Sebagian besar umat beragama memandang penderitaan sebagai bermakna. Tetapi dalam khasanah filosofis (dan teologis), apa yang disebut masalah kejahatan dan penderitaan (the problem of evil and suffering) tetap tak terpecahkan. Banyak teori telah berusaha menjelaskan, tetapi masalah tersebut tetap tinggal misteri. Berhadapan dengan penderitaan, pertanyaan “mengapa?” memberontak dari kedalaman hati manusia segala zaman. Masalah ini juga menjadi alasan yang, menurut hemat saya, paling alot untuk menolak Tuhan. Bagaimana kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa, Dia sebagai asal dan tujuan hidup, dapat bertahan di hadapan kenyataan penderitaan? Paragraf-paragraf berikut akan menyajikan bagaimana masalah penderitaan menantang secara serius pandangan hidup segala agama (khususnya yang monoteistik). Secara khusus, saya hendak memusatkan perhatian pada sebuah karya sastra yang termasyhur, La peste (The Plague / Sampar, 1947), karya seorang sastrawan Prancis kelahiran Aljazair, Albert Camus (1913-1960).
Beberapa Penjelasan Populer
Berhadapan dengan masalah kejahatan dan penderitaan, orang beragama memiliki beberapa penjelasan. Setidaknya ada tiga penjelasan populer yang hidup di kalangan orang beragama.
Pertama, penderitaan adalah hukuman atas dosa atau juga peringatan dari Allah. Pandangan ini begitu populer. Lihat saja reaksi-reaksi yang muncul atas bencana tsunami Aceh atau Mentawai, gempa bumi dan erupsi Merapi di Yogyakarta, atau juga bencana-bencana lain. Dalam pandangan ini, Tuhan menjadi “si tertuduh” pertama dan utama. Beberapa lagu populer menggambarkan pandangan umum ini. Salah satu yang muncul secara masif baik di televisi, radio, maupun berbagai media adalah lagu Ebiet G. Ade, Berita kepada Kawan. Penggalan lagu tersebut berbunyi, “[...] mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Lagu Sherina, Indonesia Menangis, yang populer segera setelah tsunami Aceh tahun 2004, semakin tajam: “Tuhan, marahkah Kau padaku? Sungguh deras curah murka-Mu. Kau hempaskan jari-Mu di ujung Banda, tercenganglah s’luruh dunia.” Pada lapisan masyarakat yang lain, mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring, pernah menulis tweet pada hari Selasa, 26 Oktober 2010, mengatakan bahwa gempa dan tsunami di Mentawai adalah “kutukan Tuhan karena kekafiran mereka”.
Dalam tradisi pemikiran Barat, pandangan ini tampaknya merupakan gaung dari pemikiran Agustinus (dan tentu saja juga Plotinos). Menurut Agustinus, penderitaan adalah konsekuensi dari dosa. Jadi bukan Allah yang menghukum (sebagaimana dimengerti dalam pandangan populer di atas), melainkan manusia sendirilah yang dengan kebebasannya memilih dosa, dan derita adalah konsekuensinya. Jadi ada hubungan langsung antara dosa dan penderitaan. Karena itu, penderitaan menjadi peringatan bagi manusia akan kedosaannya, dan dengan begitu manusia diharapkan berbalik kepada Allah. Bagi Agustinus, tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa. Kejatuhan Adam di Firdaus adalah kejatuhan total, kejatuhan seluruh kodrat manusiawi (natura humana), seluruh umat manusia. Karena dosa asal, manusia berada dalam situasi non posse non peccare, tidak dapat tidak berdosa.
Kedua, penderitaan akan diganjar dengan kebahagiaan di surga. Sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih lanjut, beberapa catatan perlu diberikan. Pandangan ini bisa memiliki dua arti: (1) orang beranggapan bahwa semua yang ada itu baik. Tidak ada yang buruk, semuanya baik. Kalau ada yang buruk, orang pasti salah lihat (optical illusion). John Cowburn menyebut pendirian ini sebagai extreme optimism. Kedua, orang merasa bahwa penderitaan merupakan unsur konstitutif dalam hidup, baik bagi orang beragama maupun tidak. Meskipun demikian, orang beriman tetap mampu melihat makna dalam penderitaan itu, sehingga tidak ambruk, tidak lumpuh karenanya. Harapan akan kebahagiaan menjadi kekuatan baginya untuk menanggung penderitaan. Nah, yang saya maksud di sini adalah yang pertama. Jadi orang secara naif berpandangan bahwa tidak ada yang buruk, atau cepat-cepat mereka-reka hiburan semu bahwa segala penderitaan akan diganjar dengan kebahagiaan nanti, esok, di surga.
Jika dimengerti secara gampangan seperti itu, beberapa lagu rohani populer bisa membuat orang jatuh dalam kenaifan. Lagu S’mua Baik, misalnya, berbunyi, “Dari semula t’lah Kau tetapkan hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu Tuhan [...]. S’mua baik, s’mua baik, apa yang t’lah Kau perbuat di dalam hidupku [...].” Jadi menurut pandangan ini, semua yang ada, semua yang terjadi itu baik, karena sudah direncanakan oleh Tuhan yang baik. Kehilangan ibu karena bencana gempa, misalnya, adalah baik, karena entah bagaimana, itulah rencana Tuhan.
Ketiga, penderitaan merupakan cobaan, syarat yang perlu (necessary condition) untuk harmoni / perkembangan. Pandangan ini sedikit lebih berbobot daripada sebelumnya, meskipun juga bukan tanpa keberatan. Menurut pandangan ini, penderitaan merupakan syarat supaya keharmonisan tercapai dan manusia berkembang. Begitu misalnya, orang tidak mungkin menjadi pemain gitar yang handal tanpa bersusah-payah menghafal, menalar, dan me-“rasa”-kan chord, latihan menekan senar, sering juga jari-jari harus sakit karena kapalen, dsb. Begitu juga misalnya, kesempatan reuni alumni suatu sekolah banyak diisi dengan cerita-cerita tentang bagaimana “penderitaan” dulu ketika sekolah ternyata bermakna besar bagi kemantapan diri orang sekarang. Penderitaan punya fungsi mendidik. “Kalau dulu tidak mengalami yang seperti itu, tidak mungkin sekarang menjadi seperti ini,” demikian pandangan ini sering terungkap dalam bahasa sehari-hari.
Keyakinan dasar dalam pandangan ini adalah bahwa penderitaan yang dialami manusia tidak mungkin melebihi kekuatannya untuk menanggungnya. Lagu Pelangi Kasih-Nya menggambarkan optimisme semacam ini: “Apa yang kau alami kini mungkin tak dapat engkau mengerti. Cobaan yang engkau alami tak melebihi kekuatanmu. [...] Tangan Tuhan sedang merenda suatu karya yang agung mulia. Saatnya ‘kan tiba nanti, kau lihat pelangi kasih-Nya.” Pelangi menjadi simbol cita-cita harmoni yang membuat penderitaan menjadi mungkin dimengerti.
Pada tingkat yang lebih scholarly, pandangan ini berhubungan dengan pemikiran Teilhard de Chardin. John Cowburn menyebut pendirian ini sebagai moderate optimism based on evolution. Teilhard memang menaruh perhatian besar pada teori evolusi. Menurut pengamatannya, perkembangan alam semesta dari tahap geosfer, biosfer, sampai noosfer tidak mungkin tanpa harga yang harus dibayar. “Dalam segala evolusi,” tulisnya di tahun 1917, “kita harus memperhitungkan kegagalan-kegagalan dan kekeliruan-kekeliruan.” Dalam karyanya yang termashyur, The Phenomenon of Man (1938), Teilhard menulis, “Tiada yang dihasilkan kecuali dengan penghancuran yang sebanding” (Nothing is constructed except at the price of an equivalent destruction). Berbeda dengan pandangan kedua, pandangan ini dengan sikap ksatria mau melihat penderitaan sebagai penderitaan (bukan menganggapnya sebagai optical illusion belaka). Proses evolusi memberi terang atas pertanyaan “Mengapa?” yang muncul di hadapan kenyataan penderitaan.
Meskipun berbeda, tiga penjelasan tersebut memiliki satu kesamaan. Ketiganya percaya bahwa penderitaan memuat suatu makna tertentu. Entah makna di sini dan sekarang ini, entah makna “surgawi,” esok dan di sana. Dengan kata lain, salah satu kepercayaan dasar orang beragama adalah bahwa hidup ini memiliki asal dan tujuan. Pada titik inilah pandangan agama bersentuhan secara tajam dengan pemikiran Albert Camus. Paragraf-paragraf berikut akan menggambarkan bagaimana Camus mengkritik baik tiga penjelasan di atas maupun cara berpikir agama pada umumnya.
Kritik Camus dalam Sampar
Novel Sampar(La peste / The Plague) telah menjadi salah satu karya besar yang sering dirujuk, salah satunya untuk menggambarkan bagaimana penderitaan menantang secara serius kepercayaan kepada Tuhan. Selain Sampar, novel Brat’ia Karamazovy / The Brothers Karamazov (1880) karya Fyodor Dostoevsky atau La Nuit / Night (1958)karya Elie Wiesel juga pantas dicatat. Karya-karya semacam ini telah menjadi tantangan serius terhadap kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa, yang juga dipercaya sebagai asal dan tujuan hidup dalam agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam).
Sampar berkisah tentang wabah penyakit sampar (pes) yang menimpa penduduk kota Oran. Lewat tokoh-tokohnya, Camus menggambarkan berbagai reaksi manusia di hadapan bencana dan kematian. Dalam novel tersebut, Camus juga mengungkapkan pendiriannya sendiri (sebagai Dr. Rieux, penutur cerita) sekaligus kritiknya terhadap cara berpikir agama di hadapan kenyataan penderitaan. Mari mulai dengan melihat bagaimana Camus mengkritik tiga penjelasan seperti diuraikan di depan.
Pertama, penderitaan sebagai hukuman atas dosa. Kritik Camus dalam hal ini tampak dalam tanggapan Dokter Rieux terhadap kotbah pertama Romo Paneloux. Pastor yang “terpelajar dan gesit” (hlm. 13) ini menggunakan kerangka teori Agustinus dalam kotbah pertamanya kepada penduduk kota Oran:
Saudara-saudaraku! Bencana mencengkeram kota kita, tetapi memang sepantasnyalah Anda sekalian mendapatkan kemalangan itu! [...] Mereka yang baik tidak perlu takut kepadanya. Tetapi mereka yang jahat, benarlah jika mereka gemetar! [...] Tuhan yang selama ini penuh kasih sayang kepada manusia kota ini menjadi bosan menunggu. Kecewa dalam harapannya yang langgeng, kini memalingkan muka-Nya. [...] Tetapi contoh ini setidak-tidaknya mengandung pelajaran. Contoh ini menyebabkan nalar kita yang lebih jernih dapat melihat sinar indah kelanggengan yang mengendap di kedalaman segala penderitaan. [...] Sinar ini menampilkan kehendak Tuhan, yang tanpa kegagalan mengubah kejahatan ke kebaikan. [...] Begitulah saudara-saudaraku, hiburan tak terkirakan nilainya yang ingin saya berikan kepada Anda. Semoga Anda menerimanya tidak hanya sebagai kata-kata yang menghukum, melainkan juga kata-kata yang menenangkan (hlm. 80-83, penekanan dari saya).
Dokter Rieux tidak dapat menerima pandangan ini. Puncak debat antara Dokter Rieux dan Romo Paneloux terjadi ketika mereka berhadapan dengan kematian anak Hakim Othon. “Ah, Anda tahu! Padahal anak itu tidak berdosa!” (hlm. 186) kata Dr. Rieux. Sejak itu, Romo Paneloux memang berubah. Kotbahnya menjadi lebih hati-hati. Seluruh bangunan pemahamannya tentang penderitaan sebagai hukuman demi kebahagiaan manusia roboh berhadapan dengan kematian seorang anak. Akan tetapi, sebagai seorang pastor, dia memang tetap percaya kepada Tuhan,dengan “mencintai apa yang tidak kita mengerti” (hlm. 186). Dokter Rieux menjawab dengan tegas, “Tidak, Romo! Bayangan saya mengenai cinta tidak seperti itu! Dan saya akan menolak sampai akhir hidup saya mencintai takdir yang menyiksa anak-anak!” (hlm. 187). Sampai akhir, tidak ada titik temu antara Dr. Rieux dan Romo Paneloux, meski keduanya tetap bekerja-sama menangani korban sampar.
Kritik Camus melalui mulut Dr. Rieux ini begitu tajam. Akan tetapi, pada aras isi doktrin, Camus salah bidik dalam dua hal: 1) Dia sama sekali tidak menyinggung dosa asal; jadi bahwa tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa, bahkan anak-anak sekalipun. Lagipula, jika yang mau dikritik memang ajaran tentang dosa asal, Agustinus sendiri tidak memaksudkan bahwa anak-anak layak menderita dan mati. Dalam konteks permenungan yang sifatnya melulu doktrinal melawan gnostisisme, Agustinus mengajarkan bahwa “lebih mudah mempertahankan iman bahwa Allah ada dan bahwa Dia Maha Kuasa dan Adil, daripada mempertahankan pendapat bahwa anak-anak itu tidak berdosa.” Karena itu, untuk mempertahankan gagasan bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Adil, Agustinus tidak melihat jalan lain selain dosa asal, jadi bahwa “bayi-bayi pun berdosa dalam dosa Adam, dan bahwa mereka menerima akibat dari dosa berdasarkan proses kelahiran mereka.” 2) Agustinus tidak mengajarkan bahwa Tuhan menghukum. Tidak. Yang diajarkan oleh Agustinus adalah bahwa kejahatan dan penderitaan memiliki hubungan langsung; jadi, kalau Tuhan membiarkan penderitaan, itu demi kebahagiaan manusia juga, yakni supaya manusia berbalik kepada-Nya.
Masalahnya adalah bahwa Camus (Dokter Rieux) tidak berminat dengan spekulasi berputar-putar doktrin agama. Bahwa penderitaan tidak secara langsung berasal dari Tuhan, bahwa penderitaan tidak dikehendaki, melainkan dibiarkan oleh Tuhan, bahwa ada hubungan langsung antara kejahatan dan penderitaan, bahwa ada malum physicum, malum morale, dan malum metaphysicum, dan sebagainya dan seterusnya, itu semua tidak menjadi minat Dokter Rieux. Yang paling penting baginya adalah menolong para korban, that’s all. Tuhan baginya tidak relevan. Melalui Dokter Rieux, Camus menunjukkan bagaimana di hadapan penderitaan, yang diperlukan bukan abstraksi, reka-reka doktrin, melainkan terlibat di sisi korban: “saya tidak ingin membicarakannya dengan Anda. Kita bekerja sama untuk sesuatu yang menyatukan kita di luar hinaan terhadap Tuhan maupun doa-doa. Inilah yang terpenting,” (hlm. 187) kata Dr. Rieux kepada Romo Paneloux. Karena itu, kritik Camus sesungguhnya lebih dari sekadar perkara isi doktrin. Dan di sinilah terasa alotnya.
Kedua, penderitaan akan diganjar dengan kebahagiaan di surga. Pada pokok ini, kritik Camus justru keluar dari mulut Romo Paneloux. Seperti sudah disinggung di atas, setelah menyaksikan sendiri kematian seorang anak, Romo Paneloux berubah. Dia tidak lagi sedemikian kuat berpegang pada argumentasi gampangan bahwa penderitaan adalah hukuman dari Allah, demi kebahagiaan kita. Dalam kotbahnya yang kedua, dia tidak lagi menyapa para pendengarnya sebagai orang luar dengan kata ganti orang kedua jamak “Anda sekalian.” Dia menggunakan identifikasi saya-dan-Anda, “kita” (hlm. 191). Dalam kotbah kedua itu, Romo Paneloux justru bertanya, “Siapakah yang bisa memastikan bahwa kebahagiaan langgeng akan mengimbangi rasa sakit manusia yang sesaat pun?” (hlm. 192). Kritik senada dilontarkan oleh Dostoevsky dalam novel The Brothers Karamazov, melalui ungkapan Ivan Karamazov yang begitu terkenal:
[...] keselarasan itu terlalu dilebih-lebihkan; biaya masuknya terlalu mahal bagi kita. Saya sendiri lebih suka mengembalikan karcis masuk saya. Sebagai orang yang lurus, saya bahkan wajib mengembalikannya secepat mungkin. Dan itulah yang saya lakukan. Saya bukan menolak untuk mengakui Allah, tetapi dengan penuh hormat saya kembalikan kepada-Nya karcis saya.
Dostoevsky menampilkan paradoks tragis: orang justru wajib menolak tawaran masuk surga kalau dia mau mengakui mutlaknya kebaikan.
Pendirian Camus dalam hal ini jelas. Mengikuti Nietzsche, Camus “alergi terhadap segala bentuk ide abstrak yang mau menjelaskan dan menjinakkan eksistensi yang absurd (tanpa alasan dan tanpa tujuan).” Karena itu, ganjaran kebahagiaan di surga bagi Camus tetap tidak bisa membenarkan penderitaan, dan bahkan justru absurd. Camus mau setia kepada dunia sini. Ganjaran kebahagiaan di surga baginya tak lebih dari sekadar pelarian (escape) dari pengalaman akan “yang absurd”, sama halnya seperti bunuh diri dan bahkan, ateisme.
Ketiga, penderitaan merupakan cobaan, syarat yang perlu untuk harmoni / perkembangan. Camus tidak mengungkapkan kritik yang eksplisit tentang pokok ini dalam Sampar-nya. Akan tetapi, kita bisa melihat bagaimana Camus menampilkan wabah sampar yang menyergap penduduk kota Oran itu “hadir tanpa mengagetkan” sedemikian sehingga “baru setelah ia hadir di depan pintu rumah, orang menyadari kedahsyatannya dan tinggal menerima akibatnya,” bahkan membuat rakyat menjadi “cepat terbiasa untuk membiasakan diri, bahkan dalam situasi terburuk pun.” Masalahnya jelas: penderitaan belum tentu menghasilkan harmoni / perkembangan. Penderitaan yang sedemikian hebat (seperti wabah sampar) justru melumpuhkan dan menghancurkan! Keyakinan dasar dalam lagu Pelangi Kasih-Nya bahwa “cobaan yang engkau alami tak melebihi kekuatanmu” sama sekali tidak masuk akal dan justru absurd untuk mereka yang sungguh-sungguh hancur karena penderitaan yang tak tertanggungkan lagi. Dalam hal ini, ungkapan “we grow through pain, but pain is not sent to make us grow”mungkin bisa sedikit menghibur mereka yang masih mau percaya kepada Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa.
Pokok ini juga menjadi kritik terhadap pandangan Agustinus tentang kejahatan sebagai privatio boni (lack of good). Mengikuti tradisi Neoplatonis, Agustinus berpendapat bahwa kejahatan tak lebih dari sekadar “kurangnya kebaikan”, malum est privatio boni. Kejahatan tak memiliki eksistensi pada dirinya sendiri, melainkan hanya ada sejauh dalam hubungannya dengan kebaikan. Sakit, misalnya, adalah kurang sehat, kotor adalah kurang bersih, dan sebagainya. Tetapi tidak bisa sebaliknya: sehat, misalnya, tidak bisa dimengerti sebagai kurang sakit. Karena itu, bagi Agustinus, kejahatan tidak memiliki sifat substansial, dia bukan “pengada” (being).
Menurut penalaran canggih metafisika (dalam arti filsafat dan bukan klenik), pandangan ini dapat diterima. Kebaikan adalah being, keburukan adalah lack of being,habis perkara. Objek kehendak selalu merupakan being, dan karenanya baik. Karena itu, kejahatan hanya bisa dimengerti sebagai efek-samping, aksiden saja: “the direct term of an action is never evil; evil as such is never willed.” Paul Ricoeur bernada sama, “however radical evil may be, it cannot be as primordial as goodness.” Inilah contoh spekulasi berputar-putar yang mau menjinakkan “yang absurd”. Ironisnya, “yang absurd” tetaplah absurd. Manusialah yang menjadi jinak, terbiasa dengan kejahatan dan derita, seperti penduduk kota Oran menjadi biasa dengan wabah sampar. Sikap menyepelekan dan menjinakkan seperti inilah yang dikritik dengan tajam oleh Camus melalui tokoh Dokter Rieux.
Mari menarik benang merah dari bagian ini. Kritik Camus memiliki satu titik-tolak, yaitu “yang absurd” (the absurd). Camus mendasarkan pemikirannya pada yang absurd dan bagaimana manusia hendaknya bersikap di hadapan pengalaman akan yang absurd itu. Pada bagian berikut, saya akan menguraikan pandangan Camus ini.
Yang Absurd, Pemberontakan, dan Kristianitas
Karya-karya Albert Camus dapat dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama disebut cycle de l’absurd (siklus absurditas). Ini merupakan karya-karya yang ditulis oleh Camus sejak 1937-1941 (meski baru terbit setelahnya). Roman L’étranger (The Stranger, 1942), esai Le mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus, 1942), dan naskah drama Caligula (dipentaskan pertama kali tahun 1945) termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan kelompok kedua adalah cycle de la révolté (siklus pemberontakan). La peste, yang yang menjadi perhatian tulisan ini(The Plague, 1947), L’état de siège (The State of Siege, 1948), Les justes (The Just, 1949), L’homme révolté (The Rebel, 1951) termasuk dalam kelompok ini. Dari kedua siklus tersebut, tampak bagaimana pemikiran Camus berjalan, yaitu dari “yang absurd” ke pemberontakan. Mari mulai dari yang pertama.
Karya Camus yang dapat mewakili konsep tentang yang absurd adalah esai The Myth of Sisyphus. Dalam esai ini, kisah Sisyphus dalam mitologi Yunani dia gunakan untuk menggambarkan pengalaman akan yang absurd. Sisyphus adalah raja Korintus. Karena menyalahgunakan kekuasaannya (merampok, membunuh, menipu para dewa), dia dihukum mendorong batu besar ke puncak gunung. Akan tetapi, ketika sampai di puncak, batu selalu terguling lagi ke bawah sehingga Sisyphus harus selalu turun dan mulai lagi mendorong batu itu ke puncak.
Hidup manusia sehari-hari tidak lebih baik daripada hukuman Sisyphus itu. Setiap hari kita bangun, sarapan, bekerja, makan, pulang, nonton TV, main Facebook, Twitter, makan, belajar, tidur, bangun lagi, bekerja lagi begitu seterusnya. Manusia lahir, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, lalu mati. Jika pada suatu titik orang bertanya “Mengapa? Untuk apa?”, di situlah dia mengalami yang absurd. Ada kebosanan, keheranan, tetapi juga kesadaran yang bangkit. Camus memberi definisi: “Yang absurd merupakan konfrontasi antara dunia yang irasional dengan keinginan dahsyat yang terus-menerus bergema dalam hati manusia, keinginan akan kejelasan.”
Yang absurd menjadi semakin tajam dalam pengalaman penderitaan. Novel Sampar melukiskan pokok ini. Menarik bahwa bagi Camus (Dokter Rieux), sampar bukan hanya sekadar penyakit. Hidup itu sendiri adalah sampar. “Orang-orang lain berkata: Ah, itu sampar! Kita mengalami epidemi sampar di sini! Mendengar mereka itu, seolah-olah mereka mengharapkan medali emas, piagam penghargaan. Padahal apa itu sebenarnya sampar? Itulah hidup! Begitu saja!” (hlm. 267). Bagi Dokter Rieux, sampar adalah “suatu kegagalan yang terus-menerus” (hlm. 111). Penderitaan yang begitu hebat dan tak habis-habisnya di dunia ini tidak dapat tidak membuka kesadaran kita akan yang absurd.
Di hadapan yang absurd, setidaknya ada dua macam sikap: percaya kepada Tuhan atau nihilisme anarkis. Percaya kepada Tuhan berarti percaya bahwa suatu saat nanti, segala penderitaan akan dihapuskan. Nihilisme anarkis berarti menolak segala tata-nilai, dan baik buruk hanya soal kebetulan. Camus tidak mau menerima keduanya. Baginya, kedua sikap tersebut tidak mau dengan gagah berani berhadapan dengan yang absurd. Percaya kepada Tuhan baginya adalah lompatan (leap), sedangkan nihilisme anarkis adalah kekalahan fatalistik. Camus memilih sikap lain, yaitu pemberontakan (revolt). “Kenyataan pertama dan satu-satunya yang tersedia bagi saya, di tengah-tengah pengalaman akan yang absurd, adalah pemberontakan,” tulisnya.
Di sinilah keistimewaan Camus. Dalam pengalaman akan yang absurd, dia masih mau memperjuangkan sesuatu. Dia tidak mau jatuh dalam solusi gampangan baik menjadi “metafisis” (agama / Tuhan), “anarkis” (nihilisme), maupun juga ateis yang dengan gencar mempromosikan bahwa Tuhan tidak ada. Sikap seperti ini terlukiskan dalam tokoh Dokter Rieux yang, meskipun setuju dengan sahabatnya, Tarrou, bahwa kemenangan melawan sampar “akan selalu bersifat sementara, begitu saja”, toh masih tetap mau menerima bahwa “itu bukan alasan untuk menghentikan perjuangan” (hlm. 111). Itulah pemberontakan melawan yang absurd. Para pemberontak ini bukan orang luar biasa. Mereka hanya bersikap sesuai keadaan:
Banyak moralis baru pergi ke mana-mana di kota kami sambil berkata bahwa tak sesuatu pun yang bisa dikerjakan untuk menanggulangi bencana, dan bahwa kami harus pasrah bertekuk lutut. Lalu Tarrou, Rieux dan kelompok mereka mungkin menjawab begini atau begitu, namun kesimpulannya selalu yang mereka ketahui: harus berjuang dengan cara begini atau begitu dan jangan bertekuk lutut! Pokok persoalannya ialah mencegah sebanyak mungkin orang meninggal [...]. Untuk itu hanya ada satu cara, yaitu melawan sampar. Sikap ini tidak mengagumkan, sikap ini hanya sesuai dengan suasana sebagaimana adanya (hlm. 116, penekanan dari saya).
Selain itu, pemberontakan bagi Camus bukanlah suatu sikap egois. Pemberontakan adalah pengalaman bersama. Memang, dalam karya-karya cycle de l’absurd, Camus cenderung menampilkan pemberontakan individual. Akan tetapi, dalam cycle de la révolté, pemberontakan menjadi bersifat kolektif, bersama-sama. “L’Etranger dan La Peste adalah suatu peralihan dari kesendirian menuju solidaritas,” tulisnya kepada Roland Barthes pada tahun 1955. Komunitas sukarelawan di sekitar Dr. Rieux menampilkan pokok ini. “Aku berontak, maka kita ada,” demikian Camus mengubah “Aku berpikir, maka aku ada” dari Descartes.
Yang semakin menarik pada Camus adalah bahwa meskipun melontarkan kritik tajam terhadap agama Kristen, Camus tidak anti-Kristen. Tidak. Ia sebatas non-Kristen. Ia tidak lepas kontak, melainkan mau berdialog secara kritis dengan Kekristenan. Thomas L. Hanna membuat analisis menarik bagaimana “[...] when Christians pick up the works of such a man as Sartre, it is largely with a mind to refute; but, when Christians pick up the works of Camus, it is with a mind to learn. It is encouraging and admirable that there continues to be a healthy dialogue between Camus and Christian thinkers.” Di sinilah kita bisa masuk pada pokok menarik tentang bagaimana pemikiran Camus dan Kekristenan dapat berdialog.
Pendirian Camus dalam hal ini bisa kelihatan dalam puncak debat antara Dokter Rieux dan Romo Paneloux seperti sudah disinggung di depan. Narasi tersebut semakin jelas dalam esai The Myth of Sisyphus. Bagi Camus hanya ada dua pilihan, atau “kita tidak bebas dan Tuhan, Yang Maha Kuasa, bertanggungjawab atas kejahatan”, atau “kita bebas dan bertanggungjawab, tetapi Tuhan tidak Maha Kuasa.” Sekali lagi, di sini Camus tidak bermaksud beradu argumentasi tentang ada atau tidaknya Tuhan. Tidak. Baginya, entah Tuhan ada atau tidak, manusia tetap mengalami yang absurd. Penderitaan dan kematian ada, itulah yang jelas dan menjadi titik-tolaknya.
Terhadap kenyataan itu, Romo Paneloux memilih mempertahankan Tuhan, dengan “mencintai apa yang tidak kita mengerti”, dengan harapan bahwa segala derita akan dihapuskan, entah bagaimana, suatu saat nanti. Ini sikap khas Kristen. Berhadapan dengan absurditas penderitaan, jawaban terakhir segala agama akan selalu berada dalam kerangka “harapan”, bahwa “ciptaan yang telah dikerjakan Allah bagi manusia ini akan dibebaskan dari perbudakan dan kesia-siaan,” dan bahwa kematian bukanlah kata-akhir. Jadi memang benar, “apart from belief in immortality, the problem of evil cannot be finally solved.”
Harapan semacam ini tentu saja problematis bagi Camus. Harapan seperti itu tidak dapat dia terima, seperti kelihatan dalam jawaban Dokter Rieux kepada Romo Paneloux setelah berhadapan dengan kematian seorang anak. Bagi Camus, harapan itu: 1) tidak bisa dibenarkan atas nama moral (tujuan yang etis harus dicapai dengan cara yang etis) dan 2) di luar sejarah, melampaui pengalaman konkret manusia di sini dan sekarang ini. Kalau demikian halnya, kalau Tuhan itu di luar sejarah, Dia tidak relevan dalam sejarah umat manusia. Ini tentu saja bukan pandangan monoteistik tentang Allah. Allah dalam pandangan monoteistik itu menyejarah, seperti kelihatan dalam Madah Exsultet, “O malam bahagia, waktu leluhur kami, Bani Israel, Kau antar keluar dari Mesir melalui Laut Merah, lewat jalan yang kering...”.
Dalam hal ini, Camus pantas dipuji karena ia “muncul sebagai nabi yang menyerukan kehidupan, di dalamnya nilai-nilai dapat ditemukan dalam lingkup tindakan dan sejarah manusia; kehidupan akhirat yang melampaui sejarah tidak diminati, dan tentu saja tidak berguna, bagi si manusia absurd.” Pokok ini bisa kena untuk mentalitas Indonesia, yang suka menghubungkan segalanya dengan agama, sehingga bahkan hal seprofan “kebersihan” pun disebut “sebagian dari iman”. Camus menunjukkan bahwa manusia mungkin hidup baik tanpa harus mengutip Kitab Suci.
Masalahnya adalah, apakah pemahaman Camus tentang “harapan” itu tepat? Benarkah Allah itu di luar sejarah, dan karenanya tidak relevan? Lebih radikal lagi, mungkinkah manusia hidup tanpa harapan?
Pada tingkat ini, saya melihat bahwa pandangan Camus tentang agama begitu dangkal. Allah monoteistik adalah Allah yang melibatkan Diri-Nya dalam sejarah. Jadi Allah tidak enak-enak menjadi pengamat di surgaloka. Dia pun terlibat di sisi korban, bahkan menjadi korban. Dia memasuki absurditas sampai pada tingkat yang paling gelap, yaitu kematian, tetapi kemudian mengalahkannya dengan kebangkitan. Inilah yang dilupakan oleh Camus.
Karena itu, panggilan umat beragama dalam hal ini jelas bukan menerima absurditas dan membenarkannya, seperti dikatakan oleh Camus: “[...] in its essence, Christianity (and this is its paradoxical greatness) is a doctrine of injustice. It is founded on the sacrifice of the innocent and the acceptance of this sacrifice.” Camus tidak memperhatikan bahwa sengsara dan wafat Yesus dalam keyakinan Kristen itu, selain memiliki ciri pengorbanan, juga berciri skandal. Dasar iman Kristen tidak berhenti pada sengsara dan wafat, melainkan terutama pada kebangkitan, dengannya Yesus mengalahkan absurditas paling gelap: kematian. Karena itu, panggilan Kristen bukan menerima, melainkan melawan absurditas, seperti Yesus telah lebih dahulu mengalahkannya, dan tetap menyertai manusia dalam perjuangan itu.
Meskipun berbeda pada tingkat pemahaman, kelihatan bahwa pada tingkat praktis, panggilan Kristen sama dengan pemberontakan Camus: melawan absurditas, terlibat di sisi korban, bahkan jika perlu, mengorbankan diri sendiri. Karena itu, hiburan semu, tafsir simplistik atas surga, dan sikap tidak mau melihat penderitaan sebagai penderitaan, hendaknya dijauhkan dari mentalitas kaum beragama. Kaum beragama tidak perlu takut atau malu belajar dari Camus tentang pentingnya kesadaran pemberontakan (rebellious consciousness), karena “the most redemptive form of atheism [...] is that of the rebellious consciousness, because it can serve as the starting point for a decisive advance toward alleviating suffering in the world.” Untuk mempertegas panggilan ini, kaum beragama pantas mendengarkan kata-kata Camus yang keras ini:
What the world awaits from Christians is that they speak loud and clear, and that they express their condemnations in such a manner that never a doubt, never a single doubt, may arise in the heart of the simplest man. It is that they leave off with abstraction and that they face up to the blood-stained visage which history has taken today... . When a Spanish bishop blesses political executions, he is no longer a bishop, nor a Christian, and not even a man, he is a dog, like all those who from the height of an ideology command this execution without doing the work themselves.
Mari beralih ke masalah kedua: harapan. Mungkinkah manusia berjuang melawan absurditas tanpa harapan bahwa segala derita akan dihapus? Sikap Dokter Rieux, si manusia absurd (the absurd man) khas Camus, dapat memberi jawaban: memberontak, bekerja melawan penderitaan tanpa banyak teori, mimpi, apalagi harapan. Pendirian Camus yang kelihatan dalam sikap Dr. Rieux ini semakin jelas dalam kata-katanya sendiri kepada kaum beragama, “I share with you the same revulsion from evil. But I do not share your hope, and I continue to struggle against this universe in which children suffer and die.” Keyakinan Camus ini kelihatan dalam caranya berkisah, yakni bagaimana Dokter Rieux dan Romo Paneloux bersatu-padu menangani korban sampar, meski berbeda pandangan.
Jadi pendirian Camus jelas: manusia harus dan mampu hidup melawan absurditas tanpa harapan. Pendirian agama juga jelas, seperti terungkap dalam madah kuno, Te Deum: “In te, Domine, speravi, non confundar in aeternum” (“Kepada-Mu, ya Tuhan, aku berharap, untuk selama-lamanya aku tidak akan hancur”). Mana yang lebih masuk akal? Mana yang lebih sesuai dengan tuntutan kemanusiaan kita? Dalam paragraf terakhir dari Sampar-nya, Camus menulis:
Karena dia sadar, meskipun khalayak yang bersuka ria itu tidak mengetahui [...] bahwa basil sampar tidak pernah mati ataupun menghilang buat selama-lamanya. Bahwa basil dapat menetap berpuluh tahun tertidur di perabotan rumah dan pakaian. [...]. Dan bahwa barangkali, pada suatu hari, guna kemalangan ataupun pelajaran bagi manusia, sampar akan membangunkan tikus-tikus, kemudian menyuruh mereka mati di tempat-tempat terbuka di suatu kota yang bahagia (hlm. 269).
Sampai batas manakah manusia sanggup berjuang secara heroik melawan sampar yang tiada habisnya itu? Jika absurditas eksistensi manusia adalah harga mati, bukankah manusia akan cenderung meninggalkan idealisme moralnya? Pada tingkat ini, kritik dari Gabriel Marcel pantas kita perhatikan, “[...] at the same time this attitude of Camus is also extremely simple-minded. It is that of a man who has never reached the stage of what I have often called ‘secondary reflection’.” Max Horkheimer bernada sama, “Menyelamatkan / mengupayakan makna yang sempurna / mutlak tanpa Allah adalah sebuah kesombongan [...] Tanpa berseru pada sesuatu Yang Ilahi, perbuatan baik, upaya menyelamatkan mereka yang tertindas akan kehilangan kemuliaan / masa depannya.” Pada pokok inilah Camus pantas mendapat catatan kritis.
Lagipula, harapan akan penghapusan derita itu bagi kaum beragama bukan pertama-tama suatu pelarian, melainkan justru merupakan sumber kekuatan untuk melawan penderitaan di dunia ini: “penantian bumi yang baru bukannya melemahkan minat kita untuk mengolah bumi ini, melainkan justru harus menghidupkannya: penantian, yang telah memberikan suatu gambaran mengenai zaman yang akan datang, merupakan tempat berkembangnya tubuh keluarga bangsa manusia yang baru.”
Ada satu hal lagi yang dilupakan oleh Camus, yaitu bahwa penderitaan itu tidak selalu absurd (seperti wabah sampar), melainkan justru seringkali begitu jelas sumbernya, yaitu niat jahat manusia sendiri. Itulah sebabnya, kaum eksistensialis-marxis di Paris sering mengejek heroisme moral Camus ini sebagai “moral Palang Merah”. Camus melalaikan bahwa manusia bisa bertindak jahat.
Dalam konteks kelalaian Camus ini, saya hendak mengakhiri pembahasan dengan sebuah cerita singkat. Adegan terakhir dalam film The Mission menampilkan dialog Kardinal Altamirano dan Señor Hontar. Setelah memberi izin bagi tentara Kerajaan Spanyol dan Portugal untuk menghancurkan misi Katolik di tengah-tengah suku Guarani, Sang Kardinal sadar akan betapa dahsyatnya derita dan kematian suku Guarani dan para pastor di sana. Señor Hontar berusaha menghibur Sang Kardinal dan membenarkan diri, “We must work in the world, Your Eminence. The world is thus.” Jawaban Sang Kardinal menarik, “No, Señor Hontar. Thus have we made the world... thus have I made it.”
Thus have we made the world,maka kita bertanggungjawab. Jawaban Kardinal Altamirano ini dapat menjadi ajakan supaya manusia jangan terlalu mudah menilai penderitaan sebagai absurd. Seringkali justru manusia sendirilah yang menyebabkan penderitaan sesamanya sendiri. Pada titik ini, Camus mengingatkan manusia untuk terlibat di sisi korban, dan agama memberi harapan yang tak kunjung putus untuk itu.
Daftar Rujukan
Camus, Albert. Sampar, terj. Nh. Dini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Cowburn, John. Shadows and the Dark: The Problems of Suffering and Evil London: SCM Press Ltd., 1979.
Gray, Margaret E. “Layers of Meaning in La Peste” dalam Edward J. Hughes (ed.), The Cambridge Companion to Camus. New York: Cambridge University Press, 2007, hlm. 165-177.
Hanna, Thomas L. “Albert Camus and the Christian Faith” dalam The Journal of Religion, Vol. 36, No. 4 (Oct., 1956), hlm. 224-233.
Leahy, Louis. “Masalah Kejahatan” dalam Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1993, hlm. 269-279.
Loose, John. “The Christian as Camus’ Absurd Man” dalam The Journal of Religion, Vol. 42, No. 3 (Jul., 1962), hlm. 203-214.
Setyo Wibowo, A. “Etika Politik Albert Camus: Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd” (Makalah yang disampaikan pada Seri Kuliah Filsafat “Etika Politik”, Komunitas Salihara, Sabtu, 6 November 2010).
Martin Suhartono, “Camus: Dari Yang Absurd ke Pemberontakan” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun VIII, no. 3: hlm. 83-91.
Lih. Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hlm. 173-178: “Pandangan Agustinus: Dosa Asal adalah Kejatuhan Manusia”.
Lih. John Cowburn, Shadows and the Dark: The Problems of Suffering and Evil (London: SCM Press Ltd., 1979), hlm. 3-14.
Lih. Ibid., hlm. 27.
Teilhard de Chardin, Writings in Times of War (London: Collins, 1968), hlm. 165, sebagaimana dikutip dalam Ibid.
Teilhard, The Phenomenon of Man (London: Collins, 1959), hlm. 51, sebagaimana dikutip dalam Ibid.
Albert Camus, Sampar, terj. Nh. Dini (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985). Seluruh rujukan halaman mengacu pada edisi terjemahan ini.
Agustinus, De Civitate Dei, XV, 1, sebagaimana dikutip dalam Kleden, Membongkar Derita, hlm. 177. Paul Budi Kleden dengan bagus menempatkan ajaran Agustinus ini dalam konteksnya, yaitu melawan pandangan gnostisisme bahwa dosa asal adalah kejatuhan Allah. Karena itu, kita tidak perlu tergesa-gesa menafsir bahwa Agustinus mempromosikan Allah yang kejam, karena yang mau dia bela justru persis sebaliknya, yaitu mempertahankan Kemahakuasaan dan Kemahabaikan Allah di hadapan tantangan gnostisisme.
Fyodor Dostoevsky, Les frères Karamazov (Paris: Le Livre de Poche, 1880), hlm. 287-288, sebagaimana dikutip dalam Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1993), hlm. 271.
A. Setyo Wibowo, “Etika Politik Albert Camus: Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd” (Makalah yang disampaikan pada Seri Kuliah Filsafat “Etika Politik”, Komunitas Salihara, Sabtu, 6 November 2010): hlm. 11.