Tentang Seiko. Aku akan berbagi rahasia.Â
Aku adalah anak nomor dua dari lima bersaudara. Tetapi setelah ibuku meninggal, saudaraku bertambah lima lagi. Jadi genaplah menjadi sepuluh bersaudara. Setiap perangai kakak dan adikku sangat beragam. Aku tak akan cerita di sini. Mungkin nanti.
Nah, karena bersepuluh itulah, aku harus mengatur strategi agar bapak tak marah saat aku meminta sesuatu. Yups. Saat SMP aku ingin sekali memakai jam tangan, seperti temanku yang lain. Tampak gagah dan mengesankan sebuah kecerdasan. Betapa tidak. Hampir seluruh kegiatan di sekolahku dibatasi oleh waktu. Jam pertama hingga jam paling akhir, dijadwal dengan rapi, dari menit ke menit, dari jam ke jam. Itulah gunanya jam tangan.Â
Jam tangan sendiri bukan waktu. Ia hanyalah penanda waktu. Lalu, apakah waktu itu? Suatu kali, guruku bertanya hal yang tidak kami mengerti. Semua siswa terdiam. Kelas tiba-tiba sunyi. Hanya detak jarum jam dinding yang berdetak-detak berirama , konstan.
"Waktu adalah situasi yang membatasi sesuatu, pak Guru!" kata Mosa dengan percaya diri.
Pak Guru tersenyum. "Ada lagi?"
"Kita punya waktu dua puluh empat jam, seribu empat ratus empat puluh menit, dan delapan puluh enam ribu empat ratus detik dalam sehari." Kata sang Kala.
Pak Guru tetap tersenyum. "Ada lagi?"
"Waktu adalah penunjuk yang membedakan siang dan malam, pagi dan petang!" seru Thalia sambil berdiri.
"Waktu adalah ciptaan Sang Khalik, pak Guru!" Tono menimpali sambil keduatangannya menopang dagu dengan gaya slank.
Pak Guru mengangkat tangan kanannya. Thalia dan Tono kembali duduk. Kelas kembali sunyi. "Mari kita dengarkan bersama detak jarum jam mengelilingi porosnya. Masuklah ke alamnya. Jangan dilawan. Biarkan bunyi detaknya menyatu dengan detak jantungmu...!"