Anda, orang-orang broadcast (broadcast people) pasti tidak asing dengan istilah jurnalisme. Ada berbagai macam jurnalisme di dunia ini, diantaranya jurnalisme waraga (citizen journalism), jurnalisme kenabian (prophetic journalism), jurnalisme keningratan (royal journalism), dan jurnalisme nubuatan ( apocalyptic journalism). Ketika anda mengklaim diri sebagai seorang jurnalis (wartawan), termasuk jurnalis yang manakah anda berkecimpung dalam jurnalisme tersebut diatas?
Boleh saja kita mengklaim diri sebagai seorang jurnalis (wartawan) yang pernah bekerja di media broadcast X, Y, dan Z yang dinyatakan sebagai media resmi yang diakui pemerintah ( baik di luar negeri maupun dalam negeri) karena memang pendiriannya berdasarkan atas ijin pemerintah yang bersangkutan. Saat kita bekerja di media tersebut, kita pasti diakui sebagai wartawannya dengan identitas yang diberikan dan lembaga kita pasti memiliki tanggungjawab terhadap keberadaan kita dan kita terikat pada kode etik yang ada di lembaga dan kode etik jurnalisme (jurnalistik?) apabila anda menjadi anggota organisasi kewartawanan, misalnya PWI, AJI, dll.
Namun ketika kita berkecimpung dalam media sosial semacam facebook, twitter, whatsapp, dll, apakah pantas kita mengklaim diri sebagai seorang jurnalis (resmi)?, sementara media sosial tidak mengenal kode etik?, tidak pernah mempertimbangkan dampak baik buruknya berita/informasi yang kita sebarkan terhadap masyarakat dan bangsa pada umumnya?
Unjuk rasa (demo) damai yang (hampir) berakhir ricuh terjadi 4 November 2016 dipicu oleh sebuah unggahan video yang sudah ‘dimanipulasi’ oleh seseorang yang mengaku sebagai seorang (mantan) wartawan yang menurut pengakuannya sebagai seorang dosen. Media yang dipakai adalah media sosial yang nota bene adalah media yang tidak mengenal kode etik, apalagi ilmu jurnalisme. Kalau seorang waratawan profesional (non citizen journalist), pasti ia berpegang pada ‘keberimbangan’ berita, bukan atas dasar ‘rasa benci’ seorang hater pada orang lain, sehingga apa yang diunggah tidak menimbulkan opini negatif ditengah-tengah masyarakat yang sangat potensial memicu konflik, bahkan mengancam keutuhan bangsa.
Esensi Jurnalisme Warga dan Media Sosial
Pada konferensi World Broadcasting Union (WBU) di Nusa Dua Bali Oktober lalu, hampir seluruh lembaga siaran di dunia mengungkap isu krusial yakni sosial media. Bahkan tidak sedikit organisasi penyiaran (resmi) melibatkan diri, termasuk mengambil materi dari media sosial yang boleh dikata ‘berbahaya’ apabila tidak di filter secara ketat. Bahkan banyak media resmi yang secara terang terangan memberi ruang pada para jurnalis warga (citizen journalists) dengan media sosialnya itu. Esensi dari citizen journalism adalah :
“When the people formerly known as the audience employ the press tools they have in their possession to inform one another, that’s citizen journalism”
Ketika orang-orang yang tadinya adalah pendengar/pemirsa menggunakan peralatan media yang mereka punyai, misalnya alat perekam, camera, dan lain lain dan mereka saling memberikan informasi satu sama lain melalui soasial media, itulah jurnalisme warga.
Jurnalisme warga berbeda dari jurnalisme/koran online yang artikel, gambar, dan video diproduksi oleh para jurnalis profesional yang mereka biasanya menjadi anggota organisasi profesi.
Jadi tidak tepat kalau ada yang berpendapat bahwa jurnalisme warga adalah keterlibatan warga masyarakat dalam menyumbang tulisan di koran online di internet, dalam menyebarkan informasi melalui radio dan televisi resmi. Beberapa koran mempunyai halaman untuk siapa pun bebas menulis. Itu BUKAN jurnalisme warga.
Pengambilan gambar (shoothing), penyuntingan (editing) dan pendistribusian telah menjadi milik warga dengan media besar mereka. Setiap warga mempunyai kesempatan untuk menggapai pemirsa televisi yang anda bangun dengan imajinasi sendiri. Saat ini video telah berada ditangan penggunanya, dan sosok pemirsa/pendengar yang dulunya semata mata sebagai pemirsa/pendengar saat ini bermain peran sebagai jurnalis (warga) yang hidup di situs web.
Pendengar dan pemirsa dengan kekuatan media besar, yakni sosial media yang sudah menjadi rumah setiap warga tanpa mengenal batas umur dan usia akan mengubah dunia entah menjadi lebih baik atau semakin kacau. Siapanpun tanpa kecuali, termasuk para kriminal, koruptor, gembong narkoba, petualang cinta, germo, dll pasti memanfaatkan media sosial untuk tercapainya maksud mereka.
Media resmi koran, radio, televisi dan media online berkuajiban mengkonter (encounter) keberadaan media sosial dengan pemberitaan negatif tanpa etika, dengan lebih memberi prioritas pada etika jurnalisme untuk pemberitaan mereka. Prophetic journalism bisa menjadi pilihan utama yang di manfaatkan baik oleh media resmi maupun media non resmi (sosial media), terutama para jurnalis warga yang berkehendak baik membangun keberadaban umat manusia yang hidup dalam keberagaman (diversity) di dunia yang damai.
Prophetic Journalism
Dalam dunia media baik elektronik maupun cetak, ada istilah yang disebut ‘Prophetic Journalisme’ atau Jurnalisme Kenabian yang sangat perlu dipopulerkan dan di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam usaha mengkonter berita berita negatif yang sering dilansir oleh media seperti televisi dan radio maupun media cetak, dan bahkan ‘media’ milik jurnalisme warga. Jadi betapa pentingnya orang orang media dapat menerapkan jurnalisme kenabian dalam konten pemberitaannya untuk kepentingan seluruh manusia dalam rangka menciptakan ‘perdamaian dunia akerat’.
Konten penulisan berita tentu berdasarkan pada apa yang kita akui kebenarannya yang tertuang dalam kitab kitab suci agama apapun yang telah diajarkan pada umat manusia. Sebagai contoh, seperti yang pernah dikatakan seorang pengamat media, Parni Hadi yang juga mantan direktur utama LPP RRI, bahwa para jurnalis muslim perlu mengaktualisasikan jurnalisme dengan mempraktekkan empat akhlak mulia yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, yakni siddig (ungkapan kebenaran), tabligh (menyebarkan kebenaran melalui pendidikan), amanah (jujur/dapat dipercaya), dan fatonah (bijak). Dengan merefleksikan empat akhlak mulia tersebut, para jurnalis dan penyedia berita (diharapkan termasuk dalam jurnalisme warga) akan memperlihatkan kemuliaan/martabat (dignity), devosi/kesetiaan, toleransi, saling pengertian, saling menghormati, tanpa (berita) kekerasan, dan kepedulian yang berdasarkan kasih ketika menulis laporan, features, maupun komentarnya.
Sementara itu, Robert Jensen, professor pada College of Communication's School of Journalism, mengatakan, jurnalis perlu meniadakan/menghindari keadaan matirasa (numbness) dan keputusasaan yang ada dalam masyarakat dengan menyebutkan apa yang telah/sedang terjadi. Jurnalis tidak memprediksi apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, tetapi bisa mengingatkan para pemimpin yang korup dan masalah masalah sosial lainnya. Jurnalis harus memiliki kejujuran dan adil atas dasar kebenaran dalam hal memberitakan peristiwa dalam posisi bebas dan netral. Bersikap netral akan membawa jurnalis lepas dari ikatan kekuasaan. Sementara itu, mantan Direktur LKBN Antara Mohammad Sobari mengatakan, jika seorang wartawan mengkhianati kebenaran, maka intelektualitas wartawan tersebut akan gugur seketika. Namun, disisi lain seorang wartawan juga harus bersikap bijaksana dalam memilih berita yang akan disajikan kepada masyarakat. Juga tidak baik menyajikan berita yang terlalu apa adanya dalam berita-berita tertentu, apalagi dimanipulasi.
Banyak keluhan tentang praktek jurnalisme saat ini yang dianggap tidak mendukung nation character building, bahkan memprovokasi publik menjadi individualitis, konsumtif dan agresif yang berakhir pada maraknya korupsi, hidup boros dan menyulut aksi tawuran dan konflik SARA. Praktek jurnalisme seperti itu tidak hanya dilakukan oleh wartawan dan media cetak dan elektronik, radio dan TV saja, tapi lebih oleh citizen journalists sebagai individual content providers melalui media sosial yang lebih cepat mencapai publik.
Praktik jurnalisme di era informasi dan teknologi harus tetap mengedepankan kejujuran dan obyektivitas. Hal ini penting dilakukan karena tidak jarang media massa tidak lagi jujur dalam menyampaikan informasi. Itu akibat kepentingan politik maupun ekonomi yang ada di belakangnya. Di sinilah pentingnya jurnalisme yang memegang prinsip-prinsip kenabian atau prophetic yang dapat dijadikan sebagai bingkai dalam praktek jurnalisme.
Jurnalis perlu memahami misi kenabian sebagai sikap hidup manusia yang oleh para jurnalis modern sering diabaikan, yakni memainkan peranan sebagai ‘pemberita’, ‘pewarta’, atau ‘pemanggil’ umat manusia agar senantiasa berjalan menuju pintu Tuhan. Hal yang utama dari misi kenabian ialah etika. Itu penting karena misi besar semua tujuan spiritual kenabian ialah membangun kehidupan di bumi sebagai tujuan menghasilkan adab, tamadun, peradaban. Dari sini, penting pula misi kenabian perlu bersandar pada bahasa kaum, bukan sekedar memahami cara kaum “berbahasa” melainkan juga memahami serta menghargai perbedaan “bahasa” di masing-masing kaum tersebut.
Ada pertanyaan yang menantang bagi para jurnalis: bisakah setiap jurnalis dimanapun mereka berada untuk mengembangkan jurnalisme kenabian (prophetic journalism)? yakni suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab semata, tetapi juga memberikan petunjuk kearah transformasi atau perubahan berdasarkan cita-cita etika kenabian. Ini berarti suatu jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-cita etika sosial yang didasarkan pada emansipasi, liberasi, dan transendensi. Melalui jurnalisme kenabian (profetik), kita berharap peradaban umat akan lebih tercerahkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
*y.bambang triyono, widyaiswara puslitbangdiklat rri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H