Bagi anak yang mengalami diskalkulia, matematika bisa saja menjadi pelajaran yang paling menekan (stressful), karena anak kesulitan untuk mengerjakan tugas matematika atau menghafalkan formula matematika yang dianggap sederhana oleh teman-teman sebayanya. Padahal sama seperti dalam kasus disleksia, teman-teman sebayanya dapat dengan mudah menghafalkan formula bahkan mengerjakan tugas matematika tersebut.
Kadang kala anak menjadi malas belajar bahkan malas sekolah karena gangguan kesulitan belajar ini.Â
Sanksi yang didapat dari orangtua karena ketidakmampuannya untuk melakukan tugas yang dianggap mudah oleh teman sebayanya juga bisa membuat anak mengalami stres belajar.Â
Kondisi teman-teman yang tidak mengerti gangguan kesulitan belajar yang dialaminya atau karena ia sering diberi masukan oleh guru kelas karena salah menulis atau mengeja di depan teman-temannya, kadang bisa saja membuatnya menjadi bahan olokan dan dianggap remeh di sekolah, bahkan menyalahkan dirinya sendiri (self blaming).
Belum lagi jika anak sendiri memang tidak memahami kalau ia mengalami gangguan kesulitan belajar yang membuatnya berbeda dengan teman-temannya yang lain dan tidak dapat mencapai prestasi kelas seperti yang diharapkannya karena kesulitannya membaca, menulis, mengeja atau berhitung.
Gangguan kesulitan belajar bisa membuat anak jadi tidak suka belajar atau malah tertekan ketika harus mengerjakan mata pelajaran tertentu. Karena proses belajar dianggap sebagai hal yang menimbulkan frustrasi dan ketegangan (tension) dalam hidupnya. Padahal seharusnya proses belajar merupakan suatu hal yang menyenangkan, menarik dan fun, apalagi pada anak.
Nilai rendah berulang kali untuk mata pelajaran tertentu, ketegangan serta malas sekolah bisa menjadi lampu kuning bagi orangtua dan pengajar untuk mengecek masalah kesulitan belajar pada anak. Anak tidak mampu menjelaskan masalah kesulitan belajar yang dialaminya karena pengetahuan dan wawasannya yang masih terbatas.Â
Justru orang dewasa di sekitarnya (orangtua dan pengajar) yang sebaiknya melakukan observasi pada anak-anak dengan gangguan kesulitan belajar. Karena belum tentu anak mendapatkan nilai yang rendah untuk mata pelajaran tertentu karena bodoh (kecerdasannya kurang).
Mereka yang mengalami gangguan disleksia bisa saja memiliki kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient) yang cukup tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberian tes IQ seperti Raven Progressive Matrices (RPM) pada anak misalnya yang memang culture free atau lintas budaya (tesnya berupa pembedaan pola-pola yang abstrak). Yang dibutuhkan di sini adalah disiplin dari tiga serangkai tadi (pengajar, orangtua dan anak) serta sifat positif dari anak sendiri yang membuatnya tetap optimis dan percaya diri walau dia mengalami gangguan kesulitan belajar tersebut.
Anak-anak yang mengalami gangguan kesulitan belajar sulit untuk menjadi murid yang berprestasi di kelas hanya jika orangtua dan guru sama sekali tidak tahu kalau anak tersebut adalah anak yang mengalami gangguan kesulitan belajar. Karena kecerdasannya bisa saja tinggi dan hasrat berprestasinya (need of achievement) bisa saja sama bahkan lebih tinggi dari anak-anak sebayanya yang tidak mengalami gangguan kesulitan belajar.
Banyak juga tokoh-tokoh terkenal yang mengalami gangguan kesulitan belajar disleksia. Sebagian di antaranya adalah Leonardo Da Vinci, Agatha Christie, Mohammad Ali dan Tom Cruise dan lain-lain.