah." Eksistensi sosial seperti ini justru merugikan banyak orang.

Hastag Indonesia Terserah dilanjut dengan kata seruan, "suka-suka kamu aja!", menandakan efek kelelahan dari pejuang medis kita yang berada di garda depan melawan wabah covid19 ini. 

Ini seruan mengejek sekaligus satir bagi mereka yang tak tahu pengorbanan bagaimana mengatasi puluhan ribu pasien yang terpapar virus covid19. Kita tentu tidak bisa membayangkan penderitaan mereka alami, bahkan beribu usaha pun tak akan mampu menjelaskannya karena kita bukan mereka. Yang kita tahu hanyalah batasan kita miliki, dan imajinasi agar kita bisa menghargai usaha mereka.

Sebagai kesimpulan, ada tiga alasan mendasar mengapa kita bebal. Pertama, karena kita kepengen terus-terusan bebas bahkan sebagian dari kita menggunakan alasan make up untuk tidak memakai masker. 

Kedua, alam bawah sadar yang kita miliki membuat kita melakukan hal yang bertentangan atau sebaliknya dengan apa yang dikatakan sebelumnya. 

Hebat di komentar tapi tetap bebal dalam praktek. Ketiga, ini persoalan eksistensi sosial atau pengaruh orang-orang sekitar kita. Ada yang tidak ingin bebal tapi terpaksa ikut-ikutan bebal karena pengaruh eksistensi sosialnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun