Mohon tunggu...
yeni djokdja
yeni djokdja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

free on my mind

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengasuh Anak Modal Naluri

4 Juni 2018   11:42 Diperbarui: 4 Juni 2018   11:50 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi orang tua bagi anak-anak sesungguhnya membingungkan. Mereka terlahir dari rahim ibu tanpa dilengkapi dengan buku petunjuk pemakaian seperti ketika kita membeli alat elektronik. Lalu,  sebaiknya kita apakan bayi berwujud lucu dan sangat kecil itu?

Di hari lahir mereka, tiba-tiba saja neneknya menjadi orang yang maha mengetahui apa yang dibutuhkan bayi kecil yang terhempas di dunia fana ini. Sarannya macam-macam,  dari yang masuk akal sampai akal-akalan.  Sedangkan si ibu yang biasanya super ngeyel ke nenek,  kali ini memutuskan menjadi orang yang mudah saja percaya semua celotehnya: "Okelah Nek,  jika memang memaksa." (Ternyata hanya terpaksa, karena ia tak memegang buku petunjuknya).

"Bayimu haus,  segera disusui."

(Masa' sih? Rasanya baru saja selesai nyusu. Bra juga baru beberapa menit yang lalu dikaitkan).

"Duduk tegak dan pangku bayimu kalau dia sedang nyusu.  Biar air susumu mengalir deras.  Jangan malas."

("Bukannya kalau sambil duduk bisa terlalu deras ASInya karena dikenyot plus pengaruh gaya gravitasi,  Nek....? Nanti bocah ini bisa tersedak," Protes si ibu dalam hati).

"Bayimu cegukan,  gigit ujung selendang,  biarkan basah kena ludah. Tempel di dahinya."

(Setahu si ibu,  bayi cegukan harus digendong tegak dan ditepuk punggungnya supaya cegukan berhenti.  Tetapi apa daya,  si ibu pun menurut saja kepada kemahatahuan nenek daripada berdebat seru yang berujung kekalahan semata).

Itu kisah kerepotan mengasuh bayi yang nekad menginvasi bumi sendirian. Seiring waktu berlalu,  bayi itu pun bermetamorfosa menjadi makhluk atau barangkali mesin yang mulai bisa berbicara mengikuti bahasa manusia. Hebat juga dia. Komunikasi verbal pun mulai terjalin. Tetapi hal itu bukan berarti masa sulit sudah terlewati. Anak-anak ini pun masih susah dimengerti,  dipahami,  bahkan dikendalikan.  Si nenek sepertinya juga sudah menyerah, ia berkali-kali berbisik pada si ibu, "Aku tak paham anakmu.  Dulu kau dan adik-adikmu tak begitu." Si ibu semakin bingung,  "Jika nenek saja tak tahu bagaimana mengasuh anakku,  kepada siapa aku harus mencari tahu?"

Kala si nenek mulai tak mampu,  maka bermunculanlah buku petunjuk pengoperasian anak-anak di sekeliling si ibu. Google juga bersedia mencarikan dengan segera segala yang ingin diketahui ibu tentang anaknya.  Seminar-seminar pengasuhan anak juga semakin kerap diselenggarakan seperti ingin membantu kesulitan yang ada.  Tetapi, apakah buku,  artikel di internet,  dan seminar bisa membantu?  Apakah itu semua menjadi solusi atas kebutuhan ilmu pengasuhan anak yang sedang tumbuh besar seiring dengan kemauan dan keinginan mereka yang juga semakin besar?

Sepertinya tidak. Anak-anak tersebut dan bagaimana pengasuhannya tidak bisa diteorikan. Segala kehebatan teori parenting dan psikologi perilaku anak berdasar aneka latar belakang seperti umur dan gender, sesungguhnya dipaksakan untuk menggeneralisir acaknya situasi yang tak bisa digeneralisir. Lalu, anak-anak itu harus diapakan?

Jangan khawatir,  dalam ketersesatan pengetahuan pengasuhan, biasanya si ibu akan mendapatkan pertolongan. Sebuah kekuatan magis yang berasal dari tali batin antara ibu dan anak menjadi auto pilot kegiatan mengasuh anak-anak.  Inilah naluri. Hal ini bersifat pribadi,  tak bisa diduplikasi oleh ibu lain kepada anak yang lain pula. Jika terpaksa terjadi peniruan pola,  hasilnya kemungkinan besar akan sangat berbeda.

Pola asuh naluriah yang dipimpin oleh kedekatan ibu-anak ini adalah pola asuh yang paling natural.  Pola natural ini tak bisa sendirian,  ia harus dilengkapi dengan kesadaran dan keikhlasan. Dampaknya dahsyat tidak diragukan,  ibu bisa mengenali karakter anak,  dan anak pun secara natural bisa kenal karakter ibunya.

Pola asuh naluriah ini memiliki kelebihan: Ada sukacita yang muncul di hati ibu dan anak karena ada kedekatan, kesadaran dan keikhlasan di antara mereka, dimana bahagianya melebihi bahagia yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain.

Pola asuh naluriah yang begini ini tak bisa dibanding-bandingkan dengan pola naluriah serupa yang diterapkan oleh ibu lain kepada anak yang berbeda. Jika hasilnya terlihat lain,  maka tak perlu sensitif karena pola asuh naluriah masing-masing ibu itu sama-sama hebatnya. Di sini berlaku kebenaran bahwa proses lebih penting daripada hasil (tentu saja untuk sementara - karena mengasuh anak itu membutuhkan waktu jangka panjang sampai jelang dewasa, dimana hasilnya baru bisa terlihat setelah waktu berlalu sedemikian rupa).

Bisa diakui bahwa pola asuh naluriah ini sifatnya rapuh bukan masif. Hal ini dikarenakan efektifitasnya yang unik dan personal. Jelas ini kembali ke fitrahnya ibu dengan naluri keibuannya,  bukan ibu dengan brain, beauty and behavior. Tetapi percayalah, untuk pengasuhan anak, naluri keibuan itu lebih tepat untuk digunakan sebagai alat mengoperasikan makhluk atau mesin bernama anak.

Dan, naluri keibuan ini bisa diasah seperti halnya mengasah naluri bisnis bagi para pebisnis. Yang bisa dilakukan untuk hal itu adalah membuka hati kepada anak sebagai pihak yang membutuhkan perhatian, pengertian, kesabaran, kasih sayang, dan hal-hal lain yang dibisikkan naluri di telinga batin si ibu.

Tulisan ini bukan untuk mengecilkan ilmu parenting. Ilmu parenting baiknya memang dipelajari, bukan oleh kaum ibu yang punya modal naluri, tetapi oleh kaum ayah yang hari-harinya sibuk dengan urusan pekerjaan, main game dan surfing di dunia maya sekedar cuci mata.

"Belajarlah ilmu parenting,  Yah.  Dampingi si ibu yang berjibaku mengasuh sejenis makhluk atau mesin (entahlah) yang bernama anak-anak hingga ia siap disebut dewasa. Jika ayah tak belajar ilmu parenting,  bisa-bisa mereka diasuh rembulan.  Lalu,  kita harus ganti nama anak-anak di rumah kita,  bukan lagi Banyu, Awan,  Lentera melainkan jadi Peterson 1, Peterson 2 dan Peterson 3 para anak asuhan rembulan. Perlukah begitu, Yah? "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun