“Setiap musim lebaran tiba, korden-korden penutup jendela kaca selalu diganti dengan korden baru. Kata mereka, itu asli tenunan orang Arab. Meski Ibu tahu, itu korden mirip korden punya tante Mel di Bandung. Lalu, sepulang dari shalat Id di lapangan samping Balai Desa, tangan mereka berkilauan gelang emas. Jari-jari mereka menjadi kuning perak oleh cincin-cincin berukiran huruf Arab. Hijab yang menutup rambut tampak indah merona. Di ujung hijab bagian depan semburat warna merah muda, amat pas dengan perpaduan warna putih mengkilat. Mengkilat. Sungguh memesona, Tiwiku.”
Tiwi menatap ke arah tangan-tangan Ibunya yang sedang memeragakan ucapannya. Ibu semakin bersemangat.
“Bukan hanya itu, Tiwi. Merekalah yang seringkali dipanggil dengan terhormat dan gegap gempita oleh petugas surau. Tahu kenapa? Ya, merekalah penyumbang zakat terbesar di kampung ini. Mereka telah benar-benar melaksanakan kebaikan berlipat, Tiwi. Dan, kamu tahu Tiwi. Semua itu bisa mereka lakukan, tanpa harus menjadi sarjana.”
“Tapi Tiwi sudah terlanjur sarjana, Bu!”
Tiwi menghela nafas, disusul dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tiwi tidak mengerti jalan pikiran ibunya.
“Tiwi. Ibu tidak menyalahkan titelmu. Tapi setahu ibu, setelah kelulusanmu, rumah ini rasanya semakin menyempit saja. Sebentar lagi, bangunan belakang rumah pun telah bersiap jatuh ke lembah. Meski pancang-pancangnya kuat mencengkeram bumi, tapi apalah daya bila musim longsor mengikis pondasi tanahnya. Dengan apa semua itu bisa melegakan hati Ibu, Tiwi. Hanya satu cara: kamu harus bekerja!”
**
Jauh di lubuk hati, Tiwi bertanya-tanya, mengapa dulu ibu menyekolahkannya hingga perguruan tinggi. Anehnya, justru ibu yang menyuruh Tiwi untuk kuliah. Tak bisa dipungkiri, ibu tak pernah mengecap sekolah setinggi Tiwi sekarang. Dengan alasan itulah, mungkin ibu tak ingin menelantarkan pendidikan anak semata wayangnya.
Sedangkan ayah? Sejak tahun lalu, Ayah telah pensiun dari pegawai negeri. Ayah tidak lagi mengajar anak-anak sekolah dasar di kampungnya. Kini, ayah hanya sibuk mengurusi tanaman hias dan kebun palawija. Berbeda dengan ibu, ayah tidak terlalu antusias menyodorkan rancangan-rancangan masa depan untuk Tiwi. Maklum, ayah terlalu pendiam untuk urusan keluarga. Tetapi, Tiwi tahu senyatanya ayah menginginkan Tiwi menjadi guru, sepertinya. Satu hal yang justru menjadi pantangan bagi Tiwi.
“Tiwi tak mau jadi guru, Ayah!” kata Tiwi suatu ketika. “Menjadi guru, berarti tak punya karir. Tiwi tidak mau terjebak dalam rutinitas yang merepotkan. Mengoreksi ulangan, merekayasa angka rapor, menunggui anak-anak saat ujian nasional. Belum lagi kalau menghadapi murid-murid yang nakal. Agh, sangat menjengkelkan.”
Mendengar penjelasan anaknya, ayah tidak naik pitam. Ayah malah tersenyum, seolah ingin memberi kekuatan cinta tanpa banyak kata. Hanya satu hal dari Ayah yang selalu diingat oleh Tiwi. “Jika Ayah menjadi guru, itu semata karena panggilan jiwa. Selebihnya, ayah hanyalah penyalur rahmat sang Pencipta. Karena itu, lakukanlah sesuatu seturut hatimu, Tiwi. Seturut hatimu!”