Saudaraku yang dirahmati Allah, izinkan saya untuk sedikit berbagi tulisan tentang kajian mengenai makna dari SEJARAH yang sangat identik dengan kisah-kisah dan cerita masa lalu.
Untuk menyebut cerita masa lalu atau menyebut asal-usul sesuatu, orang Barat seringkali menggunakan kata HISTORY yang berarti "masa lalu manusia". Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani Kuno HISTORIA yang berarti "penyelidikan", "pengetahuan dari penyelidikan" atau "menilai". Kata tersebut berasal dari kutipan Aristoteles Per T Za istorai yang berarti "penyelidikan tentang hewan".
Baca juga: Mendalami Makna "Sejarah"
Dan orang Belanda, menggunakan kata GESCHICHTE yang berasal dari bahasa Jerman GESCHICHTEDNIS yang berarti "sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan umat manusia".
Sedangkan orang Jawa sendiri lebih sering menggunakan kata BABAD yang berarti "riwayat" atau "sejarah". Kata BABAD juga berarti "memotong tumbuhan dengan pisau sehingga halaman menjadi terang".
Nah yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa justru di Nusantara untuk menyebut kisah masa lalu, masyarakat kita lebih sering menggunakan kata SEJARAH? Dari manakah asal mula kata SEJARAH ini berawal?
Usut punya usut ternyata menurut William H. Freederick, kata SEJARAH ini rupa-rupanya berasal dari bahasa Melayu SEJARAH yang berasal dari bahasa Arab SYAJARATUN yang berarti "pohon". Istilah tersebut digunakan karena silsilah keluarga kerajaan mirip seperti "pohon yang terbalik". Kata SEJARAH pertama kali diserap ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-13 Masehi. Padahal dalam bahasa Arab sendiri, SEJARAH disebut TARIKH yang dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah "waktu atau penanggalan".
Baca juga: Tembang Saloka yang Memiliki Makna Sejarah Tanah Jawa
Lalu bagaimana dengan Al-Quran?
Al-Qur'an rupanya menggunakan kata QASHASH untuk mewakili cerita/peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Dalam pengertian bahasa, kata QASHASH yang merupakan bentuk jamak dari kata QISHASH yang berarti "mengikuti jejak" atau juga bisa diartikan "berita yang bersifat kronologis". QISHASH yang digunakan untuk menceritakan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lalu dinamakan WAAQI'IYAH yakni misalnya Qishash Nabi Isa as dan Qishash Nabi Musa as (QS. Ali Imran 3:62), (QS. Al-A'raf 7:176), (QS. Yusuf 12:3), dan (QS. Al-Qashash 28:25).
Dari definisi yang diberikan Al-Quran tentang SEJARAH ini akhirnya kita paham bahwa SEJARAH sebenarnya lebih kepada "catatan tertulis tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu". Dan hal ini sesuai dengan asal mula kata SEJARAH itu sendiri yang berasal dari Bahasa Arab SYAJARATUN yang berarti "pohon".
Bangsa Arab adalah bangsa yang punya kebudayaan yang bangga dengan garis keturunan, makanya umumnya seorang Arab akan bisa menjelaskan silsilah nenek moyang mereka, apalagi kalau nenek moyang tersebut tercatat sebagai orang-orang ternama atau terkemuka.
Baca juga: Mencintai Makna Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa Indonesia
Kita bisa menemukan nama seorang Arab dengan silsilah yang lengkap seperti A bin B bin C bin D, dst. Silsilah tersebut diibaratkan sebagai SYAJARATUN atau pohon yang mempunyai batang, dahan, ranting, dan juga akar yang makin lama makin bercabang banyak. SEJARAH dimaksudkan merupakan cerita dan kisah terkait dengan orang-orang yang ada dalam pohon silsilah.
Sang Guru dalam sebuah diskusi ringan kemudian menjelaskan tentang makna SEJARAH dengan lebih detail,
"Ketahuilah wahai anakku, bahwa mengapa kata SEJARAH diambil dari kata SYAJARATUN atau Pohon adalah karena Pohon adalah simbol dari puncak spiritual orang-orang suci"
Saya bertanya,
"Maksudnya apa wahai Guru? Bisakah engkau menjelaskannya?"
Sang Guru menjawab,
"Perhatikanlah baik-baik wahai anakku bukankah dalam kisah-kisah para nabi dan para rasul hampir seluruhnya berkaitan denganPohon? Lihatlah Nabi Musa as dengan Pohon Zionnya, Nabi Budha dengan pohon Bodinya, Nabi Isa as dengan pohon cemaranya, dan bahkan Nabi Muhammad saw pun dengan Sidrotul Muntahanya. Ketahuilah wahai anakku bahwa Sidroh itu adalah pohon, yang dalam makna fisiknya disebut sebagai pohon teratai, sedangkan dalam makna hakikatnya adalah Pohon Kesadaran Terakhir yang berada di puncak ketinggian, yang disebut Al-Quran sebagai Sidrotul Muntaha."
Sang Guru menambahkan,
"Dan ingatlah wahai anakku bahwa ketika berbicara tentang Pohon, Al-Quran menyebutkan : Dan seandainya Pohon-Pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan lagi kepadanya tujuh lautan (setelah kering), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Luqman 31:27)"
Saya bertanya,
"Artinya apa wahai guru?"
Sambil tersenyum Sang Guru kemudian menjelaskan,
"Artinya kalau SEJARAH itu ibarat sebuah Pohon, maka Surat Luqman ayat 31 di atas menjadi penegasan bahwa SEJARAH itu haruslah berwujud TULISAN dan bukan GAMBAR, makanya Al-Quran menyebutnya dengan kalimat "pohon-pohon dijadikan pena". Mengapa? Karena TULISAN itu tidak akan hilang dimakan zaman, dan ia akan menjadi bukti dari keberadaan SEJARAH itu sendiri. Dan SEJARAH tanpa bukti TULISAN maka ia hanya akan disebut sebagai PRA-SEJARAH."
Catatan Tambahan:
Inilah sebabnya mengapa GR. Elton dan Henry Pirenne menyebutkan bahwa SEJARAH terbagi menjadi FILOLOGI (ilmu sejarah yang mempelajari tulisan pada naskah-naskah kuno, dan lontar-lontar kuno) dan EPIGRAFI (ilmu sejarah yang mempelajari tulisan pada batu, kayu, logam yang dikenal sebagai prasasti).
Kemudian Saya melanjutkan,
"Baik Guru, saya sudah mulai paham sekarang. Oh ya satu lagi pertanyaan saya, apakah benar bahwa SEJARAH itu akan selalu berulang dan berulang? Mohon penjelasan dari Guru."
Sang Guru menjawab,
"Anakku, seperti telah kukatakan sebelumnya bahwa SEJARAH itu ibarat sebuah Pohon. Perhatikanlah bagaimana sebuah Pohon menjalani kehidupannya dari sebuah biji, kemudian biji itu bertunas, kemudian dari tunas menjadi kecambah, dan dari kecambah tumbuhlah daun-daun, ranting-ranting, dan cabang-cabang dan kemudian ia terus tumbuh dan membesar hingga tibalah waktunya ia mengeluarkan bunga, dan dari bunga kemudian muncul buah, dan ketika buah ini masak maka ia menjadi makanan bagi manusia ataupun hewan, hingga kemudian hanya tersisa biji. Lihatlah anakku bagaimana sebuah Pohon menjalani siklus hidupnya dari BIJI kemudian kembali menjadi BIJI dan begitu seterusnya sebagai siklus regenerasi untuk mempertahankan keberadaan dirinya dari waktu ke waktu. Maka demikian pula halnya dengan SEJARAH yang juga merupakan sebuah proses siklus yang berulang dan terus berulang meskipun dalam perjalanan waktunya tidak ada yang sama persis dalam SEJARAH, namun ia akan selalu memiliki POLA yang SAMA dari waktu ke waktu. POLA inilah yang seharusnya dijadikan Pelajaran bagi orang-orang yang berfikir dan mau belajar dari POLA Sejarah Umat-Umat Terdahulu di Masa Lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan karena begitu pentingnya mempelajari POLA Sejarah Umat-Umat Terdahulu ini, sampai-sampai sepertiga bagian dari Al-Quran berisikan tentang Qishash atau kisah-kisah dan sejarah umat-umat terdahulu."
Catatan Tambahan:
Inilah sebabnya mengapa Ibnu Khaldun dalam Kitab "Al-Muqaddimah" menyebutkan bahwa:
"Teori gerak SEJARAH mengambil bentuk spiral dengan corak dialektis, ia akan mengalami proses siklus yang berulang tetapi tidak persis sama karena berbeda generasi." (Ibnu Khaldun)
Saya berkata,
"Terima Kasih wahai Guru atas penjelasan Guru. Sekarang saya menjadi paham dan setelah saya mendengar apa yang Guru jelaskan ini, persepsi saya tentang SEJARAH menjadi berubah dan menjadi lebih bermakna. Terima Kasih Guru."
Dan akhirnya diskusi kami tentang makna SEJARAH pun harus berakhir.
Dan menutup kajian ini, maka izinkan saya mengutip apa kata Penggiat Sejarah Nusantara, Deddy Endarto tentang sejarah,
"Ketika belajar tentang SEJARAH suatu kejadian, kadang kita akan menemukan 1.000 teori atasnya dari berbagai pendapat para ahli yang mempelajarinya. Namun mungkin dari 1.000 teori itu, mungkin hanya 10 teori saja yang bisa mendekati kejadian sesungguhnya, sementara 990 teori lainnya hanya memberi tafsir arti baru dari kejadian tersebut yang memperkaya pemikiran generasi berikutnya. Jadi janganlah kaku dalam menilai SEJARAH, karena SEJARAH bukanlah ilmu pasti, dan lagi pula kita belum lahir. Maka itu janganlah sok tahu dan menepuk dada bahwa teorimu tentang SEJARAH itu yang paling benar di atas semua teori yang ada." (Deddy Endarto)
Demikian dan semoga bermanfaat.
Mohon maaf atas kesalahan karena Kesalahan semata-mata datangnya dari diri saya pribadi dan Kebenaran datangnya semata-mata dari Allah Swt Yang Maha Benar dan memiliki kebenaran yang mutlak.
Sarwa Hayu,
Salam Rah-Aywa,
Rahayu Rahayu Rahayu,
Yeddi Aprian Syakh al-Athas
Bhumi Nuu Waar (Manokwari)
Ditulis ulang pada 19 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H