Mohon tunggu...
Y-D. Anugrahbayu
Y-D. Anugrahbayu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Halaman ini berisi tulisan-tulisan iseng yang pernah saya buat. :)\r\nDijamin berat :p

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Makna dalam Derita?

7 Februari 2015   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:38 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“[…] atheism and theism are irrelevant in the context of man’s existential condition. […] From Camus’ perspective, both atheism and theism are leaps beyond the limits of man’s knowledge; they are escapes from the life of the absurd.” John Loose, “The Christian as Camus’ Absurd Man” dalam The Journal of Religion, Vol. 42, No. 3 (Jul., 1962): hlm. 203.

Setyo Wibowo, “Etika Politik Albert Camus”: hlm. 4.

Lih. Richard Leonard, Where the Hell Is God? (New Jersey: HiddenSpring, 2010), hlm.8-15.

Agustinus, Confessiones III, 7, 12, sebagaimana dikutip dalam Kleden, Membongkar Derita, hlm. 149.

D.-J. Mercier, Métaphysique générale, edisi ketujuh(Louvain: Institut superieur de philosophie, 1923), hlm. 245, sebagaimana dikutip dalam Cowburn, Shadows and the Dark, hlm. 13.

Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (New York: Harper & Row, 1967), hlm. 156, sebagaimana dikutip dalam Ibid., hlm. 13.

Margaret E. Gray, “Layers of Meaning in La Peste” dalam Edward J. Hughes (ed.), The Cambridge Companion to Camus (New York: Cambridge University Press, 2007): hlm. 165.

Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O’Brien(London, 1973), hlm. 24, sebagaimana dikutip dalam Martin Suhartono, “Camus: Dari Yang Absurd ke Pemberontakan” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun VIII, no. 3: hlm. 84.

Ibid., hlm. 16.

Setyo Wibowo memberi catatan menarik: “Camus memang tidak percaya pada Tuhan dari agama-agama, namun bukan berarti ia menjadi seorang atheis militan yang memperjuangkan ‘pegangan’ baru bernama ‘ajaran bahwa tuhan tidak ada’. Tidak. Ia menghormati orang beragama yang baik. Ia memelihara sebuah sens du sacré, rasa hormat pada sesuatu yang kudus, yang ia peroleh terutama dari filsafat Yunani. [...] Arnaud Corbic dalam artikel “Albert Camus est sensible à l'humanité du Christ” (diunduh dari http://www.la-croix.com/article/index.jsp?docId=2418472&rubId=4078) mengatakan: ‘Baginya, Tuhan adalah soal yang tak bisa diputuskan. Meskipun tidak percaya, toh Camus tahu untuk tidak mengandalkan dirinya pada sebuah ketidakpercayaan [...]. Camus memilih eksistensi tanpa Allah, namun bukan berarti ia menolak sesuatu yang kudus. Sebuah kekudusan Yunani, yang ditandai oleh hadirnya dunia, kosmos dan alam semesta secara ragawi. Etika pemberontakan dan cintanya juga tidak terlepaskan dari kekudusan ini. Dalam pemikiran Camus, cinta menyelimuti pemberontakan sehingga pemberontakan tidak berujung ke nihilisme. Pemberontakan berujung pada kehidupan [...]. Dalam kritikannya untuk Kristensme Camus berhutang banyak kepada Nietzsche. Seperti Nietzsche, Camus ingin setia kepada dunia [di sini]. Ia mengkritik ‘dunia bayang-bayang’ yang menawarkan ilusi tentang kehidupan yang lain, karena satu-satunya yang ada hanyalah eksistensi di sini dan saat ini.’ Setyo Wibowo, “Etika Politik Albert Camus”: hlm. 3.

Albert Camus, Letter to Roland Barthes, 11 Januari 1955 (Théâtre, Récits, Nouvelles), sebagaimana dikutip dalam Gray, “Layers of Meaning in La Peste”: hlm. 176.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun