Mohon tunggu...
Yeni Afrilia
Yeni Afrilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said

Suka kopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Buku Hukum Perkawinan Islam

12 Maret 2023   13:00 Diperbarui: 21 Maret 2023   18:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adanya nikah mut’ah pada awal Islam merupakan jalan untuk kondisi yang mendesak. Sebagaimana yang terjadi ketika peperangan dalam keadaan yang membujang atau jauh dari istri. Pelarangan pada masa itu masih sulit, karena dekat dengan masa jahiliyah. Setelah kaum menaklukan Mekah dan mendirikan daulah kekuasaan yang dipimpin Rasululah, akhirnya Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah. 

Walaupun fuqaha sepakat bahwa kawin kontrak adalah perkawinan yang dilarang, berbeda dengan pendapat kaum Syi'ah yang menghalalkan praktik kawin kontrak. Dengan syarat bahwa ucapan akadnya dengan lafadz zawwajtuka, ankahtuka, atau matta’tuka, calon istri boleh muslimah atau kitabiyah (pengikut agama nabi sebelum Rasulullah), namun diutamakan muslimah, harus dengan mahar dan disebutkan, batas waltunya jelas, serta batas waktu ditentukan oleh persetujuan kedua pihak. Sehingga kawin kontrak banyak terjadi di negara Iran dan Irak yang menganut Syiah. 

Yang ketiga, ada perkawinan sirri. Yang dalam pengertiannya memiliki dua pemahaman yaitu, Nikah sirri, artinya perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa pemberitauan dan restu kepada kedua orang tuanya. Ada juga yang menyebutnya dengan nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang akad nikahnya sah secaat agama namun tidak dicatatkan sehingga bersifat ilegal. 

Pada pengertian di atas, dalam UU no 1 tahun 1974 pernikahan di bawah tangan dianggap belum terjadi dan dapat dibatalkan. Namun beda lagi jika perkawinan itu dilakukan dengan rukun dan syarat yang benar, sehingga dapat langsung dilaporkan ke pegawai pencatat nikah untuk dibuatkan akad nikahnya. 

Perkawinan siri berdampak buruk bagi setiap pasangan. Karena perkawinan ini tidak dicatatkan sehingga pasangan tidak memiliki perlindungan hukum atas pernikahannya. Begitu juga dalam pandangan sosial biasanya pasangan ini dianggap buruk oleh masyarakat, karena dianggap sebagai seorang istri simpanan.  

Kawin siri atau kawin yang dilakukan secara sembunyi bagi madzhab Maliki, syafi’i dan Hanafi tidak memperbolehkan, yang didasarkan pada hadits yang artinya “umumkan nikah ini dan laksanakan di masjid, serta ramaikan dengan menabuh gendang.” (HR. Tirmidzi dan Aisyah), namun jika syarat dan rukunnya terpenuhi perkawinan tetap dianggap sah secara agama. 

Beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya kawin siri. Biasanya karena suami itu melakukan poligami, UU usia yang menyebabkan nekad untuk melakukan perkawinan tanpa pencatatan, empat tinggal yang tidak menetap. Hal ini biasa terjadi karena terikat dengan pekerjaan, dan istrinya tidak bisa selalu mengikuti dirinya. Atau bahkan karena merasa bahwa harta calon mempelai kurang, sehingga dia malu kepada jika maharnya terlalu sedikit. 

Dalam pasal 2 uu no 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah selama memenuhi rukun dan syarat dalam agamanya dan tiap perkawinan harus di catatkan menurut UU yang berlaku. Menurut Madzhab Maliki, syafi’I dan Hanafi tidak memperbolehkan nikah siri yang didasarkan pada hadits yang artinya “umumkan nikah ini dan laksanakan di masjid, serta ramaikan dengan menabuh gendang.” (HR. Tirmidzi dan Aisyah) Namun jika syarat dan rukunnya terpenuhi perkawinan tetaplah sah.

Macam perkawinan ke empat, yaitu kawin hamil yang artinya bahwa perkawinan itu dilakukan saat mempelai wanita mengandung. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai hukum dari nikah hamil. Imam Syafi'i memperbolehkan menikah dengan laki-laki yang menghamili dan yang bukan. Namun untuk menyetubuhinya makruh saat perempuan sampai dia melahirkan. Namun jika dengan suaminya sendiri (dalam arti istri zina dengan laki-laki lain) maka boleh langsung menyetubuhi. Namun imam Hambali dan Maliki menyatakan jika wanita yang berzina harus menunggu masa Iddah untuk menikah atau bersetubuh dengan suaminya.

Sedangkan menurut KHI Bab VIII pasal 5 ayat (1), (2), (3) menyatakan: (1) jika wanita yang hamil diluar nikah harus dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya (2) perkawinan dapat dilakukan tanpa harus menunggu wanita itu melahirkan (3) perkawinan tidak perlu diulangi lagi setelah wanita melahirkan.

Kelima ada kawin beda agama. Dalam kawin beda gama, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya. Pertama, Ulama sepakat jika menikahi wanita musyrik (kafir manusia, komunisme zindiq, penyembah api, dll) haram hukumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun