Selasa, 20 September 2011, tayangan Jakarta Lawyers Club yang dipimpin oleh Karni Ilyas membahas tentang remisi bagi para koruptor. Saya sendiri hanya mengikuti separuh pertama tayangan tersebut. Jika anda juga menyaksikan acara tersebut, anda pasti mengetahui bahwa kebanyakan para peserta diskusi tersebut menyetujui pemberian remisi bagi para koruptor. Setidaknya pendapat tersebut muncul dari Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, Mantan Menkunham, Yusril Izha Mahendra, Dirjen Pemasyarkatan dan mantan Dirjen Pemasyarakatan, para lawyer seperti Hotma Sitompul, dan beberapa mantan narapidana.
Alasan yang disampaikan para tokoh di atas yaitu teori yang dianut oleh Indonesia dalam mempidanakan bukanlah teori pembalasan tetapi teori pembinaan. Artinya tujuan pemenjaraan bukanlah untuk melakukan pembalasan atas kejahatan seorang narapidana melainkan untuk membina narapidana sehingga dapat kembali dalam masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan istilah penjara diganti dengan istilah lembaga pemasyarakatan.
Selain itu alasan lain yang diungkapkan adalah terkait HAM yaitu bahwa pemberian remisi adalah hak narapidana dan negara harus menjamin hak tersebut. Menurut para tokoh tersebut, penghapusan remisi bagi para narapidana koruptor adalah pelanggaran HAM. Mereka berpendapat bahwa para narapidana koruptor harus memperoleh perlakuan yang sama dengan para narapidana lain. Perbedaan perlakuan antara narapidana tersebut hanyalah pada saat vonis dijatuhkan selanjutnya ketika para narapidana memasuki LP negara harus melakukan perlakuan yang sama kepada setiap narapidana baik narapidana koruptor, narkoba dan narapidana lain. Dengan kata lain, jika narapidana non koruptor berhak menerima remisi maka narapidana koruptor pun haruslah memiliki hak yang sama juga.
Pandangan diatas melupakan beberapa fakta yaitu:
Pertama, bahwa di Indonesia, kejahatan korupsi telah termasuk dalam kategori extraordinary crime (Kejahatan Luar Biasa). Korupsi di Indonesia telah mewabah secara luar biasa, telah menjangkiti generasi tua maupun muda, telah menjadi budaya bahkan dianggap hal lumrah. Lihat saja korupsi dalam proyek pengadaan barang/jasa pemerintah, pengusaha sudah tahu sama tahu bahwa jika tidak ada fee maka tidak mungkin memenangkan tender. Atau korupsi dalam penanganan kasus hukum, konon sekalipun pihak yang berpekara dapat memenangkan perkara namun biaya yang dikeluarkan untuk setoran kepada penegak hukum tidak sedikit.
Selain itu korupsi memiliki efek yang masif dan berantai. Korupsi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial, hak asasi manusia, politik dan demokrasi. Korupsi dana pendidikan misalnya, mengakibatkan tingka pengangguran terus bertambah, kemudian menjadi pelaku kriminal pencurian/penjambretan, anak-anak SD yang malu karena tidak membayar uang sekolah melakukan bunuh diri. Ribuan orang menjadi tenaga kerja di luar negeri, ditipu calo dan disiksa majikannya.
Koruptor mengisap hidup rakyat kecil. Koruptor mengambil hak mereka untuk sekolah, hak mereka untuk berdagang, hak merek untuk bekerja, hak mereka untuk mendapatkan layanan, hak mereka untuk kesehatan.
Sebagai extraordinary crime perlakuanterhadap kasus korupsi dan koruptor haruslah dibedakan dengan perlakuan terhadap kasus kriminal lainnya. Pembentukan institusi KPK dan Peradilan Tipikor adalah bukti bahwa pemerintah melakukan perlakuan khusus untuk kejahatan korupsi. Jadi sangatlah dimungkinkan jika berdasarkan pertimbangan keluarbiasaan kasus korupsi tersebut, perlakuan terhadap narapidana koruptor dikhususkan dengan perlakuan narapidana kasus lainnya dengan cara tidak memberikan remisi.
Kedua, bahwa selain untuk tujuan pembinaan, pemidanaan seharusnya juga bertujuan untuk pemberian efek jera. Pemidanaan para koruptor selayaknya menimbulkan dampak yang mengakibatkan seseorang yang berkeinginan melakukan tindak pidana korupsi serupa mengurungkan niatnya setelah mengetahui beratnya sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindakan tersebut.
Memang, pemberian efek jera bisa jadi tidak efektif jika penanganan kasus korupsi masih tebang pilih, hanya menyentuh pelaku kecil dan tidak menyentuh pelaku “kakap”. Oleh karena itu syarat agar pemidanaan koruptor dapat menghasilkan efek jera yaitu jika pelaku-pelaku besar yang memiliki kekuasaan dapat tersentuh oleh proses penegakan hukum.
Ketiga, seperti diuraikan pada poin pertama,para pelaku korupsi adalah pelanggar HAM. Koruptor telah mengambil hak rakyat kecil untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan hak-hak lainya. Sehingga jika pemerintah berhasil memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan calon pelaku korupsi maka pemerintah telah melakukan perlindungan HAM bagi rakyatnya.
Dalam hal pemberian remisi pemerintah melindungi hak narapidana namun penghentian pemberian remisi jika diikuti dengan langkah-langkah pemberantasan korupsi lainnya yang efektif dan menimbulkan efek jera maka pemerintah justru melindungi hak rakyat banyak.
Berdasarkan pandangan di atas, seharusya pemerintah mengkaji ulang pemberian remisi bagi para koruptor. Namun, hal yang jauh lebih diprioritaskan adalah pemberantasan korupsi yang adil yang harus menyentuh pelaku-pelaku besar baik di lingkungan legislatif, lingkungan penegak hukum maupun di lingkungan instansi-instansi strategis lainnya.
Selain hal tersebut lapas harus menjadi tempat yang tidak dilengkapi fasilitas mewah bak hotel berbintang dan tidak menjadi tempat singgah yang membuat narapidana bebas keluar masuk bahkan jalan-jalan keluar negeri atau menonton pertandingan olahraga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H