Panitia dibentuk dengan masa kerja 100 hari, mulai dari Rabu Abu hingga minggu Pentakosta. Semua hal, mulai dari terkecil hingga pada pokok acara, dirapatkan berminggu-minggu. Tidak jarang terjadi selisih pendapat untuk mencapai satu keputusan. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Masing-masing paroki mempunyai dinamikanya sendiri.
Namun, sejak WHO menyatakan virus corona sebagai pandemi, semua keriuhan berbagai aktivitas, termasuk kegiatan keagamaan mendadak senyap. Pembatasan kedekatan personal maupun sosial, dengan menjaga jarak aman, seolah ingin meluluhlantakkan bangunan hakikat manusia sebagai homo socius. Sekaligus pula merombak konsep Gereja sebagai persekutuan umat Allah.
Gereja sebagai persekutuan, seakan tidak bisa dirasakan lagi sebagai kedekatan, keakraban, tegur sapa, dan salam hangat. Persekutuan “dipaksa” dihayati juga secara baru, yakni kebersamaan dalam kesendirian. Dan, begitulah Gereja menemukan maknanya, bukan hanya secara harafiah fisik, melainkan secara rohaniah.
Jangan-jangan kita memang diingatkan, bahwa seringkali kesibukan persiapan dan peribadatan justru mengoyak hakikat keintiman personal kita dengan Tuhan. Dan sekarang, tetap tenanglah di rumah, miliki waktu sepenuhnya, persiapkan hati seutuhnya untuk mentahtakan Tuhan dalam hati. Selamanya.
Alunan samar lagu “Ia yang didera dan disalib”, saat live streaming di minggu Palma ini tak bisa terpungkiri terasa begitu menyesakkan. Sesak dan perih. Selayaknya, saat Ia, berlutut penuh keringat dan darah, dalam kesendirian, dalam kesenyapan, persis menjelang sengsara-Nya.
Selamat menyambut pekan suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H