Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sketsa Pantai

6 Juni 2018   23:32 Diperbarui: 6 Juni 2018   23:48 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ujung pantai, seorang nelayan bercaping lebar mengentaskan jalanya. Tak jelas benar, ikan apa yang ia peroleh sore itu. Bentuk ikannya ramping dan panjang. Aku mendengar seorang anak kecil berteriak girang bukan kepalang, "ikan layur...ikan layur...".

Mungkin itulah nama ikan yang berhasil dijala nelayan. Aku melihatnya beberapa kali memasukkan ikan dalam Bubu (tempayan dari anyaman bambu). Sedangkan, dua anak kecil yang saling berlarian, mendadak berhenti lalu ikut menyeret jala bapaknya ke tepian.

Rasanya, nikmat nian berada dalam pelukan sore itu. Deburan ombak, pasir yang terkikis buih, telapak kaki yang terendam air laut, sanggup menormalkan degup jantung.

**

Di sini, orang-orang yang mencintai pantai sanggup berlama-lama menunggu hasrat, berjabat erat dengan sang Pencipta, hampir tiada habisnya. Di sini pula, ribuan penyair melabuhkan hatinya di lembar-lembar puisi, merangkai kata-kata yang indah, menyusunnya dalam antologi.  Maka, catatan-catatan prestasinya akan selalu terbawa saat sang penyair menulis riwayat hidup. Sebab "nama" bagi penyair adalah taruhan sekaligus asset yang bisa dijual. Aku ini binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang, dan telah terjerat oleh tumpukan hutang...".

Bagiku, tumpukan panorama itu menjadi lahan berejakulasi di kanvas. Memindahkannya sebagai lukisan, tanpa bermaksud menyamai Tuhan. Aku melukis, karena panggilan jiwa yang berulang kali membentang-bentangkan sayapnya seperti malaikat. Kelak kemudian, lukisan itu menjadi mimesis keindahan relasi sang makhluk dengan Penciptanya. Terutama saat seekor kupu-kupu betina bermigrasi ke taman bunga di lembah di bawah kaki Bukit Damai. Di sanalah, aku memulai dan mengakhiri cerita, dengan polesan terakhir tanda tanganku di ujung kanvas.

Sementara, bagi sebagian orang Tionghoa, laut menjadi penghantar mereka dalam pelarungan abu jenazah para kerabat atau keluarganya. Laut menjadi tempat persemayaman yang murah, tanpa nisan, tanpa persewaan.

Seperti juga sekelompok Tionghoa di sini. Di sebelah selatan pantai itu berdiri sebuah bangunan, semacam aula atau gedung serba guna. Atapnya terbuat dari asbes, yang sanggup menahan panas di saat terik dan mampu menyerap dingin di saat malam. Bangunan itu memang kosong. Kecuali pada hari tertentu, jika dengungan sirine dan ratusan pelayat yang menghantarkan jenazah, berbondong dengan muka lusuh dan kalut.

Meski berdiri sendirian, tapi bangunan itu kokoh bukan kepalang. Tembok dengan tebal dua kilan, dengan tonjolan batu-batu kali yang sengaja diperlihatkan untuk kepentingan keindahan, sekaligus keawetan. Di dalam bangunan yang luas itu terdapat gua-gua kecil yang berbentuk seperti makam-makam batu di Yerusalem. Bagian bawah gua yang membentuk lubang adalah tungku pembakaran mayat. Di situlah orang-orang Tionghoa biasanya melakukan upacara requiem bagi kerabatnya yang meninggal, sebelum abunya dilarung di laut.

Setelah pembakaran selesai, para pekerja atau panitia lelayon yang biasa mengurusinya akan memilah-milah abu bagian tulang dan tengkorak kepala, kemudian disimpan di sebuah tempat seperti cupu (keramik), untuk disimpan oleh keluarganya. Abu itulah yang nantinya akan diletakkan khusus di dekat tempat sembahyang. Sisanya, abu akan ditabur ke laut sembari mengucapkan doa selamat jalan.

Lain adat lain belalang. Jika di Bali tentu ngaben lebih dikenal sebagai pesta pembakaran mayat yang paling meriah, sekaligus membutuhkan dana besar. Kecuali di suatu tempat terpencil di pinggir Danau Batur, suku Bali Aga (kuno) yang justru meletakkan jenazah di atas tanah. Setelah didoakan dengan gumaman mantra yang magis, jenazah sang pasien dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu membentuk semacam kerucut (keranda), lalu sang mayat akan tenang tertidur di bawah rimbunan pohon-pohon Taru Menyan. Itulah mepasah versi penduduk Trunyan. Belum sampai di situ, setelah larut dengan tanah, maka tengkorak kepalanya akan dijejerkan dengan tengkorak kepala yang lain, sesuai dengan tingkat kastanya. Aneh memang. Tetapi itulah keanggunan tradisi yang justru mengusik rasa ingin tahu wisatawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun