Mohon tunggu...
yeni purnama
yeni purnama Mohon Tunggu... -

apa nich

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Cinta Sang Napi

12 November 2010   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tidak tau harus mengawali kisahku dari mana. Siapapun akan melirik sebelah mata apabila melihat predikat yang kusandang. Aku adalah Napi. Ya,, narapidana. Aku seorang yang dipenjara karena melakukan sebuah pembunuhan.

Aneh ya,, ketika berfikir mau mengawali kisahku dari mana, aku malah memperkenalkan diriku yang sering dianggap tidak punya hari nurani oleh keluarga orang yang kubunuh.

Aku pun tahu, menghilangkan nyawa seseorang adalah tindakan yang melanggar hukum. Tapi... aku sampai sekarang tidak mengerti kenapa hanya ada sedikit rasa penyesalan yang terbersit dalam relung hatiku.

-----------------------------------------------------------------------------

-----------------------------------------------------------------------------

“Arga..udah sholat isya' belum?? berjamaah yuk!” Sumar, teman satu sel ku tiba-tiba berkata dari belakangku. Aku yang sedang menulis pada selembar kertas HVS A4 tanpa sadar meletakkan pulpen murahan yang kupegang.
“Oh...sudah..saya sudah sholat isya kok Mas,” jawabku sambil menatap kembali kertas yang kuhadapi, sementara Sumar tertawa terbahak-bahak seperti preman. Yah...dia memang preman sih dulunya.
Kau tahu, ajakannya sholat berjamaah itu hanyalah caranya untuk mengolok-olokku saja. Aku memang berusaha menegakkan sholat lima waktu meskipun berada di dalam penjara. Dan itu membuat para penghuni penjara men-cap ku sebagai 'napi sok alim' .

Aku kembali menggoreskan pulpen pada kertas yang tadi sore kuminta pada sipir penjara yang badannya besar seperti pesumo. Aku heran kenapa dia bisa sebesar itu. Apakah dia pernah makan uang suap? Ah,, persetan dengan uang suap. Andai aku bisa keluar dengan uang suap pun, aku sayang mengeluarkannya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengapa aku hanya menyimpan sedikit penyesalan???
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

tulisanku hanya terhenti sampai situ. Aku meremas remas kertas itu hingga menjadi bola dan menggenggamnya kuat-kuat dengan kedua tanganku.
Ahh,,, aku memang bukan seorang yang punya bakat menulis, pikirku sambil melemparkan kertas itu sembarangan.

Lalu aku ikut meringkuk di ranjangku yang sekeras batu. Di ranjang susun yang ada di atasku, Sumar sudah lebih dahulu terlelap dan mendengkur dengan keras. Betul-betul preman sejati dia.

Pikiranku tak bisa menghindar untuk tidak memikirkan masa laluku, sebelum aku sampai di tempat yang bau ini.

Sebelum dipenjara aku adalah seorang kuli bangunan. Umurku sekarang dua puluh tahun. Dulu aku juga pernah bersekolah seperti kalian, namun hanya sampai tamat SMP.
Di Jakarta sekolah bukanlah hal yang murah bagi orang yang dilahirkan di rumah-rumah yang terbuat dari triplek dan kardus seperti aku,
Aku masih beruntung bisa lulus SMP. Banyak anak-anak di lingkungan tempat tinggalku yang dari umur lima tahun sampai dewasa hanya bisa menjadi pengamen.
Cap Manusia Berandal bukanlah hal yang aneh lagi buat kami-kami ini.

Apa aku iri pada orang yang bisa hidup mewah?? Tentu saja IYA!! Tentu saja aku iri. Munafik namanya kalau aku bilang, aku dengan senang hati menerima kemiskinan dan ketertinggalan pendidikanku. Hanya orang yang hilang akal yang tidak peduli dia berpendidikan atau tidak. Agak berlebihan memang, aku tidak peduli.

Kau tahu, wajahku tidak terlampau jelek. Waktu SMP aku pernah beberapa kali ditaksir oleh perempuan teman sekolahku. Namun ketika tahu kalau Ayahku kuli bangunan, dan kadang ibuku memulung sampah, gadis-gadis itu langsung menjauh seperti menghindari bangkai yang bau.

“Percuma ganteng dan pinter kalau duit aja gak punya. Jajan es aja gak bisa..hihihihi.” Begitu kata Meisya, cewek imut yang pernah berusaha mencuri-curi perhatianku. Tapi dia hanya caper sebentar, dianya keburu memandang rendah padaku.

Lulus SMP aku terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Wali kelasku pernah menjanjikan beasiswa di sebuah SMA padaku, tapi aku sadar kalau orang tuaku tidak akan sanggup untuk membeli seragam dan tetek bengek lain yang diperlukan di SMA. Akhirnya aku menolaknya. Lagipula saat itu keadaan memaksaku untuk lebih melihat kenyataan. Ayahku sudah tua dan terlihat ringkih. Ada juga tiga adikku yang masih harus diberi makan.

Aku jadi ingin meneriakkan pada guru yang mengajariku, Hei...Pak Guru....lihat nich..masih banyak fakir miskin dan anak terlantar yang tidak dipelihara oleh negara...!! Kami cari makan sendiri!! Kami mengorek sampah!! Tetangga saya ngemis!! Hei,...lihat dong!!!
Kami telan semua cibiran para juragan yang naik mobil BMW. Makan tuh harta!! Puasin tuh hawa nafsu kalian, juragan!! Masih banyak klub malam dan inex yang belum kalian nikmati! Minum tuh Johny Walker, Chivas Regal, atau apapun itu,, aku gak tahu!! Terserah!!!

Hah,,, kenapa ya aku bagitu sebal pada kaum borjuis yang selalu memamerkan barang bermerk itu?? Mungkin karena aku iri..

Aku mulai membantu ayahku menjadi kuli bangunan saat umurku genap lima belas tahun. Setelah aku mulai bekerja, adik-adikku jadi jarang menangis karena aku sering memberi mereka uang jajan. Es potong, permen, gorengan, burger gocengan, pokoknya kumanjakan mereka.

Yang pasti aku mulai menabung sedikit-sedikit. Bukan untuk biaya pernikahan lho, melainkan untuk biaya pendidikan adikku kelak. Tapi kegiatan menabungku tidak selancar Busway yang meluncur di jalurnya. Saat mulai terkumpul, ada saja pengeluaran yang tidak terduga. Adik sakit muntaber, ibu sakit typus. Macam-macam lah.Hidup di lingkungan yang tidak higienis itu memang rawan penyakit.

Lalu saat umurku enam belas lebih sedikit, aku kenal seorang perempuan.
Dari sinilah semua berawal. Dari sini seolah sejarahku masuk penjara dimulai,

Namanya Cahya, lebih tua dariku tiga tahun. Dia adalah penuggu sebuah warung rokok kecil-kecilan yang dibangun di pinggiran trotoar. Kakaknya dan dia jaga warung bergantian.

“Arga, kamu tuh sebenarnya umur berapa sih?” tanya Cahya padaku. Ketika itu aku sedang menjadi kuli yang dipekerjakan untuk membangun ruko. Aku sedang beristirahat dan membeli air di warungnya.
“Enam belas. Kenapa?” Aku balas bertanya sambil menenggak minuman dalam kemasan gelas plastik di tanganku.
“Lho, kok nggak sekolah?” tanya Cahya sambil menatapku dengan mata polosnya. Kelihatannya dia masih lugu.
“Sekolah?? Hahaha... sebenarnya gue mau-mau aja tuh kalo disuruh sekolah. Emangnya loe mau bayarin?”
“Enak aja... aku bukan orang tua kamu kali.” Cahya berkata dengan centil.
“Loe sendiri gak sekolah?”
“Aku kan udah lulus SMA.”
“Ya kuliah dong! Ngapain juga jaga warung..”
“Emangnya kamu mau bayariiiin???” Cahya mengembalikan kalimat yang tadi kuucapkan. Aku hanya tertawa.

Saat itu aku merasa menemukan sumber cahaya yang baru dalam kehidupanku. Lalu, aku menghabiskan tahun-tahun yang cukup menyenangkan. Itu karena ada dia.

*

“Aya...” panggilku pada Cahya, itu adalah panggilan sayangku untuk dia.
“Hemmmmm?” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari notes kecil berisi catatan utang pelanggan warung yang ada di tangannya. Tidak terasa aku sudah empat tahun mengenalnya semenjak pembangunan ruko di dekat warungnya. Aku jadi sering ngobrol dengannya . Menurutku dia dewasa dan lucu.
“Gue pengen deh sekolah lagi.”
“Bagus dong..! Kenapa gak ngumpulin uang aja buat sekolah?” katanya dengan penuh perhatian. Kali ini dia sudah menyimpan notesnya.
“Udah...tapi adik-adik gue tar gimana?”
“Kan ada tuh,,kejar paket C.. kamu gak perlu tiap hari ke sekolah, udah gitu murah lagi biayanya.”
“Iya sich...”
“Trus kenapa? Kamu malu ya karena udah umur dua puluh?”
“Engga...”
“Trusss??”
“Gue maunya yang gratis gitu. Hehehe..”
“Hahaha..hari gini masih nyari yang gratis.. kencing aja bayar!” kata Cahya sambil tergelak.
Aku senang sekali kalau melihat dia tertawa seperti itu. Aku tahu aku cinta padanya.
Yah...lagipula aku juga gak mungkin nyari cewek dari kalangan di atasku, bisa-bisa aku dijadikan keset..
Tapi aku tidak buru-buru menyatakan perasaanku padanya. Aku lebih muda darinya dan belum mapan. Maksudku, tidak mapan.. Aku masih takut ditolak.

“Arga.. aku salut deh sama kamu.. meskipun keadaan kamu bisa dibilang pas-pasan, kamu masih mikirin pendidikan kamu dan juga pendidikan adik-adik kamu,” kata Cahya.
“Ah, loe menilai gue terlalu tinggi.”
“Seriuss... mungkin ayah kamu memberikan nama Arga supaya hati dan pikiran kamu bisa sebesar gunung.”
“Ha?”
“Emang kamu gak tahu ya? Arga itu dalam bahasa Jawa artinya gunung.”
“Oh ya?” kataku. “Bapak gue emang orang jawa sich..boleh juga ya dia kasih nama gue.. Tapi Arga apaan dulu nich?? Kalau Arga Himalaya kan keren ya... atau Arga Everest gitu.. kalau Arga ecek-ecek mah gue ogah!”

Lagi-lagi Cahya tergelak. Buatku , itu sudah cukup. Sangat lebih dari cukup. Tawanya adalah harta bagiku.

“Ga...malam ini aku jaga warung semaleman, Kakakku demam.”
“Yaelah....nutup aja kenapa sich?”
“Yeee..sayang tauk.. gak nutup aja untungnya kecil, apalagi nutup...kalau malam tuh kata Kakak suka banyak yang beli kopi,” kata Cahya.
“Ya udah...gue temenin aja ya,” tawarku.
“Yang bener nich?? Gitu dong..itu baru namanya cowok baik..hehehe..” Cahya berkata manja seperti biasa. Ih,, bikin gemes aja dia.
“Yeee..jangan-jangan loe sengaja ya bikin alesan supaya bisa ditemenin sama gue?? Dasar bayi tua!!”
“Apaan sich....kamu tuh bayi uzur...hahaha..” Cahya berkata sambil memukul pelan bahu kiriku.

Malam kira-kira jam dua belas kurang sedikit, Cahya merasa lapar dan bilang minta dibelikan sate ayam. Aku pun akhirnya berjalan-jalan di sekitar situ mencari pedagang sate. Tapi udah muter-muter dua puluh menit, aku tidak menemukan satupun pedagang sate. Kebetulan memang habis hujan, jadi keadaan agak sepi. Akhirnya aku kembali lagi ke warung tanpa membawa apa-apa.

Tapi saat hampir sampai di warung, aku melihat Cahya sedang dikepung tiga orang cowok berpakaian gaul di sekelilingnya. Kelihatannya mereka membeli rokok karena terlihat rokok yang masih menyala di tangan ketiganya. Body fitness semua dengan otot yang tampak kekar.

“Neng...eneng berapaan? Yuk...ikut om ke hotel..” seorang pria tampak menjawil lengan Cahya. Buru-buru aku lari ke arah mereka dengan membabi buta.

“OI ANJING...!! JANGAN MACEM-MACEM LOE..!!” Teriakku sambil mendorong seorang pria sampai terjungkal. Tanpa aba-aba khusus kedua temannya langsung mengeroyokku. Kewalahan aku dibuatnya sampai aku terjatuh di dekat krat yang berisi soft drink.
Aku meraih dua buah soft drink dan memukulkan bagian bawah botol ke troroar, air memuncrat . Di tanganku aku memegang dua buah botol yang bagian bawahnya sudah pecah sebagian dan membentuk ujung-ujung yang runcing.

“Wah..si kunyuk mulai berani nich... hahaha..” Pria yang menggoda Cahya tertawa sambil berjalan ke arahku, dari jarak agak jauh pun aku bisa mencium bau minuman keras yang menyengat.
Dia mendekatiku dan refleks aku menusukkan dua buah benda yang ada di kedua tanganku kuat-kuat. Aku yakin botol itu berhasil menembus perutnya yang agak buncit. Pria itu kesakitan dan terjatuh.
Temannya tampak bingung antara mau menghajarku atau menolong temannya, namun mereka akhirnya mengangkat temannya itu dan masuk ke dalam mobil , kemudian mereka pergi.

Aku panik. Tanganku saat itu gemetar hebat. Tak jauh dariku Cahya menangis. Dia yang duluan menghampiriku dan memeluk bahuku.

“Syukur...syukur loe gak diapa-apain sama mereka,, Aya...” Itu adalah kata-kata yang pertama kali berhasil kuucapkan.

*

beberapa hari kemudian, malam-malam rumahku didatangi polisi. Aku ditangkap saat selesai sholat isya.

Pria yang kutusuk tidak tertolong. Mati.

Dan sekarang disinilah aku. Menghadapi hari-hari yang seperti neraka. Dikungkung dalam jeruji besi.

Aku menyesalkan kenapa pria itu harus mati. Tapi di sisi lain, aku bersyukur karena aku berhasil mejaga kehormatan Cahya. Andai aku tidak ada di sana, bisa saja dia diperkosa.

Yah...,meskipun begitu..tetap saja aku harus membayar semua itu.....

yang membuatku sedih, aku tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak bisa bekerja dan memberi uang jajan pada adik-adikku.

Masih ada sisa tujuh tahun lagi yang harus kuhabiskan di penjara. Aku yakin bisa melewati semua ini. Setelah keluar nanti, aku akan menikahi Aya.

'aku akan selalu menunggumu, Arga' begitu tulisnya di surat yang kuterima baru-baru ini. Dan itu menjadi kekuatan bagiku.

Aku akan melewati ini semua dengan ikhlas. Aku tahu aku bisa.
Karena aku adalah Arga. Pria yang dilahirkan dengan hati sebesar gunung.

---

NB : ini tulisan pertama saya di kompasiana *malu*

cerita ini saya copas dari notes saya di facebook  :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun