“Kendalanya saat ini gazebo terbatas. Biasanya mereka nggak betah lama-lama karena panas dan nggakada tempat berteduhnya,” jelas Anjar Sastra.
Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Daerah Gunungkidul tertarik untuk memberi perhatian pula pada wisata Batu Giring. Sayangnya perhatian tersebut baru dalam tahap wacana. Inisiatif pengembangan Batu Giring berasal dari swadaya masyarakat, sehingga untuk saat ini masih secara aktif dikelola oleh warga dan anggota Karang Taruna Bakti.
Karang Taruna Bakti sebagai pengelola tak pernah mengiklankan atau mempromosikan pada media-media besar. Anjar mengaku, para wisatawan mengetahui dan akhirnya berkunjung ke Batu Giring karena publikasi mereka di media sosial. Masyarakat kita memang haus akan eksistensi, sehingga tak ayal jika publikasi yang gembar-gembor mengenai Batu Giring mampu menarik perhatian banyak orang untuk berkunjung.
Batu Giring ternyata tidak hanya berperan sebagai tempat wisata. Kawasan tersebut memberi wadah bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian mengenai Batu Giring. Salah satunya pembahasan tentang proses terbentuknya Batu Giring.
“Sekarang banyak mahasiswa dari Yogya ke sini untuk penyelesaian skripsi, menggali terjadinya Batu Giring,” tambah Anjar Sastra.
Batu Giring merupakan ikon baru wisata di Gunungkidul. Siapa sangka, ternyata bekas pengolahan batu batako memberikan anugerah baru bagi warga sekitar, apalagi penggeraknya adalah anak muda. Tak perlu ragu untuk datang ke Batu Giring, sebab kocek dijamin aman serta tempatnya yang mudah dijangkau. Setelah ke Batu Giring pun, pengunjung dapat melanjutkan berjalan-jalan ke Kalisuci, Goa Jomblang, dan Telaga Jonge. Ibarat kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.