Mohon tunggu...
Yeni Rostikawati
Yeni Rostikawati Mohon Tunggu... -

pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jiwa Liar Sutardji dalam Puisi “Kucing” (Analisis Puisi dengan Pendekatan Struktural dan Semiotik)

4 April 2016   10:59 Diperbarui: 4 April 2016   11:44 2930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan sifatnya dinamis, senatiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan tersebut tidak lepas dari interaksi sosial antarindividu sehingga melahirkan suatu budaya. Lahirnya suatu budaya dipengaruhi oleh bahasa dalam proses komunikasi. Dalam dunia komunikasi, peran tanda tidak dapat dipisahkan, karena sebagaimana pendapat Ratna (2013 : 97) bahwa kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Oleh karena manusia disebut juga homo semioticus, maka ada juga manusia yang manafsirkan perjalanan ataupun menggambarkan suatu kehidupan melalui tanda-tanda. 

Penggambaran kehidupan melalui tanda tersebut salah satunya ada yang dituangkan dalam bentuk karya seni, misalnya puisi. Puisi dikategorikan sebagai karya seni karena mengandung unsur keindahan atau puitis. Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. menurut Pradopo (2007 : 13) sesuatu disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Hal yang menimbulkan keharuan itu bermacam-macam, maka kepuitisan pun bermacam-macam. Sifat puisi yang menimbulkan keharuan itulah yang dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh pembaca, sehingga dapat memunculkan multitafsir. Seorang penyair bebas mengungkapkan perasaan dan menyembunyikan privasi-nya di balik syair-syair yang dikemas apik dan unik. Keunikan itulah, baik unik bentuk ataupun isi, yang membuat sebuah puisi menarik untuk dibahas. Keunikan karya puisi tentunya berbeda-beda sesuai aliran ataupun gaya penyair masing-masing. 

Adapun dalam makalah ini, penulis membahas karya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Kucing”. Penyair ini kelahiran 24 Juni 1941 memiliki gelar ‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi. Karya-karyanya berbeda dari puisi-puisi yang masa itu berkembang. Beliau mencoba keluar dari suatu karya yang bersifat standar sehingga memiliki warna tersendiri. Bagi Sutardji, menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dan mengembalikan kata pada awal mulanya yaitu berupa mantera. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengapresiasi puisi karya Sutardji ini dengan menggunakan pendekatan semiotik dan termasuk juga di dalamnya analisis struktural. Pendekatan semiotik ini dipilih karena puisi Sutardji sarat dengan tanda-tanda bunyi yang tidak dapat dijelaskan maknanya secara harfiah. 4. Biografi Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Riau, pada 24 Juni 1941. 

Setamat SMA, putra pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum ini melanjutkan studinya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat masih menjadi mahasiswa di kota berjuluk Kota Kembang itulah, anak kelima dari sebelas bersaudara ini merintis karirnya di dunia sastra diawali dengan menulis di berbagai media massa. Ia mengirimkan sajak-sajak dan esai karangannya ke berbagai media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah Horison, dan Budaya Jaya. Ia juga mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itulah, nama Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai seorang seorang penyair. Untuk mempertajam kemampuan menulisnya, pada musim panas 1974, ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Terhitung sejak Oktober 1974 hingga April 1975, Sutardji mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian di tahun 1979, Sutardji Calzoum Bachri diangkat menjadi redaktur majalah sastra Horison. Setelah bertahun-tahun bekerja, Sutardji akhirnya memutuskan untuk keluar dari Horison.

Pada tahun 2000 hingga 2002, ia menjadi penjaga ruangan seni "Bentara", terutama menangani puisi pada harian Kompas. Karyanya yang pertama dibuat pada tahun 1973 dengan judul O. Tiga tahun setelah dipublikasikan, sajak tersebut mendapat Hadiah Puisi DKJ. Karya Sutadji lainnya adalah Amuk (1977), Kapak (1979), kemudian pada tahun 1981, ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Ada pula kumpulan esai berjudul Isyarat, dan kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam. Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi "Bentara". Selain itu, sejumlah puisinya telah diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (Calcutta), 1976 ; Writing from the World (Amerika Serikat) ; Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). 

Di dunia persajakan, ia dikenal dengan ciri khas gayanya yang "edan" saat membacakan puisi yang berbeda dari penyair kebanyakan. Kadang kala ia jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap. Menurutnya,'Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna. Lewat karya-karyanya, suami Mariham Linda ini banyak meraup penghargaan. Pada tahun 1979, ia dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand atas prestasinya dalam dunia sastra. Kemudian di tahun 1988, ia mendapat penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia yakni Penghargaan Sastra yang sebelumnya diraih Mochtar Lubis. Ayah satu putri bernama Mila Seraiwangi ini juga kerap mendapat undangan dari berbagai negara. 

Ia pernah menghadiri Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak ; membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia atas undangan Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim; mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN ; Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam ; serta membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia, pada tahun 1997. Menurut Bung Tardji, menulis baginya adalah panggilan alam. Ia mengakui bahwa di saat menulis ia bisa merasakan kebebasan. 5. Pendekatan Semiotik dan struktural dalam menganalisis puisi Puisi merupakan salah satu karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Aspek kajian puisi meliputi unsur dan strukturnya, jenis atau ragamnya, atau bahkan dari segi kesejarahannya. Untuk memahami makna secara keseluruhan, sajak perlu dianalisis secara keseluruhan. Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya. 

Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya. Di samping itu, karena sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotik (Pradopo, 2007 : 118). Senada dengan Pradopo, Culler (1977 : 6) menyatakan bahwa strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Dari kedua pendapat tersebut, semakin memperjelas bahwa analisis semiotika sastra tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. Analisis struktur dalam sebuah karya sastra sangat penting karena karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada koherensi atau pertautan erat. 

Unsur-unsur tersebut tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya (Culler dalam Pradopo, 2007 : 120). Jadi, untuk memahami sajak, harus memerhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan. Adapun gambaran mengenai analisis semiotik diungkapkan oleh Santosa (1993 : 6), bahwa bahasa merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda dan petandanya. Penanda adalah yang menandai dan sesuatu yang segera terserap atau teramati. Petanda adalah sesuatu yang tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun nonbahasa. Hubungan antara penanda dan petanda terdapat berbagai kemungkinan dalam penggunaan bahasanya. Pemahaman akan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan bahasa akan menjadi dasar struktur semiosis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam suatu segi pandang. Penanda itu dapat bertindak menggantikan sesuatu, sesuatu itu petandanya. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi seseorang, seseorang ini adalah penafsir. Penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari suatu segi pandangan, segi pandangan ini merupakan dasarnya. 

Jadi, dalam komponen dasar semiotika ini akan dikenal empat istilah dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar. Gejala hubungan antara keempat hal tersebut akan menentukan hakikat yang tepat mengenai semiosis sehingga dalam menghadapi berbagai persoalan susastra, baik yang secara wajar berdasarkan konvensi maupun yang tidak secara wajar (penyimpangan kaidah) dapat diatasi dengan baik melalui ancangan semiotika. Jadi, jelaslah bahwa analisis semiotik suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan analisis struktural. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna (Pradopo, 2008 : 108). 

Kedua jenis analisis tersebut saling memengaruhi karena tanda struktur dalam puisi memiliki makna yang dapat ditelaah oleh pendekatan semiotik. 6. Telaah Puisi “KUCING” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Pendekatan Semiotik dan Struktural Sutardji memiliki landasan atau dasar keyakinan saat membuat karya puisi, hal tersebut beliau tulis dalam pembukaan puisi O Amuk Kapak. Berikut isi kredo puisinya: KREDO PUISI Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun