Mohon tunggu...
Yeni Rostikawati
Yeni Rostikawati Mohon Tunggu... -

pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jiwa Liar Sutardji dalam Puisi “Kucing” (Analisis Puisi dengan Pendekatan Struktural dan Semiotik)

4 April 2016   10:59 Diperbarui: 4 April 2016   11:44 2930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. 

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. 

Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973 Sutardji berkeyakinan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari aturan-aturan gramatika, ketika kata-kata dibiarkan bebas, maka akan muncul kreativitas yang tak terbatas. Namun, walaupun prinsip Sutardji menulis adalah membebaskan kata-kata, bukan berarti Sutardji menulis karya yang “kosong” tanpa makna. Justru karya-karya yang ditulisnya sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan serta petualangan spiritual dalam memahami hakikat ketuhanan. Salah satu puisi Sutardji yang penulis analisis adalah puisi “Kucing”. Penulis melihat ada makna yang sangat kental dengan kehidupan religi Sutardji dalam puisi ini, walaupun puisi ini bukan satu-satunya puisi yang sarat makna religi.

 Puisi ini diambil dari kumpulan puisi Sutardji berjudul “O Amuk Kapak”. Berikut syair puisinya: KUCING Oleh : Sutardji Calzoum Bachri ngiau! Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu kan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau ku cing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar 0 a langkah lapar ngiau berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar ku cingku berapa abad dia mencari menca kar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri da ging jangan beri nasi tuhan mencipta nya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang seha ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi ngiau! 

Dia meraung dia menge rang hei berapa tuhan yang kalian pu nya beri aku satu sekedar pemuas ku cingku hari ini ngiau huss puss diam lah aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untuk aku ngiau huss puss diamlah 1973 Dari segi tipografi, puisi tersebut ditulis dengan tipografi tidak beraturan, kesan tidak beraturan atau acak-acakan tersebut penulis maknai sebagai gambaran jiwa yang sedang mengalami kekacauan, kegundahan, dan tak tentu arah. Kekacauan tersebut pasti ada suatu sebab. Oleh karena itu, untuk pemaknaan lebih dalam, penulis uraikan dari judul puisi terlebih dahulu. 

Dalam puisi tersebut ada banyak tanda yang digunakan oleh pengarang. Judul puisi adalah “kucing”, arti kucing secara istilah KBBI adalah binatang semacam harimau kecil yang biasanya dipiara orang atau hewan piaraan. Sifat kucing pada dasarnya liar karena termasuk jenis hewan pemakan daging, suka berburu tikus, pemalas, apalagi ketika kucing tersebut dalam keadaan lapar. Namun, kucing akan menjadi seekor binatang penurut bahkan manja apabila dia dipelihara dengan baik karena kucing merupakan salah satu jenis binatang peliharaan. “kucing” dalam puisi tersebut dapat berupa penanda yang penulis maknai sebagai penggambaran jiwa pengarang yang sedang “kelaparan”. Simbol kucing ini pun digunakan Sutardji dalam puisinya yang lain, diantaranya puisi “Amuk” dan “Ngiau”. 

Berikut penggalan syairnya. NGIAU “...Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang...” AMUK “...kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba itasatali tutulita...” Simbol “kucing” yang terdapat dalam kedua penggalan syair di atas menurut tafsiran penulis, rujukannya sama yaitu tentang suatu keadaan jiwa seseorang. Pemilihan simbol kucing untuk menggambarkan keadaan jiwa, pasti tidak akan lepas dari suatu makna. Kucing dalam masyarakat selalu identik dengan ‘laki-laki’ gambaran laki-laki yang cenderung memiliki hawa nafsu lebih tinggi, seperti ada istilah dalam bahasa Sunda yaitu “sabageur-bageurna lalaki tetep we Ucing!” (sebaik-baiknya lelaki tetap saja dia “kucing”), atau ada juga penggambaran laki-laki seperti “kucing garong” dalam salah satu syair lagu dangdut. Selain itu, simbol “kucing” ini lebih memiliki nilai rasa positif dibandingkan dengan binatang peliharaan seperti anjing atau babi. Seekor kucing liar masih dapat diarahkan jika dipelihara dengan benar dan baik, dibandingkan dengan seekor anjing yang dipandang najis. 

Nampaknya, dari pemilihan judul tersebut, pengarang ingin menyampaikan bahwa isi puisi tersebut berhubungan erat dengan sesuatu yang liar namun sifat liarnya itu dikarenakan suatu sebab sehingga ketika sebabnya itu sudah ditemukan, maka jiwa yang liar karena “kelaparan” tersebut akan kembali tenang. Dalam isi puisi pengarang menegaskan bahwa kucing itu bukan “harimau, leopar, hiena, ataupun singa”, seperti dalam kutipan “...dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing...”. Perbandingan kucing dengan keempat jenis binatang buas tersebut bukan tanpa maksud. 

Keempat binatang buas tersebut hidup dalam rimba belantara dan tidak termasuk binatang peliharaan karena jarang sekali orang yang tertarik untuk memelihara binatang-binatang tersebut atau dengan kata lain keempat binatang tersebut berbeda dengan kucing dari segi kepemilikan. Dia (kucing yang dimaksud) semacam kucing (yang memiliki sifat liar) namun bukan kucing (yang sifatnya buas seperti harimau, singa, hiena, dan leopar) tapi kucing (yang meronta-ronta kelaparan karena mencari majikan agar dapat makanan). Tokoh dalam puisi digambarkan kelaparan, terlihat dalam penggalan syair “...dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang...”. tertera secara eksplisit bahwa dia (kucing) lapar dan merambah “rimba afrikaku”. 

Pengarang menggambarkan dalam dirinya terdapat “rimba afrika”, yaitu suatu rimba/hutan yang ada di afrika dan hutan tersebut terkenal masih belum banyak manusia yang menjamahnya. Hutan yang dipenuhi banyak pepohonan lebat dan banyak binatang berbahaya/buas di dalamnya, sehingga dapat dibayangkan betapa gelap dan menakutkan keadaan hutan tersebut. Suasana gelap tersebut pengarang gambarkan pada dirinya, bahwa ada sisi gelap dalam dirinya sehingga sisi lain yang digambarkan sebagai kucing terus meronta, mencakar, mengamuk ingin keluar dari kegelapan tersebut. 

Dari kedua penggalan larik puisi di awal tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kucing adalah gambaran dari jiwa tokoh yang kering kerontang dan kelaparan tanpa petunjuk sehingga liar mencari-cari “majikan” atau “pemilik” (Tuhan) untuk mendapatkan “makanan” jiwa berupa ilmu (agama) di tengah kegelapan dan kehampaan jiwanya. Tokoh dalam puisi merasa kelaparan, namun lapar bukan karena kekurangan makanan (dalam arti sebenarnya), karena dalam penggalan larik, “...jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku...” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun