Saya pernah bertahun-tahun tinggal di Jepang. Mereka banyak mengkonsumsi daging, ikan dan sayur sebagai pendamping nasi. Mie pun dijual disana. Tapi yang terkenal mie basah. Mereka menyebutnya Udon. Bukan mie instant. Untuk bisa makan Udon, saya perlu menempuh perjalanan sekitar 15 menit. Tidak di sembarang tempat bisa dijual. Di mini market sebenarnya ada dijual mie instant. Tapi tak selaris di Indonesia. Setidaknya dari pengamatan saya sendiri, tidak dari hasil riset yang kuantitatif.
Lalu di eropa, penduduk disana konon sangat peduli dengan makanan bergizi. Dari yang saya baca, saya tahu untuk konsumsi coklat saja, 1 orang rata-rata mengkonsumsi lebih 15 kg per tahun. Belum lagi susu, madu, daging, dan sebagainya.
Bahkan, Google sebagai perusahaan raksasa itu, meletakkan makanan sebagai konsentrasi utama dalam hal kelayakan gizi karyawannya. Konon, seminggu sebelum makanan disantap, ada polling yang membebaskan karyawan memilih menunya. Indogoogler, atau orang-orang Indonesia yang bekerja di Google juga memilih menu kesukaannya. Selesai polling, maka perusahaan akan mencari seantero jagad ini, bahan-bahan makanan yang paling berkualitas untuk disajikan kepada karyawannya.
Terakhir, saya hanya ingin mengutip ajaran dalam Islam : makanlah makanan yang halal dan baik. Saya tidak katakan mie tidak baik. Jujur, saya pun masih sering makan soto, yang tentu saja mengandung mie juga.
Sebagai penutup, saya ingin mengajukan pertanyaan, tapi saya tak menuntut jawaban anda. Pertanyaannya, sudahkah anda menyantap makanan halal, dan baik? (*)
Bangil,
20 Februari 2016
Ditulis oleh santri Alhikam Malang '20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H