Hari Teater 2022. Banyak sekali postingan mengenai Hari Teater sedunia ini. Kata-kata "Teater" ini mengingatkan saya pada masa-masa dimana saya banyak meluangkan waktu untuk menyanyi, menari dan bermain drama di Opera yang diadakan oleh Komunitas yang saya ikuti dulu, Voice Of Indonesia.
Tanggal 27 Maret 2022 yang lalu adalahWalau pengertian teater dan opera memang berbeda, tapi keduanya mengandung kegiatan"akting".Â
Berdasarkan brainly.com teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media: percakapan, gerak, dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis. Opera berarti drama musik, yaitu drama yang menonjolkan nyanyian dan musik. Jadi keduanya adalah drama, tapi kalau opera ada unsur ke musikalnya.
Masa-masa itu adalah masa dimana saya dan teman-teman sering "manggung" di berbagai mal keren di Jakarta seperti Central Park, Grand Indonesia, dan Pacific Place; juga di Goethe Institute dan gedung pertunjukan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Bahkan rombongan VOI juga sempat manggung di Sydney dan Singapore.
Untuk beberapa event ada beberapa pemain teater yang ikut serta tampil di panggung. Sebut saja Rita Matu Mona, juga Jajang C.. Noer (https://celebrity.okezone.com/read/2017/04/25/205/1675849/upaya-jajang-c-noer-dkk-pertahankan-budaya-batak).
Rita Matu Mona adalah pemain teater tenar yang meraih Penghargaan MURI sebagai pemain yang tidak tergantikan dalam 82 episode. Sejak tahun 1980, ia menjadi pemain di Teater Koma dan sudah mementaskan banyak naskah drama Nano Riantiarno, seperti, Bom Waktu, Sampek Engtay, Opera Kecoa, dll. Pernah juga mementaskan beberapa naskah dari penulis asing seperti, The Crucible karya Arthur Miller, The Comedy of Error karya Bunchner, The Three Penny Opera, The Good Persons of Sezchwan karya Bertold Brecha, The Womans of Parlement karya Aristophanes, Animal Farm karya George Orwel, dll  (https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/rita-matu-mona.htm).
Rita Matu Mona juga pernah menjabat sebagai Direktur di Universitas Al-Azhar dan Ketua dari Teater Akar (https://www.linkedin.com/in/rita-matu-mona-4ba9b03a/?originalSubdomain=id).
Sedangkan Jajang C. Noer adalah istri dari Alm. Jajang C. Noer pendiri Teater Koma. Jajang C. Noer telah dinominasikan untuk beberapa penghargaan, termasuk tujuh Piala Citra Festival Film Indonesia dan memenangkan dua diantaranya, sebagai aktris pendukung terbaik untuk perannya di film Bibir Mer dan Cinta Tapi Beda. Yayang (panggilan sayang Jajang C. Noer), adalah anak tunggal dari Dubes Indonesia untuk Perancis dan lahir di Paris (https://en.wikipedia.org/wiki/Jajang_C._Noer).
Bagi penonton mungkin tidak tahu bagaimana perjuangan para pemeran Opera ini sebelum tampil di panggung. Saya pribadi sangat terkesan dengan profesionalisme para Pemain Teater yang bekerjasama dengan kami di masa itu.
Sebut saja Rita Matu Mona. Dia selalu hadir ontime alias hadir tepat waktu. Padahal jam latihan itu, jika diadakan antara Hari Senin - Jumat start dari jam 06.30 sore WIB sampai selesai. Biasanya kami baru selesai jam 10.00 malam WIB. Sedangkan kalau Hari Sabtu kami latihan mulai dari jam 10.00 pagi WIB sampai jam 03.00 sore WIB.Â
Ketika latihan, kami harus berulangkali mengulangi nyanyian, tarian atau ekspresi ketika ber-akting jika dianggap masih kurang sesuai oleh mentor kami. Selesai latihan, kami masih harus mendengarkan masukan dari mentor kami tentang latihan hari itu (yang biasanya berisikan keluhan akan kekurangan yang kami lakukan saat menyanyi, menari atau bermain drama).
Dia sangat fokus pada saat latihan. Kalau kami masih sempat ngobrol, bercanda dengan yang lain, mengecek hp, menerima telepon, tidak hapal alur atau tarian. Dia sangat perhatian pada gerak-gerik setiap pemeran dan instruksi dari mentor kami saat itu. Bahkan dia ikut menyimak masukan kepada orang lain.
Rita Matu Mona dan Jajang C. Noer tampaknya hanya dengan instruksi di awal sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Lalu mereka mulai berimprovisasi dengan adegan yang harus mereka perankan.
Seorang pemain teater, sangat kuat dalam segi aktingnya. Mereka tidak takut untuk tampil berantakan, tidak pakai make up atau rambut awut-awutan ketika sedang akting di panggung. Mereka sangat menguasai nada suaranya, volume suara, ekspresi wajah, sorotan mata, gerakan tubuh (torso) serta tangan dan kakinya.
Saat kami manggung di IKJ dalam Acara Opera Batak, Jajang C. Noer yang termasuk tokoh atas pemain teater misalnya, tidak segan mengunyah sirih lengkap dengan ekspresi yang sangat serius sebagai orang desa yang suka menyirih (sebutan mereka yang sedang makan sirih).Â
Bibirnya terlihat orange dan berlepotan karena sirih yang dikunyahnya bercampur dengan ludahnya. Ekspresi wajahnya terlihat kaku, suaranya terdengar keras ketika berbicara. Dia memakai kostum hitam yang sederhana dan bertelanjang kaki. Semua dilakukannya untuk menunjukkan kekuatannya sebagai wanita Batak yang tinggal di desa yang dia perankan saat itu.
Rita Matu Mona sendiri tampak sangat menghayati ketika berperan sebagai "Inang" (panggilan Ibu dalam Bahasa Batak) di atas panggung.
Dia bicara dengan penuh sayang dan penuh perhatian kepada anak satu-satunya yang akan meninggalkannya sendirian di kampungnya. Dia mampu meniru logat wanita Batak ketika berbicara dengan lembut kepada anaknya. Intonasi suaranya bisa dia sesuaikan turun naiknya ketika merelakan anaknya berangkat merantau. Dia berusaha melepaskan anaknya satu-satunya dengan lapang dada dan senyuman. Dia berusaha terlihat kuat, meskipun dia harus ditinggal sendiri di desanya dan bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
Rita Matu Mona berhasil menampilkan kesedihan dan kekuatan hari seorang wanita Batak desa yang sederhana, yang tetap berusaha  harus membiarkan anaknya merantau ke kota demi kemajuan hidupnya. Sesuai dengan peribahasa Batak "Anakkonki Do Hamoraon Di Ahu".
Banyak penonton yang mengeluarkan air mata melihat adegan ini.
Saya sendiri kebagian peran sebagai kakak dari si Inang yang akhirnya meninggal sendirian dalam kesederhanaan, karena anaknya lupa pada Inangnya dan kampung halamannya. Disitu saya harus berteriak marah dan menangis dengan keras sampai tersungkur melihat Inang yang meninggal dan sudah dimasukkan ke dalam peti saat itu. Sedang saya tidak diberitahu kalau si Inang sudah meninggal.
Belajar dari Jajang C. Noer dan Rita Matu Mona, tokoh Teater Indonesia yang terkenal. Saya jadi paham apa yang disebut dengan profesionalisme. Rita Matu Mona selalu hadir tepat waktu saat kami sedang latihan, dan mengikuti kami latihan sampai selesai. Jajang C. Noer juga beberapa kali datang memperhatikan kami latihan dengan senyuman di bibirnya.
Mereka tidak tampil sebagai orang yang hebat dan menjaga jarak dengan kami yang masih belajar. Â Tidak terlihat ada senioritas dari sikap mereka ketika sedang bersama kami. Mereka ramah dan mau berbagi ilmu. Bahkan saya berkesempatan pulang bareng beberapa kali dengan Rita Matu Mona yang sudah sangat terkenal saat itu.
Saya melihat bahwa bagi mereka akting itu tidak sekedar bicara tentang ketenaran, bisa tampil cantik dan akting di panggung.Â
Tapi akting itu adalah bagaimana menjiwai tokoh dan memerankannya, sehingga "roh" si tokoh yang kita perankan seakan-akan menjadi "roh" kita sendiri. Sehingga ketika penonton melihat mereka di panggung, penonton bisa terhanyut pada suasana dan alur cerita yang mereka perankan. Beberapa orang menyebutkan hal ini dengan menjiwai "peran".
Di Teaterlah kemampuan akting pelakon teruji. Apalagi dalam teater tidak ada yang namanya pengulangan adegan. Ketika mereka tampil di panggung, mereka harus sudah tahu perannya, hapal alur cerita, hapal kalimat penting yang harus diucapkan, serta tahu kostum dan pernak-pernik apa saja yang harus dipakai untuk setiap adegan.
Kalau mereka melakukan kesalahan di panggung, mereka sendiri yang akan malu, karena artinya mereka melakukan kesalahan itu di depan ratusan atau mungkin ribuan penonton. Dan ini berarti mereka sudah siap jadi bahan cemoohan atau kemarahan penonton saat itu.Â
Tapi kalau mereka berhasil memainkan perannya, mereka bisa langsung menikmati apresiasi dan riuh rendah tepukan tangan dan ekspresi kepuasan penonton saat itu.
Bicara tentang kostum, setiap pemain juga harus menyiapkan dan membawa semua kostum dan pernak-perniknya saat akan "manggung". Mereka harus detil mengecek mulai dari atas kepala sampai ke kaki. Termasuk asesoris apa saja yang dipakai juga pernak-pernik yang perlu. Mereka harus hapal urutan kostum dan pernak-pernik yang dipakai di setiap adegan.
Pergantian kostum dan pernak-perniknya juga ada hitungan menitnya sesuai rundown acara.
Kalau ruangan ganti kostum dan asesori cukup terang, semua bisa dikerjakan dengan cepat. Tapi kalau ruangannya hanya remang-remang, bisa jadi ada asesoris yang kita tidak sempat pakai saat harus tampil di adegan selanjutnya. Seperti yang pernah kami alami di salah satu tempat pertunjukkan. Saat itu kami terpaksa harus menggunakan senter karena penerangan tidak memadai di tempat itu.
Selain itu mereka juga harus mengecek riasan di wajahnya dan tatanan rambutnya agar sesuai adegan. Karena make-up yang luntur di wajah atau sanggul yang copot ketika ber-akting di depan penonton misalnya, bisa merusak mood (suasana hati) dan engagement (ikatan) yang dibangun dengan penonton saat itu.
Luar biasa memang pengalaman saat bisa tampil bareng dengan mereka !
Pengalaman yang sangat berkesan dari Tokoh-Tokoh Teater Indonesia yang sangat terkenal tapi sangat membumi dan menginspirasi.
Membuat saya rasanya ingin kembali bisa tampil bareng mereka lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H