[caption caption="Sumber: radarjogja.co.id"][/caption]“Kesejahteraan kami dirampas!” kata Kendhil dengan mata nanar.
Ia menceritakan kekhawatirannya dengan pilu. Di bawah teriknya sinar matahari, Kendhil berkeluh-kesah mengenai masa depannya. “Saya rela jika harus kelaparan, tapi saya tidak bisa melihat anak-istri merasakan hal yang sama,” lanjutnya. Cerita singkat Kendhil menambah rasa sesak di dada. Begitu kejam dan kerasnya dunia. Ya, realita ini ada di depan mata.
Rakyat kecil makin terpinggirkan. Pemerintah tidak terdengar kabarnya. Berulang kali negosiasi dilakukan, namun belum juga membuahkan hasil. Para penguasa tetap menggencarkan rencananya, tanpa menemukan musyawarah dan mufakat dari rakyat. Pemerintah seakan tutup mata terhadap nasib yang telah menanti para juru parkir.
Kendhil, panggilan akrab Andy. Pria berusia 36 tahun itu hanyalah satu dari ratusan juru parkir Malioboro yang menolak relokasi parkir ke Taman Parkir Abu Bakar Ali. Pemerintah telah mencanangkan rencana ini sejak beberapa bulan lalu. Rencana ini terus mencuat hingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum ESDM ingin melakukan penataan ulang. Penataan kawasan Malioboro yang nantinya menjadi jalur pejalan kaki, berkonsep street furniture, seperti yang dilansir dari Tempo (3 Maret 2016) dengan judul Pemkot Yogya Pastikan Relokasi Parkir Malioboro pada April. Sedangkan Paguyuban Juru Parkir Malioboro menolak rencana tersebut. Lantaran, solusi yang diberikan dirasa kurang manusiawi.
Pro dan kontra makin mewarnai perkara relokasi parkir Malioboro. Berbagai pihak memperdebatkan masalah tersebut. Tua dan muda ikut menanggapi problematika tersebut. Berbagai aksi protes dilakukan. Seperti aksi damai membersihkan jalanan Malioboro hingga pemasangan spanduk penolakan relokasi.
[caption caption="Sumber gambar: Bambang N. | krjogja.com"]
Keputusan relokasi parkir Malioboro ke Taman Parkir Abu Bakar Ali terkesan terburu-buru. Dampak yang akan dirasakan para juru parkir Malioboro mampu diprediksi dengan mudah. Apalagi, keputusan diambil tanpa adanya kesepakatan dari Paguyuban Juru Parkir Malioboro. Mereka telah menawarkan beragam solusi, mulai dari pemanfaatan toilet portable hingga berjualan di tepi jalan Malioboro. Nyatanya, beragam tawaran win-win solution itu belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Bak masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Mungkin ini yang dinamakan ketumpulan nurani.
Belum lagi mengenai surat izin parkir yang tidak dikeluarkan oleh Pemerintah Yogya. Kemudian, munculah aksi penolakan membayar retribusi ke Unit Pelaksana Teknis. Apalagi nominal yang disetorkan tak tanggung-tanggung, mulai dari 500 ribu hingga 2 juta rupiah per bulan. Pernyataan ini dilontarkan oleh Sigit Karsana Putra, Ketua Paguyuban Juru Parkir Malioboro.
Hingga saat ini, pemerintah menjanjikan 40 ribu rupiah per hari bagi tiap koordinator lapangan. Padahal, tiap koordinator biasanya membawahi lebih kurang tiga orang lainnya. “Coba bayangkan, 40 ribu per hari untuk tiga orang. Sedangkan tiap orang punya keluarga. Keluarga kami mau diberi makan apa?” celetuk Kendhil. Setega itukah pemerintah menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat?
Niat baik Pemerintah Yogyakarta memang seharusnya mendapat apresiasi. Karena relokasi parkir merupakan salah satu bentuk pengelolaan pariwisata Kota Budaya tersebut. Sambutan hangat dari pengguna jalan dan lahan parkir Malioboro, karena akan mempermudah menikmati manisnya daerah wisata itu.
Diskusi telah dilakukan berkali-kali antara pihak Pemerintah Yogyakarta dengan Paguyuban Juru Parkir Malioboro. Sayangnya, titik temu belum juga ditemukan. Perdebatan mengenai kesejahteraan para juru parkir belum membuahkan hasil. Nasib mereka masih mengambang, tanpa suatu kepastian. Tidak dapat dipungkiri, lahan parkir di sepanjang Malioboro telah menjadi gudang nafkah bagi para juru parkir.
Para juru parkir Malioboro sebenarnya tidak menolak adanya relokasi ke Taman Parkir Abu Bakar Ali. Mereka juga tidak keberatan, jika harus alih profesi. Hanya saja para juru parkir tidak dapat menerima dampaknya. Kelanjutan masa depan mereka masih dipertaruhkan. Pengurangan tenaga kerja pasti akan terjadi. Sedangkan pemerintah belum juga menemukan solusi yang pas, padahal para juru parkir juga turut menyumbangkan ide penyelesaian.
Pemerintah disokong oleh kecerdasan, uang, regulasi, dan lembaga pendukung lainnya, seperti kepolisian dan TNI. Sebaiknya menyelesaikan permasalahan juga dengan pola pikir akademisi, seperti yang dikatakan Sigit. Mereka bertugas untuk menyejahterakan masyarakat. Sehingga, tak salah jika masyarakat pun pada akhirnya menuntut kembali haknya untuk hidup sejahtera.
Itikad baik Pemerintah Yogyakarta untuk memperbaiki pengelolaan pariwisata di Malioboro memang patut diapresiasi. Di balik citra positif yang dibangun, terdapat cerita kelam potret negeri ini. Haruskah citra elok nan gagah dipamerkan, namun mengorbankan kehidupan rakyat kecil? Sepertinya kita diingatkan kembali, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah. Namun, mengapa masih ada pemaksaan, jika keputusan relokasi parkir dirasa masih belum mantap? Apakah ini yang dinamakan penantian tak berujung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H