[caption caption="AR "][/caption]
Siapa yang belum pernah makan mie dalam 3 tahun terakhir? Saya tak yakin anda orangnya. Betapa dimana-mana sangat mudah ditemukan warung yang menjual menu dari mie. Mulai dari mie goreng, mie ayam, mie rebus; dari mie instant rasa ayam hingga rasa nusantara, ada semua. Di warung pinggir jalan, maupun restoran high end, anda bisa pesan menu dari mie.
Bisa dibayangkan, dengan demografi Indonesia yang berpenduduk 260 juta jiwa, potensi pasar mie begitu menggoda pelaku bisnis FMCG (fast move consumer goods). Ambil saja data dari Annual Report salah satu produsen mie terbesar negeri ini, Indofood.
Menurut catatan yang ada, tahun 2013, Indofood mencatatkan penjualan hingga Rp 25 trilyun. Kontribusi mie tercatat mencapai 67,8% dari semua penjualan tersebut.
Catatan itu berlanjut di 2014, penjualan total mencapai Rp 30 trilyun, dengan 65,3% dari penjualan mie. Saya belum bisa menyajikan data 2015, saya belum memperoleh datanya.
Perlu dipahami, Indofood bukan satu-satunya produsen mie. Masih ada Tiga Pilar Sejahtera yang terkenal dengan salah satu variannya, mie telor cap ayam dua telor. Juga masih ada pabrikan lain dalam skala yang lebih kecil.
Dari ulasan fakta diatas, apa yang pembaca bisa tangkap? Barangkali sama dengan yang saya pikirkan, bahwa penduduk Indonesia doyan (lebih tepatnya suka) makan mie. Masalah? Tergantung dari sudut pandang mana anda melihat, bisa jadi masalah, bisa jadi berkah.
Tapi, saya pun sempat berpikir, asal pembuatan mie. Maksud saya bahan-bahan bakunya. Umum diketahui, mie dibuat dari gandum. Meski saya pun pernah hadir di salah satu seminar dengan seorang guru besar dari jawa timur yang menyampaikan risetnya bahwa mie bisa dibuat dari singkong atau ketela pohon. Tapi mayoritas mie bahan bakunya dari gandum. Import!
Kenapa import? Mudah saja, tak banyak petani menanam gandum. Barangkali saja tepatnya kondisi geografis Indonesia yang tak cocok, saya tidak paham tentang itu.
Memang secara nasional, mie belum menggeser beras sebagai bahan makanan utama. Masih bersifat komplementer atau pelengkap. Bukan substitusif. Tapi komplementer disini sudah begitu besar pengaruhnya. Gampang saja, coba tanyakan ke para pelajar atau mahasiswa yang kos. Mereka barangkali sangat akrab dengan mie.
Buruk, kah makan mie? Saya tidak berani bilang bahwa mie tak mengandung gizi yang baik. Jelas sekali AKG tertera di kemasan, lengkap dengan hitung-hitungan yang tidak sembarangan. Hanya saja saya sedikit terusik dengan konsumsi penduduk di negara maju.
Saya pernah bertahun-tahun tinggal di Jepang. Mereka banyak mengkonsumsi daging, ikan dan sayur sebagai pendamping nasi. Mie pun dijual disana. Tapi yang terkenal mie basah. Mereka menyebutnya Udon. Bukan mie instant. Untuk bisa makan Udon, saya perlu menempuh perjalanan sekitar 15 menit. Tidak di sembarang tempat bisa dijual. Di mini market sebenarnya ada dijual mie instant. Tapi tak selaris di Indonesia. Setidaknya dari pengamatan saya sendiri, tidak dari hasil riset yang kuantitatif.
Lalu di eropa, penduduk disana konon sangat peduli dengan makanan bergizi. Dari yang saya baca, saya tahu untuk konsumsi coklat saja, 1 orang rata-rata mengkonsumsi lebih 15 kg per tahun. Belum lagi susu, madu, daging, dan sebagainya.
Bahkan, Google sebagai perusahaan raksasa itu, meletakkan makanan sebagai konsentrasi utama dalam hal kelayakan gizi karyawannya. Konon, seminggu sebelum makanan disantap, ada polling yang membebaskan karyawan memilih menunya. Indogoogler, atau orang-orang Indonesia yang bekerja di Google juga memilih menu kesukaannya. Selesai polling, maka perusahaan akan mencari seantero jagad ini, bahan-bahan makanan yang paling berkualitas untuk disajikan kepada karyawannya.
Terakhir, saya hanya ingin mengutip ajaran dalam Islam : makanlah makanan yang halal dan baik. Saya tidak katakan mie tidak baik. Jujur, saya pun masih sering makan soto, yang tentu saja mengandung mie juga.
Sebagai penutup, saya ingin mengajukan pertanyaan, tapi saya tak menuntut jawaban anda. Pertanyaannya, sudahkah anda menyantap makanan halal, dan baik? (*)
Bangil,
20 Februari 2016
Ditulis oleh santri Alhikam Malang '20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H