Para juru parkir Malioboro sebenarnya tidak menolak adanya relokasi ke Taman Parkir Abu Bakar Ali. Mereka juga tidak keberatan, jika harus alih profesi. Hanya saja para juru parkir tidak dapat menerima dampaknya. Kelanjutan masa depan mereka masih dipertaruhkan. Pengurangan tenaga kerja pasti akan terjadi. Â Sedangkan pemerintah belum juga menemukan solusi yang pas, padahal para juru parkir juga turut menyumbangkan ide penyelesaian.
Pemerintah disokong oleh kecerdasan, uang, regulasi, dan lembaga pendukung lainnya, seperti kepolisian dan TNI. Sebaiknya menyelesaikan permasalahan juga dengan pola pikir akademisi, seperti yang dikatakan Sigit. Mereka bertugas untuk menyejahterakan masyarakat. Sehingga, tak salah jika masyarakat pun pada akhirnya menuntut kembali haknya untuk hidup sejahtera.
Itikad baik Pemerintah Yogyakarta untuk memperbaiki pengelolaan pariwisata di Malioboro memang patut diapresiasi. Di balik citra positif yang dibangun, terdapat cerita kelam potret negeri ini. Haruskah citra elok nan gagah dipamerkan, namun mengorbankan kehidupan rakyat kecil? Sepertinya kita diingatkan kembali, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah. Namun, mengapa masih ada pemaksaan, jika keputusan relokasi parkir dirasa masih belum mantap? Apakah ini yang dinamakan penantian tak berujung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H