Jakarta - Perang Rusia- Ukraina merupakan aksi fisik yang melibatkan pasukan bersenjata kedua negara, yang menimbulkan korban jiwa ribuan orang dan melahirkan krisis kemanusiaan dengan terjadinya pengungsian lebih dari 3,5 juta warga Ukraina. Perang juga menghancurkan ratusan rumah dan bangunan.
Perang memiliki banyak dimensi, tergantung dari mana melihatnya. Namun yang pasti, perang adalah kondisi permusuhan antara dua kelompok manusia untuk merebut dominasi wilayah dengan menghancurkan musuh sebanyak-banyaknya.
Menurut pejabat militer AS, masuknya pasukan militer Rusia ke wilayah Ukraina merupakan invasi yang bertujuan untuk menguasai wilayah Ukraina dan menjatuhkan pemerintahan sah yang berkuasa.
Dalam sejarah perang di dunia, sebagaimana dikemukakan ahli hukum humaniter internasional asal Swiss, Jean Pictet, dalam 5600 tahun terakhir sejarah tertulis manusia, umat manusia pada kenyataannya hanya menikmati masa damai tidak lebih dari 250 tahun. Dalam kurun waktu itu tercatat sudah terjadi lebih dari 14.600 kali perang, dengan situasi, eskalasi, dan derajat yang berbeda.
Dari catatan itu, manusia tampak sangat sering terlibat dalam berbagai konflik, pertentangan, permusuhan, dan perang. Melalui perang, manusia juga bisa dibilang sangat ulung dalam melahirkan penderitaan bagi sesama.
Inilah watak asli manusia dengan karakter antagonis yang nyata. Meskipun manusia dinyatakan sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan Tuhan di bumi, namun ketika manusia memiliki kekuasaan, makhluk mulia yang memiliki akal dan napsu ini bisa menjadi makhluk paling berbahaya dan pembunuh paling kejam.
Perang dapat mengakibatkan penderitaan, kesedihan dan kemiskinan yang berkepanjangan bagi banyak manusia, juga kerugian harta dan benda tak terhitung. Namun, manusia tidak pernah berhenti untuk terus bermusuhan.
Secara teori, penyebab terjadinya perang antar-negara karena adanya perbedaan ideologi dan kepentingan, keinginan memperluas wilayah kekuasaan, dan perampasan sumberdaya alam. Meskipun tidak disebutkan, patut diduga, invasi Rusia ke Ukraina memuat motif yang tidak jauh dari kepentingan untuk merebut dan memperluas kekuasaan.
Motif itu setidaknya telah dibuktikan dengan aneksasi Rusia terhadap wilayah Republik Otonomi Krimea dan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Republik Rakyat Donets dan Republik Rakyat Luhansk.
Dua syarat dari beberapa syarat yang dikemukakan Vladimir Putin untuk menghentikan perang adalah pengakuan Ukraina bahwa Krimea sudah menjadi bagian dari Negara Federasi Rusia, kemudian Republik Donets dan Luhansk telah menjadi negara merdeka dan bukan lagi bagian dari Ukraina.
Faktor Individu Vladimir Putin
Meskipun konflik itu mewakili dan mengatasnamakan dua negara, Rusia dan Ukraina, sesungguhnya ada faktor dominan yang menentukan di balik terjadinya perang, khususnya Rusia yang memulai melakukan invasi ke Ukraina. Faktor dominan itu adalah individu pemimpin Rusia, Vladimir Putin.Â
Dalam teori Ilmu Negara, faktor (siapa) pemimpin (tertinggi) dalam organisasi akan sangat menentukan arah, kemajuan dan keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini negara. Pemimpin tertinggi negara adalah individu sebagai pengambil keputusan tertinggi dan terakhir, memiliki hak dan kewenangan terbesar dan menentukan, yang diatur konstitusi negara.
Apa pun bentuk negara Rusia, negara kesatuan atau negara federasi, atau apa pun bentuk pemerintahan Rusia, apakah otokrasi, monarki, oligarki, republik demokratis atau sosialis, satu faktor penentu dalam keberhasilan mencapai tujuan negara adalah, siapa pemimpinnya.
Juga tidak peduli apa sistem pemerintahan Rusia, apakah presidensial, parlementer, semipresidensial, komunis, atau demokrasi liberal, tetap saja keputusan perang ada di tangan pemilik tertinggi kekuasaan, Vladimir Putin.
Meskipun invasi ke Ukraina diputuskan bersama oleh Presiden Rusia dan Majelis Federasi (semacam MPR) serta didukung Dewan Federasi (semacam DPD) dan Duma Negara (DPR), namun tidak bisa disangkal, keputusan invasi Rusia lebih ditentukan oleh Vladimir Putin yang memiliki kekuasaan besar sebagai presiden. Tanpa perintah dan permintaan Putin, invasi ke Ukraina tidak akan terjadi. Tanpa Putin, konflik Rusia-Ukraina tidak akan pernah ada.
Apalagi Vladmir Vladmirovich Putin adalah presiden terlama dalam sejarah pemerintahan Rusia dan menjadi orang paling berkuasa di Rusia dalam 20 tahun terakhir. Putin menjadi presiden empat periode, yaitu 2000-2004, 2004-2008, 2012-2018 dan periode 2018-2024. Sedangkan pada kurun waktu 2008-2012, Putin menjadi perdana menteri ketika Dmitry Medvedev menjadi presiden.
Dua Wajah "Dewa Janus"
Sesungguhnya dalam setiap konflik politik yang menyangkut kekuasaan, setiap individu pemimpin, dalam hal ini Vladimir Putin, menampilkan dua wajah yang saling bertentangan. Dua wajah yang mukanya saling membelakangi itu menggambarkan dua watak manusia yang ambivalen ketika menyangkut kekuasaan.
Menurut guru besar dan ahli Sosiologi Politik Universitas Paris, Maurice Duverger, dalam buku "Sociologie Politique" (Sosiologi Politik), kekuasaan memiliki dua dimensi yang saling bertentangan, dan mengumpamakan kedua dimensi kekuasaan itu sebagai Dewa Janus yang bermuka dua.Â
Dewa Janus adalah salah satu dewa dalam mitologi Yunani yang mempunyai dua muka yang menghadap ke arah yang berlawanan, sebagaimana dalam suasana kontradktif dan ambivalen.
Menurut Duverger, bilamana seorang pemimpin menganggap politik sebagai upaya untuk menegakkan keadilan dan ketertiban, maka kekuasaan merupakan pelindung bagi masyarakat dan bagi lahirnya kesejahteraan manusia. Melalui paradigma ini kekuasaan memainkan peranan integratif dan melindungi kepentingnan bersama.
Namun pada sisi wajah yang lain, ketika melihat politik sebagai arena pertarungan kekuasaan, maka kekuasaan adalah biang konflik untuk menguasai dan menghancurkan lawan. Dua wajah kekuasaan Dewa Janus ini setidaknya dapat menjadi referensi untuk menganalisis langkah, tindakan dan keputusan Putin yang melakukan invasi ke Ukraina.
Dua wajah kekuasaan Vladimir Putin yang ambivalen dalam konflik Rusia-Ukraina, jika diteliti secara seksama, benar-benar seperti Dewa Janus yang bermuka dua, namun memiliki watak yang saling berlawanan.
Ketika ia menyatakan ingin melindungi rakyat Rusia di wilayah Ukraina dari ancaman tentara Ukraina yang disebutnya sebagai tentara Neo Nazi, Putin mengirim pasukan bersenjata untuk menguasai Krimea, mendukung pemberontak di wilayah Donets dan Luhansk, dan membombardir kota-kota di Ukraina dengan senjata berat.
Inilah dua wajah kekuasaan Putin. Satu wajah menampilkan hasrat mulia untuk melindungi rakyat Rusia dari ancaman musuh, sedangkan satu wajah kekuasaan lain memperlihatkan ambisi dan napsu kekuasaan untuk menghancurkan musuh dan menguasai Ukraina.
Keinginan dan harapan Putin untuk melindungi rakyat Rusia dari ancaman tentara Neo Nazi Ukraina, justru menimbulkan konflik bersenjata berkepanjangan, menewaskan ribuan orang dan melahirkan penderitaan dan krisis kemanusiaan.
Menurut Duverger, dalam setiap konflik kekuasaan, seorang pemimpin negara akan selalu menampilkan dua wajah yang kontradiktif. Cukup banyak bukti, ketika negara ingin melindungi rakyatnya dari ancaman musuh, maka salah satu cara yang harus ditempuh adalah memperkuat pertahanan dan persenjataan negara, atau bahkan menghancurkan pihak lain yang akan mengancam keamanan negara.
Meskipun langkah Presiden Putin tidak untuk dinilai benar atau salah, namun wajar apabila Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina memperlihatkan wajah Rusia yang tidak memiliki bahasa humanism.
"Ini adalah suara tirai besi, dan yang membedakan Rusia dari dunia yang beradab," kata Zelensky.
Ia juga menyatakan, invasi Rusia merupakan tindakan genosida dan ingin membelah Ukraina seperti Korea. Putin juga dituding, dengan kekuasaan di tangannya, ia sesungguhnya tidak berniat untuk melindungi manusia dan membawa kedamaian, namun justru menembakkan rudal, bom, dan berupaya menghapus Ukraina dari muka bumi. Bahkan langkah Putin membuat Rusia kini telah dilabeli sebagai 'negara yang jahat dan melanggar hukum internasional serta membahayakan dunia'.
Pangkalan militer
Invasi Rusia juga ternyata melahirkan banyak spekulasi baru, karena lanjutan dari aneksasi Krimea dan dukungan terhadap kemerdekaan Donets dan Luhansk, ternyata diikuti langkah mengejutkan lain dari Putin, yaitu ingin membangun pangkalan militer di wilayah Donetsk dan Luhansk, sebagai pusat operasi penjaga perdamaian.
"Ukraina timur adalah bagian dari sejarah Rusia kuno. Mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Donetsk dan Republik Luhansk seharusnya sudah dilakukan sejak lama," kata Putin.
Rencana membangun pangkalan militer di Donets dan Luhansk sesungguhnya bukan hal mengejutkan, dan sudah dapat ditebak, meskipun sebelumnya tidak pernah dinyatakan.
Bahkan mudah diduga, ide pambangunan pangkalan militer di Donets dan Luhansk, serta langkah aneksasi Krimea, sangat mungkin telah dirancang sejak lama, terutama terkait kemarahan dan kecemasan Putin melihat gerakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, yang sejak 1999 mulai 'menguasai' Eropa Timur.
Negara-negara eks Sovyet satu demi satu masuk NATO, padahal sebelumnya merupakan sekutu Rusia dalam aliansi Pakta Warsawa untuk menandingi NATO, dan kenyataan itu bisa jadi membuat Rusia sangat terancam.
Polandia, Republik Ceko, Hongaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Bulgaria, Rumania kemudian Albania berturut-turut masuk aliansi. Disusul negara-negara pecahan eks Yugoslavia, yaitu Slowakia, Slovenia, Kroasia, Montenegro, dan Macedonia Utara.
Kecemasan dan ketersinggungan Putin tampaknya semakin memuncak, ketika Ukraina pada 15 Februari 2022 menyatakan ingin segera masuk NATO, dan sangat mungkin diikuti Georgia.
Sikap Vladimir Putin yang kontradiktif dan ambivalen dalam setiap langkah dan keputusannya melakukan invasi ke Ukraina sebenarnya mudah dipahami. Keputusan besar Putin menganeksasi Krimea, mengakui kedaulatan Donets dan Luhansk, dan menyerang Ukraina, dipastikan memiliki alasan yang kuat dengan perencanaan dan pertimbangan yang matang. Â
Tentu bukan salah Putin ketika harus memiliki dua wajah kekuasaan dalam langkah dan keputusannya untuk melindungi warga Rusia dari ancaman tentara Ukraina dan melindungi keamanan negaranya dari ancaman AS dan sekutunya yang berhasil menyatukan negara-negara eks Sovyet ke dalam aliansi NATO.
Bagaimanapun, Vladimir Putin harus memberikan peringatan kepada AS dan sekutunya, bahwa mencaplok Krimea, mendukung kemerdekaan Donets dan Luhansk, rencana mendirikan pangkalan militer, dan menyerang Ukraina untuk melakukan demiliterisasi, merupakan upaya perimbangan kekuatan yang dianggap setimpal setelah kekuasaan NATO semakin mendekati wilayah Rusia. (yss)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H