Misalnya, anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah sering kali disalahgunakan, sehingga masyarakat miskin harus menanggung beban terberat akibat korupsi yang dilakukan oleh segelintir elit.Â
Berikut adalah gambaran siapa saja yang terlibat:Â
Pejabat Publik
- Termasuk anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Aparatur Sipil Negara (ASN)
- Beberapa ASN terlibat dalam praktik korupsi seperti pungutan liar (pungli) atau manipulasi administrasi.
Pengusaha atau Swasta
- Memberikan suap atau gratifikasi untuk mendapatkan proyek atau izin dengan cara yang tidak sesuai aturan.
Partai Politik
- Beberapa partai menggunakan dana haram untuk membiayai operasional atau kampanye politik.
Oknum Penegak Hukum
- Beberapa penegak hukum (polisi, jaksa, atau hakim) terlibat dalam praktik suap untuk mengatur hasil keputusan hukum.
Berikut adalah gambaran siapa saja yang menjadi korbannya:
Masyarakat Umum
- Kehilangan akses ke layanan publik yang berkualitas, seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur.
Perekonomian Negara
- Kerugian besar pada keuangan negara yang menghambat pembangunan ekonomi.
Pengusaha Jujur
- Kesulitan bersaing karena harus menghadapi pelaku usaha yang bermain kotor melalui suap dan nepotisme.
Generasi Mendatang
- Mereka akan menanggung dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan dan utang negara akibat praktik korupsi.
Citra dan Kepercayaan Publik
- Korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara.
Bagaimana Korupsi Dapat Dijelaskan Melalui Teori Edwin Sutherland?
Dalam teorinya yang dikenal sebagai differential association theory, Edwin Sutherland menjelaskan bahwa perilaku kriminal, termasuk kejahatan kerah putih, tidak muncul begitu saja, tetapi dipelajari melalui interaksi sosial dan lingkungan sekitar. Sutherland menyatakan bahwa seseorang akan cenderung melakukan tindakan kriminal jika ia sering berinteraksi dengan lingkungan yang mendukung tindakan tersebut.Â
Fenomena ini sangat relevan dengan situasi di Indonesia, di mana budaya patronase, nepotisme, dan sistem birokrasi yang korup telah menjadi lingkungan subur bagi berkembangnya korupsi. Ketika seseorang berada di lingkungan kerja yang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau ketika tindakan korupsi dianggap sebagai sesuatu yang "normal", maka peluang untuk melakukan kejahatan tersebut menjadi semakin besar.
Selain faktor budaya, lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga menjadi salah satu alasan mengapa korupsi begitu sulit diberantas. Proses hukum yang lamban, hukuman yang sering dianggap tidak setimpal, dan adanya oknum penegak hukum yang turut terlibat dalam praktik korupsi semakin memperparah situasi.Â
Meskipun telah ada upaya serius seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tantangan besar tetap ada, terutama dalam melawan sistem yang sudah mengakar selama puluhan tahun.
Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai berikut:Â
Kriminalitas adalah Perilaku yang Dipelajari