Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Gagalnya Shin Tae-yong Fungsikan Marselino Ferdinan sebagai Deep-Lying Playmaker

10 Mei 2024   04:11 Diperbarui: 14 Mei 2024   11:37 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andrea Pirlo, Maestro Deep-Lying Playmaker (Foto: X.com)

Jakarta -- Apa yang harus dikatakan ketika Timnas Indonesia U23 harus menyerah 0-1 dari Guinea pada babak play-off untuk merebut tiket ke Olimpiade Paris 2024, Kamis malam (9/5/2024) di Stadion INF Clairefontaine, Perancis?

Meskipun harus diakui tim nasional Indonesia U23 rapuh karena absennya dua bek tengah andalan, kapten Rizky Ridho dan Justin Hubner, namun apabila dianalisis, sangat jelas ada tanggung jawab Shin Tae-yong (STY) yang 'keukeuh' menempatkan Marselino Ferdinan sebagai deep-lying playmaker.

STY mengulang kegagalan menempatkan Marselino Ferdinan sebagai deep-lying playmaker ketika kalah 1-2 melawan Irak pada pertandingan perebutan tempat ketiga Piala Asia U23 di Qatar, pekan lalu (2/5/2024).

Irak tidak setangguh Uzbekistan yang menerapkan pressing tinggi hingga di garis pertahanan Indonesia. Namun sayangnya saat melawan Irak, STY justru menempatkan Marselino Ferdinan di depan Ivar Jenner sebagai pembagi bola sekaligus bertanggung jawab untuk melapis pertahanan.

Saat melawan Irak, untuk menggantikan posisi Rizky Ridho yang absen, STY menarik mundur Nathan Tjoe-a-on ke posisi center-back, sedangkan posisi Nathan di double-defensive midfielder bersama Ivar Jenner justru diisi Marselino. Ini adalah kekekeliruan yang menentukan dalam strategi permainan sepak bola, sehingga Indonesia harus kalah dari Irak, padahal Indonesia sempat unggul 1-0.

Hal yang mengejutkan adalah, STY kembali memasang Marselino Ferdinan sebagai deep-lying playmaker di depan Ivar Jenner ketika menghadapi Guinea, dengan tugas 50 persen membagi bola dengan cepat dan 50 persen melapis pertahanan. Entah mengapa STY mengulangi kembali kegagalan strategi sebelumnya.

Padahal STY tahu betapa banyaknya pendukung tim nasional Indonesia yang 'menyerang' Marselino yang bermain tanggung dan tidak seagresif biasanya ketika melawan Irak. Sesungguhnya, bukan Marselino yang bermain buruk, tetapi ia tidak nyaman karena tidak bermain di posisi terbaiknya sebagai attacking midfielder bersama Witan Sulaeman dan striker Rafael Struick!

Pengulangan kesalahan strategi formasi dan komposisi oleh STY saat melawan Guinea diyakini akan kembali menurunkan kepercayaan publik terhadapnya. Bukan soal ia telah berhasil membawa timnas U23 ke semi-final Piala Asia U23, tetapi hakikatnya, ia telah membuang peluang besar lolos ke Olimpiade hanya karena ia mengambil keputusan berulang yang salah, dan sebenarnya ia menyadarinya!

Attacking-Midfielder

Sejak Garuda Muda bertanding di Piala Asia U23 melawan Qatar, Australia, Yordania, Korea Selatan, dan Uzbekistan, jutaan orang menyaksikan dengan jelas, Marselino adalah attacking-midfielder (gelandang agresif), dan kerja sama dia dengan Witan Sulaeman dan Rafael Struick selalu menyulitkan lawan.

Shin Tae-yong ubah komposisi pemain  (Foto: ANTARA)
Shin Tae-yong ubah komposisi pemain  (Foto: ANTARA)
Sayang seribu sayang, ketika melawan Irak, untuk mengisi posisi Nathan Tjo-a-on yang harus mundur ke belakang untuk mengisi pos Rizky Ridho, STY justru menarik mundur Marselino ke belakang sebagai deep-lying playmaker, sedangkan posisi Marselino di depan diisi Kelly Sroyer.

Meskipun Marselino memiliki skill di atas rata-rata dan kepercayaan diri tinggi, namun menempatkan anak muda itu sebagai gelandang untuk mempercepat transisi dari bertahan ke menyerang, sebagai pembagi bola sekaligus bertanggung jawab untuk menjadi lapisan pertama pertahanan saat kehilangan bola, tugas itu pasti sangat berat.

Kehilangan Marselino sebagai gelandang agresif juga telah mengubah alur serangan Indonesia di lini depan, karena Rafael Struick dan Witan Sulaiman kehilangan tandem sehati, dan chemistry ketiganya sudah lama terbentuk.

Tentu tidak salah menempatkan Kelly Sroyer sebagai striker yang diapit Struick dan Witan saat melawan Irak, namun ketiadaan Marselino Ferdinan sebagai attacking-midfielder sejatinya membuat Indonesia kehilangan momentum untuk mencetak banyak gol di babak pertama saat melawan Irak. Padahal Indonesia menguasai permainan.

Andai saja STY lebih jeli, lebih logis, dan tidak 'merusak' trio lini depan Indonesia yang justru hasil 'ciptaannya', rasanya tidak sulit untuk mencetak dua gol ke gawang Irak di babak pertama. Apalagi, STY sebenarnya memiliki dua pemain yang lebih tepat untuk mengisi posisi gelandang bertahan mendampingi Ivar Jenner, yaitu Rayhan Hannan atau Ikhsan Zikrak.

Sejatinya, sebagai pelatih profesional yang sudah memiliki pengalaman luas, STY seharusnya menyadari bahwa ia telah keliru menempatkan Marselino sebagai deep-lying playmaker saat melawan Irak, dan seharusnya ia tahu, ketika ia kembali menempatkan Marselino tidak di posisi aslinya sebagai gelandang agresif saat melawan Guinea, maka itu adalah sebuah kesalahan besar!

Andai saja Marselino kembali ke posisi attacking-midfielder bersama Struick dan Witan Sulaeman, lalu menempatkan Rayhan Hannan sebagai double-pivot bersama Ivar Jenner, alur serangan Indonesia pasti lebih tajam, apalagi mereka memiliki kerja sama bagus dengan Pratama Arhan. Dengan serangan yang tajam dan kerja sama yang solid, Guinea tidak akan leluasa menekan Indonesia.

Deep-Lying Playmaker

Pemain di posisi deep-lying playmaker sesungguhnya merupakan pemain yang langka, dengan tugas yang berat, yang sejatinya harus diemban pemain yang sudah matang secara mental. Nama-nama Jorginho, Mezut Ozil, Andrea Pirlo, Zinedine Zidan, Fernandinho, atau Philip Lahm adalah beberapa nama yang menjadi trade mark di posisi ini.

Andrea Pirlo, Maestro Deep-Lying Playmaker (Foto: X.com)
Andrea Pirlo, Maestro Deep-Lying Playmaker (Foto: X.com)
Pirlo sebelumnya juga seorang gelandang agresif (attacking midfielder), sama seperti Marselino, namun di klub Brescia (Italia) waktu itu ada nama Roberto Baggio yang memiliki karakter sama. Pelatih Brescia, Carlo Mazzone, kemudian menemukan posisi yang cocok untuk Pirlo di belakang Baggio,  namanya deep-lying playmaker. Dan Pirlo benar-benar sukses menjadi pembagi bola sekaligus menjadi benteng pertama pertahanan.

Untuk pemain Indonesia saat ini sebagai contoh, beberapa pemain yang memiliki tipikal sebagai deep-lying playmaker, di antaranya adalah Marc Klok, Syahrian Abimanyu, Ananda Raehan atau Taufani Muslihuddin. Sejujurnya, Nathan Tjoe-a-on boleh dibilang berhasil mengemban tugas itu ketika Indonesia U23 mengalahkan Korea Selatan.

Deep-lying playmaker harus memiliki visi bermain cerdas, mampu menghitung berbagai kemungkinan saat ia memegang bola, dan selalu merencanakan serangan cepat. Ia harus mampu mengetahui pergerakan kawan dan membaca permainan lawan, sehingga bisa mengirim dan menempatkan bola dengan cepat dan tepat, yang membuat lawan sulit untuk membangun formasi bertahan.

Pemain ini harus mengalirkan bola dari belakang dengan cepat, dengan umpan-umpan akurat, dan tidak boleh gagal! Melalui pemain ini transisi dari bertahan ke menyerang berjalan lebih cepat. Namun pemain tipe ini harus berpikir dua kali untuk masuk ke kotak penalti lawan, hal ini karena ia bertanggung jawab menjadi benteng pertama ketika timnya kehilangan bola. Inilah yang menyulitkan posisi Marselino. Tentu saja, tanpa ada Marselino, maka ketajaman Struick dan Witan Sulaeman hilang. 

Karena itu, tanpa menyadari bahwa Marselino tidak bermain di posisi terbaiknya sebagai gelandang agresif, jutaan penggemar sepak bola Indonesia bisa menyaksikan betapa tidak lepasnya permainan Marselino, sering ragu, kadang-kadang egois, dan kerja sama yang tajam dan indah dengan Struick dan Witan benar-benar tidak terlihat.

Komposisi Tiga Bek

Apabila dianalisis lebih mendalam, STY juga sepertinya keliru dalam meracik komposisi pemain tiga bek sejajar saat melawan Guinea, sehingga jantung pertahanan Indonesia selalu terancam karena para pemain melakukan berbagai kesalahan yang benar-benar mendasar. Harus diakui secara jujur, Guinea seharusnya menang lebih dari dua gol.

Nathan Tjoe-a-on gagal perankan center-back (Foto: PSSI)
Nathan Tjoe-a-on gagal perankan center-back (Foto: PSSI)
Komposisi trio center-back Komang Teguh (kiri), Nathan Tjo-a-on (tengah) dan Muhammad Ferarri (kanan) benar-benar tidak mampu bekerja sama dengan solid. Berkali-kali ketiganya melakukan salah oper, penempatan posisi yang tanggung, dan ketika terjadi serangan balik, ketiganya tidak hadir, sehingga Witan terpaksa menjegal pemain di kotak penalti, dan menjadi satu-satunya gol yang tercipta.

Cukup mengherankan ketika STY menempatkan Nathan Tjo-a-on di tengah, padahal ia adalah pemain left full-back/left wing-back. Komang Teguh juga seharusnya ada di posisi center-back kanan sebagaimana biasanya, sedangkan  Muhammad Ferarri lebih tepat yang berada di tengah karena ia adalah kapten timnas U20 yang berpengalaman sebagai bek tengah.

Namun bagaimanapun, pertandingan melawan Guinea telah selesai, dan mereka harus diakui lebih berhak menang. Guinea unggul secara statistik, juga unggul secara fisik dan mental, sebaliknya Indonesia kehilangan dua pilar utama di pertahanan. Bagaimanapun, timnas U23 Indonesia secara fisik dan mental tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengalahkan Guinea. 

Para pemain dan pelatih Indonesia U23, secara fisik dan mental, sepertinya sedang dilanda kelelahan yang luar biasa, seperti juga dikakui oleh STY. Bagaimanapun, enam kali bertanding terus menerus dalam tiga pekan terakhir Piala Asia U23, telah menguras fisik dan mental pemain.

Bandingkan dengan Guinea yang sudah lebih dahulu menyelesaikan turnamen Piala Afrika U23 pada Juli 2023 lalu ketika kalah dari Mali dalam perebutan tempat ketiga. Hampir setahun yang lalu! Lebih dari itu, ekspektasi tinggi dari penggemar sepak bola Indonesia juga diyakini turut memberikan tekanan berat kepada ofisial dan pemain.

Tekanan pikiran, emosi/perasaan dan kelelahan fisik tampaknya amat mengganggu kesehatan mental para pemain, termasuk STY sebagai pelatih utama. Kesehatan mental menjadikan respon dan pengambilan keputusan tidak tepat, fokus dan pengamatan berkurang, termasuk kepercayaan diri yang menurun, sehingga sangat wajar apabila itu memengaruhi perilaku pemain di lapangan.

Tentu tidak heran apabila pemain belakang Indonesia saat melawan Guinea sering salah oper, tidak fokus, perhitungan tidak cermat, dan tidak tepat dan cepat dalam mengambil keputusan. Hal sama berlaku dengan STY yang tidak mampu mengendalikan emosi sehingga mendapat kartu merah. Itu semua menyangkut kesehatan mental, gangguan mental, akibat kelelahan fisik dan tekanan psikis yang berat. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun