Mohon tunggu...
Yeni Dewi Siagian Psikolog
Yeni Dewi Siagian Psikolog Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Professional Training Organizer, Human Capital Practitioner, Digital Marketing ,Trainer dan Assessor BNSP Licensed | Coach, Productivity and Women Empowerment Psychologist | Member of APA (American Psychological Association) | WeSing @yenidewisiagianpsikolog | Twitter @yenidewisiagian | FB/IG @yenidewisiagianpsikolog | YouTube @yenidewisiagianpsikologtv | Pernah bekerja sebagai Journalist di Majalah Intisari (KKG) | Business Inquiries Contact 0812-9076-0969 | Founder of www.butterflyconsultindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenal Kesulitan Belajar pada Anak dan Cara Menanganinya

21 April 2022   00:05 Diperbarui: 8 Juni 2022   20:42 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesulitan belajar (Sumber: freepik.com)

Kesulitan belajar (learning disabilities) terdiri dari disfasia (kesulitan bicara), disleksia (kesulitan belajar membaca, menulis dan mengeja), diskalkulia (gangguan fungsi berhitung atau aritmatika), dispraksia (tidak dapat belajar gerakan kompleks dan tidak terampil secara optimal misalnya untuk menyikat gigi dan lain sebagainya) serta gangguan pemusatan perhatian/attention deficit and hyperactivity disorders (gangguan pemusatan perhatian/inattentiveness, impulsif dan aktivitas berlebihan yang tidak sesuai dengan umurnya).

Masalah kesukaran belajar tampaknya tidak familiar bagi sebagian besar orangtua. Orangtua yang cukup perhatian pada anak dan bisa dengan mudah mengakses informasi, bisa langsung mencari penyebab gangguan kesulitan belajar pada anak di mesin pencari informasi. Namun tidak demikian dengan mereka yang mengalami kesulitan mengases informasi, atau yang kurang memperhatikan anaknya secara intensif.

Gangguan kesulitan belajar pada anak sering kali membuat anak yang bersangkutan menjadi minder, bingung dan merasa tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru kelasnya. 

Tidak jarang juga mereka dicap sebagai anak yang bodoh di kelas, karena pada anak kelas 5 SD yang menderita disleksia misalnya masih sering salah menulis antara huruf 'd' dan 'b', atau tidak bisa mengerjakan hitungan matematika sederhana pada anak penderita diskalkulia. 

Kadang ada juga pengajar yang juga tidak memahami penyebab kesalahan penulisan ejaan atau kesulitan hitungan yang berulang kali pada anak didiknya.

Bagi orang lain yang tidak mengalami disleksia akan dengan mudah melihat perbedaan antara huruf 'd' dan 'b' misalnya. Tapi bagi anak yang mengalami gangguan kesulitan belajar disleksia, dibutuhkan konsentrasi yang lebih dan pengulangan untuk bisa melihat perbedaan antara kedua huruf itu.

Ia juga harus lebih berhati-hati sehingga ketika hendak menuliskannya, gerakan motorik halusnya tidak membuatnya menulis huruf 'd' menjadi 'b', misalnya menulis 'kuda' menjadi 'kuba'. 

Orang lain melihatnya menulis 'kuba', tapi ia melihat kalau yang ia tuliskan adalah 'kuda'. Setelah diberikan penjelasan yang rinci beda 'd' dan 'b' serta dibantu mengeja huruf demi huruf, barulah anak bisa menyadari kalau ia salah membaca dan menuliskan kata tersebut.

Pelatihan berulang kali dan lama bisa membantu anak-anak yang mengalami disleksia, asal anak tersebut disiplin untuk mengerti perbedaan di antara huruf serta mengulang menulis, dan membaca kalimat-kalimat. 

Di sini diperlukan kerja sama yang erat, terbuka, penuh pengertian, kesabaran, kerendahan hati menerima kekurangan serta positive thinking di antara tiga serangkai, yaitu pengajar, orangtua dan anak sendiri.

Bagi anak yang mengalami diskalkulia, matematika bisa saja menjadi pelajaran yang paling menekan (stressful), karena anak kesulitan untuk mengerjakan tugas matematika atau menghafalkan formula matematika yang dianggap sederhana oleh teman-teman sebayanya. Padahal sama seperti dalam kasus disleksia, teman-teman sebayanya dapat dengan mudah menghafalkan formula bahkan mengerjakan tugas matematika tersebut.

Kadang kala anak menjadi malas belajar bahkan malas sekolah karena gangguan kesulitan belajar ini. 

Sanksi yang didapat dari orangtua karena ketidakmampuannya untuk melakukan tugas yang dianggap mudah oleh teman sebayanya juga bisa membuat anak mengalami stres belajar. 

Kondisi teman-teman yang tidak mengerti gangguan kesulitan belajar yang dialaminya atau karena ia sering diberi masukan oleh guru kelas karena salah menulis atau mengeja di depan teman-temannya, kadang bisa saja membuatnya menjadi bahan olokan dan dianggap remeh di sekolah, bahkan menyalahkan dirinya sendiri (self blaming).

Belum lagi jika anak sendiri memang tidak memahami kalau ia mengalami gangguan kesulitan belajar yang membuatnya berbeda dengan teman-temannya yang lain dan tidak dapat mencapai prestasi kelas seperti yang diharapkannya karena kesulitannya membaca, menulis, mengeja atau berhitung.

Gangguan kesulitan belajar bisa membuat anak jadi tidak suka belajar atau malah tertekan ketika harus mengerjakan mata pelajaran tertentu. Karena proses belajar dianggap sebagai hal yang menimbulkan frustrasi dan ketegangan (tension) dalam hidupnya. Padahal seharusnya proses belajar merupakan suatu hal yang menyenangkan, menarik dan fun, apalagi pada anak.

Nilai rendah berulang kali untuk mata pelajaran tertentu, ketegangan serta malas sekolah bisa menjadi lampu kuning bagi orangtua dan pengajar untuk mengecek masalah kesulitan belajar pada anak. Anak tidak mampu menjelaskan masalah kesulitan belajar yang dialaminya karena pengetahuan dan wawasannya yang masih terbatas. 

Justru orang dewasa di sekitarnya (orangtua dan pengajar) yang sebaiknya melakukan observasi pada anak-anak dengan gangguan kesulitan belajar. Karena belum tentu anak mendapatkan nilai yang rendah untuk mata pelajaran tertentu karena bodoh (kecerdasannya kurang).

Mereka yang mengalami gangguan disleksia bisa saja memiliki kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient) yang cukup tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberian tes IQ seperti Raven Progressive Matrices (RPM) pada anak misalnya yang memang culture free atau lintas budaya (tesnya berupa pembedaan pola-pola yang abstrak). Yang dibutuhkan di sini adalah disiplin dari tiga serangkai tadi (pengajar, orangtua dan anak) serta sifat positif dari anak sendiri yang membuatnya tetap optimis dan percaya diri walau dia mengalami gangguan kesulitan belajar tersebut.

Anak-anak yang mengalami gangguan kesulitan belajar sulit untuk menjadi murid yang berprestasi di kelas hanya jika orangtua dan guru sama sekali tidak tahu kalau anak tersebut adalah anak yang mengalami gangguan kesulitan belajar. Karena kecerdasannya bisa saja tinggi dan hasrat berprestasinya (need of achievement) bisa saja sama bahkan lebih tinggi dari anak-anak sebayanya yang tidak mengalami gangguan kesulitan belajar.

Banyak juga tokoh-tokoh terkenal yang mengalami gangguan kesulitan belajar disleksia. Sebagian di antaranya adalah Leonardo Da Vinci, Agatha Christie, Mohammad Ali dan Tom Cruise dan lain-lain.

Pemahaman gangguan kesulitan belajar secara dini serta penerimaan yang tinggi pada anak dari orangtua dan pengajar diperlukan agar anak tidak patah semangat duluan (kalah secara psikologis), menyalahkan diri sendiri dan merasa berbeda dalam konteks negatif dengan teman-teman sebayanya, karena kesulitan belajar yang dialaminya.

------------------------

SUKSES UNTUK KITA SEMUA !

Yeni Dewi Siagian Psikolog
SAHABAT PSIKOLOG
Phone / Whatsapp : +6285885606309
IG : @konsultasipsikologiku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun