Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Persela Lamongan, yang Terhempas dan yang Jatuh

24 Maret 2022   02:36 Diperbarui: 24 Maret 2022   09:37 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Choirul Huda (Foto: bola.kompas.com)

Yuhronur Effendi (Foto: Antara)
Yuhronur Effendi (Foto: Antara)

Setelah Fadeli tidak lagi menjadi bupati tahun 2021, Yuhronur Effendi justru memenangi Pilkada dan menjadi Bupati Lamongan (2021- 2024). Yuhronur-lah yang kemudian menggantikan Fadeli mengurusi semua kepentingan Persela. 

Sayangnya, ketika pengelolaan Persela tak kunjung diserahkan kepada orang-orang profesional, Persela harus terhempas karena kalah bersaing dengan klub-klub kuat dengan manajemen yang solid.

Sungguh amat sulit untuk membayangkan ketika klub yang tidak memiliki modal besar, belum berakar kuat di dunia komersial, dan tidak memiliki usaha yang menguntungkan, harus menyiapkan dana setidaknya Rp 30 miliar untuk mengarungi satu musim kompetisi.

Kultur klub 

Sebenarnya, harus ada keputusan penting ketika Persela mengarungi kompetisi yang keras, yaitu mengubah kultur lama yang selalu bergantung kepada anggaran APBD. 

Jalannya sudah jelas, harus memiliki modal besar, membeli pemain dan pelatih bagus, melengkapi infrastuktur, menyerahkan pengelolaan klub kepada orang-orang profesional, menjalankan prinsip-prinsip bisnis, dan bersaing untuk meraih prestasi.

Ketika klub berhasil meraih prestasi dan memiliki nama besar, maka bukan hanya penonton yang akan datang, namun kalangan dunia usaha juga akan menghampiri secara otomatis. Itulah hukum bisnis sepak bola.

Sangat banyak contoh klub yang berjuang dan berdarah-darah untuk mempertahankan nama dan reputasi klub. Persija Jakarta setidaknya harus menyiapkan Rp 50 miliar setiap musim, Bhayangkara FC sekitar Rp 40 miliar, dan Sriwijaya FC harus keluar dana Rp 19 miliar hanya untuk membeli pemain.

Contoh terakhir, Persis Solo menggelontorkan Rp 40 miliar untuk membeli pemain, meraih brand dan nama baik, mencetak prestasi, dan sukses menjadi juara Liga 2 dan promosi ke Liga 1. Ketika nama baik dan reputasi klub sudah terangkat tinggi, maka usaha komersialisasi klub lebih mudah dilakukan.

Lihatlah Persija Jakarta yang mendapat Rp 35 miliar dari logo-logo komersial yang menempel di kaos pemain, juga Persib Bandung yang berhasil menarik 18 mitra komersial, yang konon meraup tidak kurang dari Rp 150 miliar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun