1. Pengertian dari hukum perdata Islam di Indonesia.
Hukum perdata merupakan seperangkat aturan yang isinya mengatur hubungan perorangan dengan perorangan yang lainnya yang berhubungan dengan hak serta kewajiban setiap pihak yang berkaitan.Â
Sedangkan hukum perdata Islam di Indonesia sendiri merupakan hukum positif di Indonesia yang mengatur individu dengan individu yang lain, atau dengan suatu kelompok dalam suatu negara yang isinya merupakan serapan dari hukum Islam atau biasa di sebut dengan syariat. Syariat memiliki dasar yaitu Al Qur'an dan hadits yang di serap menjadi produk hukum Islam, kemudian di serap kembali menjadi hukum perdata Islam di Indonesia. Untuk kemudian di tetapkan sebagai aturan yang berlaku. Â
Hukum perdata Islam di Indonesia misalnya, dalam soal perkawinan, yaitu hukum perceraian, hukum Kewarisan, hukum wasiat, hukum hadanah. Kedua, dalam hal perbisnisan, yaitu hukum jual beli, hukum sewa menyewa, hukum pinjam meminjam. Ketiga, ada hukum tentang kebendaan misalnya hukum hibah, hukum wakaf, hukum zakat dll.
Indonesia memiliki tiga hukum yang hidup serta diakui di Indonesia, yaitu hukum adat, hukum Islam serta hukum luar negeri (barat). Sehingga hukum Islam merupakan peraturan yang telah di sepakati untuk di laksanakan bagi warganegara Indonesia yang beragama Islam.Â
Di Indonesia masyarakat yang beragama Islam merupakan masyarakat yang mayoritas. Sehingga dalam penerapan hukum Islam di Indonesia merupakan tempat yang tepat diterapkannnya peraturan itu. Hukum Islam ada berdasarkan pada pemahaman seorang dari suatu pedoman dalam agama Islam yaitu Al Qur'an dan hadits. Serta dalam penetapannya di lakukan dengan pertimbangan dari para ahli dalam bidangnya, yaitu ahli dalam hukum Indonesia serta dengan pertimbangan para Mujtahid, untuk mendapatkan maslahah yang di harapkan.Â
2. Prinsip perkawinan dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.Â
Prinsip perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan perkawinan yang selamanya, berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dalam undang-undang no 1 tahun 1974 merupakan ikatan dari laki-laki dan perempuan sehingga timbul hak serta kewajiban atas perkawinan yang telah di laksanakan. Perkawinan dilakukan bertujuan dalam menaati perintah agama. Sehingga perkawinan bukanlah perkara yang bisa dikatakan hal sepele. Karena perkawinan berhubungan dengan kehidupan di dunia dan di akhirat. Perkawinan di harapkan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga dalam praktiknya memiliki unsur-unsur yang harus di penuhi agar perkawinan itu menjadi perkawinan yang sah sesuai dengan perintah agama. Â
Perkawinan sebagai suatu ibadah yang lama, dan memiliki banyak keberkahan di dalamnya. Dalam mewujudkan perkawinan yang kekal, setiap pasangan dituntut untuk mampu memahami satu sama lain. Karena di dalam perkawinan bukan hanya menerima namun juga memahami satu sama lain agar terjalin komunikasi serta pemahaman yang erat antar pasangan. Di harapkan perkawinan itu sampai maut memisahkan, tanpa ada campur tangan dari pihak manapun sebagaimana pada perkawinan Rasulullah dengan sayyidah Khodijah yang langgeng hingga pada akhirnya Sayyidah Khodijah meninggal dunia.
Didalam Kompilasi Hukum Islam di nyatakan bahwa perkawinan itu bersifat monogami atau beristri satu, namun dalam keadaan tertentu seorang suami di perbolehkan untuk menikahi lebih dari satu perempuan. Dengan syarat bahwa mendapatkan izin dari istri yang sebelumnya serta mampu memberikan jaminan bagi istrinya untuk bersikap adil dalam pemberian nafkah, baik nafkah batin maupun dzahir dan juga adil dalam memberikan nafkah kepada anaknya.Â
3. Pentingnya pencatatan perkawinan serta dampak tidak mencatatkan perkawinan dalam segi sosiologis, religius, serta yuridis.Â
Perkawinan yang tidak di catatkan memiliki beberapa faktor penyebab seperti tradisi, nikah siri atau bahkan karena di rasa pencatatan perkawinan merupakan hal yang mempersulit terlaksananya suatu perkawinan. Padahal pada realitanya, Pencatatan perkawinan merupakan sebuah sarana untuk mendapatkan sebuah kepastian hukum sehingga mendapatkan jaminan hukum dari negara kepada pihak yang melakukan perkawinan.Â
Karena dampak pencatatan perkawinan secara langsung tidak terasa, berdampak pada analogi klasik bahwa pencatatan perkawinan mempersulit terlaksananya perkawinan dan menjadi teori yang turun temurun di percaya oleh belahan masyarakat.
Pencatatan perkawinan sebagai bukti bahwa perkawinan itu benar terjadi sehingga perlindungan dari negara menjadi jaminan bagi pihak pasangan. Dampak yuridis dari perkawinan yang tidak dicatatkan terlebih bagi seorang perempuan. Bagi Perempuan yang perkawinannya dicatatkan, haknya dapat dilindungi dengan undang-undang yang berkaitan hak untuk mendapatkan nafkah, tempat tinggal, warisan, harta gono gini bila terjadi perceraian.
Bagi sebagian ulama, pencatatan perkawinan merupakan hal yang di wajibkan karena segi maslahah yang didapatkan lebih tinggi daripada segi mudharat. Karena bagi sebagian masyarakat menganggap bahwa pencatatan perkawinan menghalangi segera terlaksananya perkawinan, padahal itu merupakan haly yang sepele jika dibandingkan dengan maslahah yang akan di dapatkan. Sehingga bagi pasangan yang tidak melakukan pencatatan perkawinan, bisa saja dihukumi melanggar syariat yang di sepakati oleh ulama.
Aspek sosiologis perkawinan yang tidak di catatkan, bagi sebagian masyarakat pasangan itu di anggap sebagai pasangan yang tidak patuh dengan negara atau bahkan mereka akan mendapatkan fitnah karena dianggap sebagai pasangan yang menikah karena adanya hamil diluar nikah atau sebagai seorang istri simpanan. Maka pencatatan perkawinan ini penting agar masyarakat secara luas mengetahui bahwa perkawinan itu benar terjadi, seperti yang di nyatakan ulama bahwa "semakin banyak orang yang mengetahui perkawinan itu, maka semakin baik."
4. Pendapat ulama dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan wanita hamil.Â
Perkawinan wanita hamil merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita yang mengandung, biasanya identik dengan wanita yang berbuat zina atau hamil di luar nikah. Ulama berbeda pendapat mengenai hukum dari nikah hamil:Â
Pertama, Imam Syafi'i: boleh menikah bagi laki-laki yang menghamili dan yang bukan. Namun untuk menyetubuhinya makruh saat perempuan sampai dia melahirkan. Namun jika dengan suaminya sendiri (dalam arti istri zina dengan laki-laki lain) maka boleh langsung menyetubuhi.Â
Kedua, Imam Hanafi. Boleh menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau yang bukan. Jika yang menikahi adalah yang menghamilinya, maka boleh untuk langsung bersetubuh. Namun dalam madzhab ini banyak perbedaan pendapat.
Ketiga, Imam Hambali dan Maliki berpendapat jika wanita yang berzina baik hamil atau tidak maka harus menunggu masa Iddah untuk menikah atau bersetubuh dengan suaminya. Masa Iddah yaitu 3 kali quru' atau selama 3 kali haid.Â
Keempat, Ibnu Hazm berpendapat jika laki-laki yang menikahi boleh yang menghamili atau bukan dan boleh bercampur jika wanita telah bertaubat dan telah melewati hukuman dera.Â
Sedangkan Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 5 ayat (1), (2), (3) menyatakan: (1) jika wanita yang hamil diluar nikah harus dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya (2) perkawinan dapat dilakukan tanpa harus menunggu wanita itu melahirkan (3) perkawinan tidak perlu diulangi lagi setelah wanita melahirkan. Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wanita yang zina harus melakukan perkawinan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu sampai wanita itu melahirkan, serta perkawinan itu dianggap sah sehingga tidak perlu mengulangi perkawinannya jika wanita telah melahirkan.Â
5. Cara menghindari perceraian walaupun merupakan perkara yang di halalkan namun di benci oleh Allah.Â
Perceraian merupakan berakhirnya masa perkawinan oleh pasangan suami dan istri karena adanya talak yang telah diucapkan. Perceraian memanglah perkara yang di perbolehkan namun sebenarnya merupakan perkara yang di benci oleh Allah SWT. Sehingga jika dalam suatu rumah tangga terjadi perselisihan, maka harus di usahakan untuk kembali membaik, namun perceraian merupakan jalan satu-satunya untuk mencegah mudharat yang lain, terpaksa perceraian tetap harus di lakukan.Â
Untuk menghindari adanya suatu perceraian, maka dapat melakukan:
Pertama, perlunya pembelajaran tentang pranikah. Bimbingan pranikah bertujuan untuk mendidik calon-calon suami atau istri dalam menjalani bahtera rumah tangga, yang suatu saat pasti akan ada perselisihan. Sehingga calon pengantin telah siap untuk segala hal yang ada di dalam perkawinan. Â
Kedua, setiap pasangan harus memiliki iman yang kuat. Iman yang kuat merupakan sebuah pondasi bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan. Sehingga jika dalam suatu rumah tangga terjadi perselisihan, dapat di atasi dengan kesabaran, ketabahan serta kekuatan yang didasarkan pada iman yang ada pada kedua pihak (pasangan). Dengan adanya iman, pasangan mampu menerima setiap kesalahan dan ujian yang di berikan kepadanya. Jika salah maka tidak segan-segan untuk melakukan introspeksi demi mempertahankan perkawinannya.Â
Ketiga, pasangan harus memiliki komunikasi, pemahaman, serta kejujuran satu sama lain. Ketiga aspek ini sangat di perlukan dalam suatu hubungan perkawinan. Denagn berkomunikasi pasangan akan mengerti apa yang sedang di rasakan dan di hadapi oleh pasangannya, sehingga mampu untuk memahami kondisi satu sama lain. Serta kejujuran dalam perkawinan merupakan sebagian dari komunikasi yang harus di terapkan satu sama lain.
6. Judul buku, nama pengarang, serta kesimpulan dan komentar dari buku yang telah saya review.Â
Buku yang saya bahas kali ini berjudul "Hukum perkawinan Islam" karangan dari dua penulis yaitu H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A. Agus Hermanto, M.H.I. di dalamnya membahas tentang perkawinan dan segala aspek yang meliputinya. Seperti hukumnya, syarat, rukun, macam-macam, serta tentang perceraian atau talak.Â
Perkawinan memiliki beberapa hukumnya, tergantung dengan kesiapan individu untuk melakukan suatu pernikahan. Syarat serta rukun dalam perkawinan yaitu adanya akad nikah, mempelai laki-laki dan wanita, wali, saksi serta mahar yang di berikan. Pernikahan memiliki beberapa macam, seperti pertama, perkawinan beda agama, yaitu perkawinan yang berlangsung antara seseorang yang memiliki perbedaan keyakinan dan hukumnya adalah di haramkan.Â
Kedua, poligami yaitu memiliki istri lebih dari satu. Dan hal ini diperbolehkan dengan syarat bahwa suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketiga, perkawinan sirri, atau ada juga yang menyebutnya dengan perkawinan di bawah tangan, artinya perkawinan yang di lakukan secara sembunyi-sembunyi serta biasanya tanpa melakukan pencatatan perkawinan. Keempat, nikah mut'ah atau kawin kontrak, artinya perkawinan yang memiliki jangka waktu tertentu biasanya perkawinan ini hanya di lakukan untuk mendapatkan kesenangan saja. Kelima, nikah hamil yaitu perkawinan yang dilakukan ketika seorang wanita sedang dalam keadaan hamil. Namun berbagai pernikahan itu tidak semuanya sah, hanya yang memenuhi syarat dan rukun yang akan dihukumi sah.
Inspirasi yang saya dapatkan dalam buku ini adalah pernikahan bukanlah suatu peristiwa yang sepele karena berhubungan dengan ibadah kepada Allah. Sehingga dalam praktiknya tidak bisa di lakukan dengan remeh karena berdampak bagi kehidupan dunia akhiratnya. Beberapa hal yang di larang, meskipun menguntungkan juga harus di tinggalkan sebagaimana dalam nikah mut'ah yang tujuannya hanya untuk mendapat kesenangan belaka. Â Saya juga menjadi lebih memahami bahwa dalam perkawinan diperlukan kesiapan secara dzahir serta batinnya agar tercipta perkawinan yang sakinah mawadah warahmah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H