Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertiwi, Ini Rumah Kita!

1 April 2020   17:30 Diperbarui: 1 April 2020   17:31 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Arab?!” Mata Tiwi jelas membelalak. “Mana mungkin, Bu. Tiwi kan sarjana!” (kata terakhir sengaja ditekan-tekan secara terbata).

“Apa Ibu salah berharap darimu?”

“Bukan, Bu. Bukan itu persoalannya. Ibu tidak salah. Justru Tiwi yang salah kalau mengabaikan permintaan Ibu.”

“Lalu?”

Tiwi terdiam. Ia segera meneguk segelas air putih, meski kerongkongannya tak kering. Tiwi menata nafasnya. “Bu. Sekarang Tiwi ingin tahu sesuatu dari Ibu.”

“Katakan Tiwi!”

“Hmm. Memang Ibu ingin banget Tiwi pergi ke Arab? Apa Ibu benar-benar ingin Tiwi menjadi TKW? TKW Bu?”

Mendadak gemericik air comberan menelusup ke lubang-lubang kesunyian. Suara televisi di rumah sebelah, juga terdengar. Bahkan nyanyi biduan dari orkes melayu yang berlatih malam itu, mulai mengusik ketenangan, meski kadang hilang ditiup angin. Sejatinya, malam belum berangkat terlalu larut. Tapi, jangkrik dan katak-katak selokan, sudah tak sabar beradu pentas dengan biduan orkes melayu. Jangkerik pada suara sopran, katak pada suara bariton. Tak selaras memang. Tetapi, setidaknya begitulah sebuah malam harus dinikmati.

“Tiwi. Seandainya kamu tidak mau ke Arab, Ibu tidak sakit hati. Tetapi Tiwi harus tahu, tetangga-tetangga kita yang pergi ke Arab sekarang sudah bisa membangun rumah bertingkat, dengan tembok tebal, pintu gerbang yang tinggi dan runcing, dan jendela-jendela kaca berwarna hitam, serta atap-atap kubah yang eksotik…” Ibu menelan ludah. Melihat Tiwi tidak bereaksi, Ibu kembali berucap dengan lihainya.

“Setiap musim lebaran tiba, korden-korden penutup jendela kaca selalu diganti dengan korden baru. Kata mereka, itu asli tenunan orang Arab. Meski Ibu tahu, itu korden mirip korden punya tante Mel di Bandung. Lalu, sepulang dari shalat Id di lapangan samping Balai Desa, tangan mereka berkilauan gelang emas. Jari-jari mereka menjadi kuning perak oleh cincin-cincin berukiran huruf Arab. Hijab yang menutup rambut tampak indah merona. Di ujung hijab bagian depan semburat warna merah muda, amat pas dengan perpaduan warna putih mengkilat. Mengkilat. Sungguh memesona, Tiwiku.”

Tiwi menatap ke arah tangan-tangan Ibunya yang sedang memeragakan ucapannya. Ibu semakin bersemangat.

“Bukan hanya itu, Tiwi. Merekalah yang seringkali dipanggil dengan terhormat dan gegap gempita oleh petugas surau. Tahu kenapa? Ya, merekalah penyumbang zakat terbesar di kampung ini. Mereka telah benar-benar melaksanakan kebaikan berlipat, Tiwi. Dan, kamu tahu Tiwi. Semua itu bisa mereka lakukan, tanpa harus menjadi sarjana.”

“Tapi Tiwi sudah terlanjur sarjana, Bu!”

Tiwi menghela nafas, disusul dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tiwi tidak mengerti jalan pikiran ibunya.

“Tiwi. Ibu tidak menyalahkan titelmu. Tapi setahu ibu, setelah kelulusanmu, rumah ini rasanya semakin menyempit saja. Sebentar lagi, bangunan belakang rumah pun telah bersiap jatuh ke lembah. Meski pancang-pancangnya kuat mencengkeram bumi, tapi apalah daya bila musim longsor mengikis pondasi tanahnya. Dengan apa semua itu bisa melegakan hati Ibu, Tiwi. Hanya satu cara: kamu harus bekerja!”

**

Jauh di lubuk hati, Tiwi bertanya-tanya, mengapa dulu ibu menyekolahkannya hingga perguruan tinggi. Anehnya, justru ibu yang menyuruh Tiwi untuk kuliah. Tak bisa dipungkiri, ibu tak pernah mengecap sekolah setinggi Tiwi sekarang. Dengan alasan itulah, mungkin ibu tak ingin menelantarkan pendidikan anak semata wayangnya.

Sedangkan ayah? Sejak tahun lalu, Ayah telah pensiun dari pegawai negeri. Ayah tidak lagi mengajar anak-anak sekolah dasar di kampungnya. Kini, ayah hanya sibuk mengurusi tanaman hias dan kebun palawija. Berbeda dengan ibu, ayah tidak terlalu antusias menyodorkan rancangan-rancangan masa depan untuk Tiwi. Maklum, ayah terlalu pendiam untuk urusan keluarga. Tetapi, Tiwi tahu senyatanya ayah menginginkan Tiwi menjadi guru, sepertinya. Satu hal yang justru menjadi pantangan bagi Tiwi.

“Tiwi tak mau jadi guru, Ayah!” kata Tiwi suatu ketika. “Menjadi guru, berarti tak punya karir. Tiwi tidak mau terjebak dalam rutinitas yang merepotkan. Mengoreksi ulangan, merekayasa angka rapor, menunggui anak-anak saat ujian nasional. Belum lagi kalau menghadapi murid-murid yang nakal. Agh, sangat menjengkelkan.”

Mendengar penjelasan anaknya, ayah tidak naik pitam. Ayah malah tersenyum, seolah ingin memberi kekuatan cinta tanpa banyak kata.  Hanya satu hal dari Ayah yang selalu diingat oleh Tiwi. “Jika Ayah menjadi guru, itu semata karena panggilan jiwa. Selebihnya, ayah hanyalah penyalur rahmat sang Pencipta. Karena itu, lakukanlah sesuatu seturut hatimu, Tiwi. Seturut hatimu!”

Sekarang saatnya Tiwi mengikuti kata-kata Ayahnya. Berhadapan dengan ibu, Tiwi merasa selalu kalah. Setidak-tidaknya, perdebatan semalam. Ibu tetap pada pendiriannya, meminta Tiwi pergi ke Arab Saudi. Menurut ibu, menjadi TKW adalah pilihan terbaik untuk memperbaiki nasib. Tak ada pilihan lain, kecuali kembali menegosiasikan kehendak hati Tiwi dengan kehendak ibunya.

Tiwi menghadap.

“Ibu. Tiwi ingin bicara.” Nada suara Tiwi datar, setengah memohon.

“Bicaralah, nak.” Ibu juga bicara datar.

“Bu. Tiwi tahu, Ibu menyayangi Tiwi lebih dari siapapun. Ibu tentu tidak ingin kehilangan Tiwi, dan tidak ingin melihat Tiwi celaka atau sakit tanpa perawatan. Tiwi ingin sekali menuruti keinginan ibu untuk pergi ke Arab. Setidaknya, sepulang dari Arab nanti rumah kita bisa kembali kokoh berdiri. Ibu akan selalu bisa mengganti korden-korden jendela. Ibu juga bisa duduk di kursi goyang di lantai dua, sambil menikmati sepoi angin dari sungai dan sawah yang menghampar. Pada saatnya nanti, ibu juga tidak perlu malu lagi pergi ke pasar, pergi kondangan, atau melayat ke pemakaman tetangga,” Tiwi berhenti sesaat, sambil mengatur napas.

Tiwi melanjutkan, ”Sepulang dari Arab nanti, Tiwi akan mengalungi ibu dengan kalung emas yang berkilauan. Saat berjalan, kaki-kaki ibu akan riuh oleh gemerincing oleh gelang-gelang emas yang bertabur berlian. Ibu juga akan mengenakan kerudung putih seputih kapas. Jari-jemari ibu akan penuh dengan cincin-cincin bertuah, sehingga ibu menjadi percaya diri saat bersalaman dengan orang-orang kampung, termasuk dengan para pejabat kelurahan. Tapi…”

Kesunyian tak lagi menyengat. Anak-anak di surau juga sudah lama berhenti berkumandang. Hanya degup jantung Tiwi yang semakin lama jauh lebih keras berdetak. Meski setangkai dua tangkai kata sudah dironce dengan hati-hati. Tapi, Tiwi tetap tak kuasa menyesak. Tiba-tiba kerongkongannya tercekat. Sebenarnya, Tiwi tinggal menyelesaikan kalimat kesimpulan dari seluruh presentasi dan pemaparannya yang deskriptif tadi. Tetapi, lagi-lagi Tiwi harus menghitung langkah. Seandainya ibu marah, itu berarti kiamat bagi Tiwi. Demikian sebaliknya, apabila ibunya bisa menerima alasan-alasannya, itupun berarti neraka bagi Tiwi.

“Katakanlah, Nak. Adakah sesuatu yang mengganggu tidurmu? Apakah kesarjanaanmu menjadi penyebab semua masalah ini? Katakan saja, Tiwi. Ibu mendengarkan.”

Tiwi menggeser letak duduknya. Lalu menata rambut dengan mengikatnya menjadi satu ikatan di belakang. Sekarang tampak jelas. Tiwi menyimpan sebuah keresahan. Padahal, maksud kedatangannya pulang setelah wisuda itu semata karena ingin menebus hari-harinya yang hilang bersama ibu. Tetapi begini akhirnya. Tiba-tiba ibu menebas habis semua impian Tiwi. Serta merta ibu membakar hangus semua tekad dan semangat Tiwi yang membaja. Dan itu semua berubah dengan tiba-tiba.

Ibu tidak berubah, tetap santun, hangat, dan penuh kerahiman. Yang berbeda hanyalah sudut pandangnya. Ibu tidak menyesal telah menyekolahkan Tiwi hingga sarjana. Buktinya, ibu menangis haru saat nama Tiwi disebut sebagai wisudawan berprestasi, persis pada saat penobatan Tiwi menyandang gelar sarjana sastra bahasa Indonesia.

Ada apa dengan ibu. Kenapa ayah juga tidak bicara, pada saat Tiwi membutuhkannya. Sudah saatnya, ayah tak membeo keinginan ibu. “Bicaralah dengan hatimu, Ayah!” Batin Tiwi meneriakkan pertolongan.

Di hadapan ibu, seperti sekarang ini adalah sebuah kesalahan. Tatapan ibu yang lembut, justru membuat Tiwi tak tega menyakitinya. Harapan-harapan ibu yang dituturkan dengan keikhlasan, adalah tombak tajam yang menyayat kedaulatan Tiwi sebagai anak. Tiwi masih berdiam. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah meremas-remas jemarinya, kemudian menghilangkan kotoran yang menempel di sela-sela kuku tangannya. Sedang matanya, sesekali mendongak ke arah ibu. Namun, hanya sedetik. Selebihnya, Tiwi melabuhkan pandangan matanya ke lantai, sepenuhnya, selama mungkin.

**

Waktu sudah terbuang percuma. Tiwi belum menemukan kata-kata penutup yang pas. Hingga pada suatu waktu, tangan ibu menyentuh pundaknya. Dengan lembut, tangan Ibu meraih dagu, dan menempatkan wajah Tiwi menjadi benar-benar sejajar dengan wajahnya. Ibu dan anak saling bertatap.

Nun kecil dan sempit di dalam hatinya, Ibu menyimpan kebanggaan yang tak terhingga melihat anak perempuannya tumbuh dewasa. Tak terhitung lagi berapa kebahagiaan yang diberikan Tiwi kepada ibunya. Dan, kini kamu mencurahkan seluruh kebahagiaanmu untuk ibu. Tiwi. Tiwi. Maafkan ibu, Nak.

“Ibu. Mengapa ibu menangis? Ada yang salah dari ucapan Tiwi?” tanya Tiwi merasa bersalah.

“Tidak, anakku. Ibumu yang bodoh ini tak seharusnya mengekang kebebasanmu, Pertiwi. Ribuan hari telah ibu lewati bersamamu, ratusan bulan telah ibu curahkan kasih sayang padamu. Dan, tak satupun darimu, akan ibu minta lagi.”

“Maksud ibu…?”

“Kebahagiaan terbesar seorang ibu, juga ayahmu, adalah melihat keberhasilanmu. Tak lebih, tak kurang.” Ibu menatap mata Tiwi dengan lembut. “Lihatlah. Tengoklah hari-hari sepi yang didekap ayahmu, selepas masa pensiunnya. Ayahmu telah kenyang oleh asam garam kehidupan. Celoteh anak-anak sekolah dasar tak lagi didengarnya. Dan tahukah kamu, apa yang sering ayah katakan tentangmu?”

Pertiwi menggeleng. “Biarkan Pertiwi menentukan masa depannya sendiri. Jangan paksa Pertiwi mengikuti keisengan liarmu, hanya agar kamu terlihat sejajar dengan tetangga-tetanggamu.”

Mata Pertiwi berkaca-kaca. Ia tak menyangka, ayahnya yang sangat pendiam, justru menjadi pembelaku yang paling mulia. Tapi, kenapa ayah tak pernah menunjukkannya langsung di depanku.

“Tapi mengapa ayah pernah memaksaku untuk menjadi guru, ibu?” tanyaku sedikit memberontak.

Ibu hanya tersenyum kecil. Sebenarnya, ibu dan ayahmu pernah saling berucap, “Pertiwi akan menjadi guru seturut kemauan ayah, atau menjadi pejuang devisa seperti yang ibu mau!”

Raut muka Pertiwi memerah. “Jadi, ibu dan ayah menganggapku undian?!”

Ibu malah tersenyum. “Tidak anakku. Pertiwi tetaplah Pertiwi. Tidak ada yang bisa memaksamu kelak kamu akan menjadi siapa. Kamulah yang menentukan ke mana arah angin akan melaju dan mendorong kapal impianmu berlabuh.”

Pertiwi belum sepenuhnya memercayai apa yang dikatakan ibunya. Pertiwi masih ingat betul detail mimik dan lekuk wajah ibunya saat memaksanya pergi ke sebuah yayasan penyalur tenaga kerja. Memang, ibu membujuk dengan lembut. Tetapi tetap saja, ibu tak suka bila aku melawannya.

Tangan ibu menepuk pundakku. “Memberimu pilihan untuk menjadi TKW di Arab adalah pertaruhan besar buat ibu.”

Wajah Pertiwi tampak mencari tahu maksud kalimat tersembunyi yang disampaikan ibunya. “Maksud ibu?”

Ibu melanjutkan lagi, “Katanya sarjana, tapi masih kalah pintar dengan anak sekolah dasar.” Ibu terkekeh sambil menggoda Pertiwi agar tersenyum.

“Agh ibu. Yang kayak-kayak begini, tidak dipelajari di bangku kuliah!” Jawab Pertiwi sekenanya.

Ibu mengangguk. “Bacalah berita-berita tenaga kerja kita yang dilecehkan dan dihina di negeri orang. Atau puluhan tenaga kerja yang kembali ke tanah air hanya tinggal namanya saja!” Ibu terdiam sejenak.

“Apa hubungannya dengan Pertiwi?”

“Memangnya kau tidak khawatirkan mereka?” Tanya Ibu pada Pertiwi.

Seluruh sudut ruang tamu mendadak sepi, nyaris tanpa suara. Pertiwi melihat sosok ibunya yang sungguh berbeda.

“Tentu saja aku khawatir, Ibu. Itulah sebabnya, Pertiwi tak akan kemana-mana. Di sini adalah rumah kita, ibu. Rumah yang harus kita jaga dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan raga!”

Ibu menggeleng. Tumpah ruah semua rasa, persis di saat mata ibu menatap anak perempuannya lekat-lekat. Ibu menggelengkan kepala, melelehkan air mata, lalu menyunggingkan senyum. Ibu dan anak, saling bertatap, lalu berhamburanlah keduanya dalam pelukan.

“Kamulah harta ibu yang tak ternilai, anakku!”

Depok. 0919/20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun