Mohon tunggu...
Yeni Fadilla
Yeni Fadilla Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang gadis desa yang gemar menulis cerita dan mengolah kata~~

A mere country gurl who's trying to get her happiness back~~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Si Gesa Namanya

1 November 2017   14:26 Diperbarui: 3 November 2017   18:10 1949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock.com

Si Gesa namanya. Dan di sini, aku akan sedikit bercerita tentangnya. Namun first of all, perlu diketahui bahwa pelafalan suku kata "ge" pada nama ini bukanlah seperti pelafalan "ge" pada kata "genting". Lantas bagaimana pelafalannya? Well, cara melafalkan "ge" pada nama "Gesa" di sini seperti melafalkan "ge" pada nama "Geri". Mungkin muncul suatu pertanyaan mengapa ku harus menjelaskan tentang hal ini. 

Nah, penyebabnya adalah banyak orang yang sering salah mengucapkan kata tersebut. Acapkali mereka teringat kata "tergesa-gesa" sehingga pelafalan nama "Gesa" pun kerap disalahucapkan. Tetapi di sini, ku tak akan membahas lebih lanjut mengenai pronunciation. Sekali lagi, ku hanya ingin berbagi kisah tentang seorang kawan lamaku yang bernama Gesa.

Begini ceritanya. Si Gesa dulu dilahirkan di sebuah desa yang tentram indah dan penduduknya ramah-ramah. Saat kelahirannya merupakan masa kejayaan keluarganya. Ya, orang tuanya saat itu berada di puncak kesuksesan dalam berdagang sebagai mata pencaharian di sana. Oleh karenanya, apa-apa yang diinginkan si Gesa selalu terpenuhi. Bahkan, konon kata para tetangga, si Gesa selalu membawa bejibun jajan yang dia makan baik ketika di dalam rumah maupun ketika keluar rumah bersama ibunya.

"Semua jajan yang dibawanya dihabiskan semuanya?" tanyaku pada salah seorang tetua yang tinggal tak jauh dari rumah si Gesa.

"Tentu saja," jawab tetua.

Namun demikian, kata tetua, ibu si Gesa orang yang dermawan sehingga ketika si Gesa membawa banyak makanan untuk dimakan sebagai camilan, ibunya selalu mengajari si Gesa untuk berbagi. Ya, dalam konteks ini berbagi makanan untuk diberikan kepada teman-temannya. Dan aku adalah salah satu temannya yang sering diberikan dan bahkan dibelikan jajan olehnya. Gratis, cuma-cuma tanpa dipungut biaya.

Akan tetapi pula, karena seringnya memakan makanan dalam porsi besar, alhasil tubuhnya si Gesa tumbuh berkembang. Sayangnya tumbuhnya bukan ke atas, melainkan ke samping. Dan itu terjadi hari demi hari hingga akhirnya berlanjut tahun demi tahun. 

Akibatnya, si Gesa menjadi sosok yang kelebihan lemak dalam tubuhnya. Parahnya, lemaknya amat sangat banyak hingga akhirnya dia berstatus overweight. Dan sering orang bercanda kalau si Gesa itu pantas menyadangan nama Gesa karena bisa berarti kepanjangan Gesa adalah Gemuk dan Sehat. Namun, banyak juga yang bilang kalau Gesa itu singkatan dari Gemuk Sangat. Ah, entahlah. Ada-ada saja orang-orang mengoloknya.

Si Gesa awalnya tak apa-apa jika orang-orang menjulukinya demikian. Namun si Gesa lama-lama merasa tersiksa hatinya ketika teman-teman sekelasnya di sekolah menyebutnya dengan berbagai macam nama yang tak seharusnya diperuntukkan bagi nama manusia. Misalnya saja, si Gesa acapkali dipanggil gajah, gentong, ayam potong, dan lain sebagianya. Bahkan ada yang memanggilnya "Seger" yang merupakan versi singkat dari kata "Segerdu" atau "Segerbong". Ah, pokoknya banyak yang bullying dia ketia ia masih hijau nan muda. Dan sungguh, aku kasihan melihatnya.

Pernah suatu hari si Gesa berkata padaku bahwa berada di posisinya bukanlah hal yang mudah. Setiap paginya dia sulit untuk bangun dari tidurnya. Bukan, bukan karena dia tidur kemalaman hingga akhirnya bangun kesiangan. Tetapi, dia sulit bangkit dari tidurnya karena badannya yang terlalu berlebihan lemak di dalamnya. 

Sangat berat baginya untuk bisa duduk dan berdiri. Bahkan, berjalan pun menjadi sangat susah dan cepat lelah. Apalagi ketika mata pelajaran olahraga tiba. Si Gesa selalu berusaha menghindarinya. Sejatinya dia sangat dilema. Benar, dia ingin mengurangi berat badannya namun selalu malas berolahraga.

"Rasanya aku akan pingsan kalau ikut berlari," kata si Gesa jika ditanya mengapa dia selalu diam-diam cari alasan untuk tidak hadir di mata pelajaran Olahraga. Dan aku bersimpati melihat kondisinya. Karena selalu kutahu ketika dia suatu ketika ikut kelas Olahraga, dia sudah ngos-ngosankelelahan dan bajunya dibanjiri keringat walaupun kala itu dia baru berlari sepuluh meter. Ya Tuhan, ku tak tega melihatnya.

Hari demi hari silih berganti. Musim kemarau dan penghujan kian datang dan pergi. Akhirnya, si Gesa pun sudah bukan remaja lagi. Dia akhirnya menjadi seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi. Akan tetapi, satu hal yang melanda kerisauan dan kegalauan di dalam hati. Setiap tahun berat badannya secara signifikan naik lagi. Naik dan naik lagi. Itulah yang terjadi.

Dia memang gemar makan makanan. Selera makannya pun tinggi dan sulit dihentikan. Makan tak cukup satu piring nasi. Lauknya pun harus banyak varian dan jumlahnya tak bisa dibatasi. Serta, dia sangat lahap ketika memakannya hingga orang lain pun senang melihat serunya dia makan. Namun di sisi lain, orang juga kasihan melihat kondisi tubuhnya yang makin hari makin mengembang. Tapi apa daya, si Gesa tak kuasa mengendalikan nafsu makannya.

Namun suatu ketika, ada sebuah peristiwa yang membuatnya ingin menguruskan tubuhnya agar menjadi ideal. Well, peristiwa itu terjadi di suatu hari di bulan Juli. Kala itu dia sedang hang out bersamaku dan beberapa kawan lain di sebuah restoran sederhana. Tak disangka, di sana dia berjumpa dengan salah satu teman SMP-nya. Lama dia bergeming dan tak mengucap sepatah kata.

"Gesa, kok diam saja? Ada apa?" tanyaku padanya.

"Dia (sambil menunjuk seseorang), dulu pernah segemuk aku. Tapi sekarang kenapa dia sangat langsing dan rupawan? Dia juga punya pacar. Aku sangat cemburu dan sedih kenapa aku nggak bisa seperti dia," jawab si Gesa meratapi kekecewaanya.

Aku amati teman lama si Gesa yang duduk empat meter dari tempat meja makan kami. Jika dipikir-pikir lagi, teman SMP si Gesa memang tampak cantik dan bersinar. Namun aku juga bisa menilai kalau wajahnya memang dulunya tak setirus dianya yang sekarang. Ya, sepertinya dia pernah menjalani masa kelebihan berat badan, sama seperti si Gesa.

Aku dapat menyimpulkan bahwa si Gesa ingin seperti kawan lamanya itu. Right, si Gesa ingin menjadi sosok yang berbadan ramping dan berparas menawan hingga akhirnya bisa punya pasangan kencan atau bahkan seorang pasangan masa depan. Karena sejauh yang kutahu, si Gesa tak pernah punya pacar dalam hidupnya. Dan kala itu dia sudah berusia dua puluh dua. Ku rasa dia merasa tak akan ada yang tertarik padanya karena kelebihan berat badannya.

Akhirnya, si Gesa memutuskan untuk melakukan sebuah diet. Ku kira dietyang dia lakukan adalah diet yang sehat. Namun nyatanya, dia malah menyiksa dirinya. Apakah yang sebetulnya dilakukannya? Begini, aku sangat terkejut dan kaget mengetahui fakta bahwa dia skipping meals alias tidak makan nasi selama tujuh hari.

"Kamu sudah gila, Ges?" komentarku saat itu.

"Ku rasa aku memang sudah gila. Tapi berat badanku turun 5kg lho.Hebat kan?" jawab dia girang.

"Terus selama ini kamu bertahan dengan apa selama tujuh hari itu?"

"Cuma minum air sama makan dua kerupuk per hari" jawabnya enteng.

Ya Tuhan. Aku benar-benar tak sangka dia nekat melakukan hal semacam itu. Di satu sisi, dia memang tampak agak berkurang berat badannya. Namun di sisi lain, jelas dia menyakiti dirinya sendiri dengan melakukan unhealthy diet semacam itu.

Mulanya si Gesa amat riang hatinya karena berhasil menurunkan berat badan sebanyak lima kilogram selama tujuh harian. Tetapi setelah hari ketujuh, dia kembali makan nasi seperti biasanya. Dan dia makan lahap sekali. Katanya dia sangat kelaparan setelah melewatkan makan berhari-hari. 

Katanya pula, sehari seperti setahun ketika dia melaksanakan diet program yang tak sehat itu. Lantas di hari kedelapan itu dia memakan banyak makanan dan menengguk berbagai macam minuman hingga perutnya benar-benar kekenyangan dan si Gesa merasa pening dan mual.

Di hari kesembilan pun si Gesa melakukan hal yang sama. Ya, dia kembali memakan makanan dengan porsi yang mungkin cukup bagi lima orang. Ya Tuhan, apa yang dia lakukan sangat ekstrim, pikirku kala itu.

Malamnya, aku lihat si Gesa tampak bermuram durja. Aku tanya ada apa; dia menjawab dia merasa sedih karena berat badannya kembali naik sebanyak 2 kg akibat makanan yang dia makan selama dua hari. Dia terlihat mulai putus asa karena dia mulai menangis tersedu-sedu. Dan aku sebagai kawannya hanya bisa menghibur hatinya seadanya.

Di hari berikutnya, suatu insiden sungguh membuatku beserta keluarga si Gesa terkejut dan kalang kabut. Ada apakah gerangan? Si Gesa terkapar pingsan di kamar kosnya. Aku dan beberapa kawan lain yang mengetahui insiden itu langsung menelpon orang tua si Gesa yang tinggal di kota seberang. Sempat kami guncang-guncang pundaknya berharap si Gesa bisa siuman. Namun dia tetap tak membuka matanya atau menggerakkan jari-jarinya. Akhirnya kami bawa dia ke rumah sakit terdekat.

Selang dua jam, akhirnya dokter keluar dari kamar pasien. Syukurlah kedua orang tua si Gesa bisa datang ke rumah sakit kurang dari dua jam. Untunglah juga kondisi si Gesa sudah lumayan baikan, akan tetapi dokter memberitahu kami bahwa lambung si Gesa bermasalah. Lantas beliau bertanya apakah si Gesa melakukan hal ekstrim selama bebarapa terakhir. Lalu aku menceritakan detail kisahnya. Orang tua si Gesa dan si dokter sama-sama tercengang mendengar apa yang kuceritakan.

Akhirnya, aku dan orang tua si Gesa diperbolehkan menemui si Gesa. Dia tampak pucat seperti mayat. Namun dia sudah siuman dan melihat kedatangan kami. Orang tua si Gesa memeluk si Gesa dan hal itu membuat kedua pelupuk mata si Gesa dibanjiri air mata.

"Mengapa kamu melakukan diet ekstrim seperti itu? Lihat sekarang kondisimu," omel ibu si Gesa.

"Gesa pengen langsing dan cantik, Ma. Gesa sudah lelah dan bosan kelebihan berat badan, huhuhu," kata si Gesa diiringi tangisan menderu syahdu.

Aku yang melihat kejadian itu seakan-akan bisa merasakan sedihnya apa yang dirasa si Gesa. Toh, aku juga temannya sejak kami masih kanak-kanak dulu. Toh, aku juga menyaksikan kisah tekanan batinnya selama berwindu-windu. Aku merasa iba padanya. 

Terakhir, ku lihat ibu si Gesa memeluk putri semata wayangnya itu seraya memberi petuah singkat dengan berkata, "Nak, melakukan dietboleh-boleh saja, asalkan dengan cara yang sehat, bukan sesat. Jangan menyiksa dirimu dengan tidak makan selama semingguan. Bersyukurlah pada Tuhan atas apa-apa yang telah diberikan. Asal Gesa tahu, biarpun orang bilang Gesa tidak cantik, namun di mata Mama, kamu selalu cantik. Selalu ingatlah hal ini."

Well, kisah itu telah lama berlalu dimakan waktu. Kini ku tak lagi bersama si Gesa dan lama tak berjumpa dengannya. Aku rindu sahabatku itu. Dan sungguh ku bertanya-tanya bagaimana dia sekarang. Apakah dia tetap Gesa seperti yang ku kenal dulu atau telah berubah menjadi sosok lain yang pernah dimimpikannya di masa lalu?

***

Jember, 1 November 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun