Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Wartawan Foto ANTARA Berkisah Lewat Buku

10 Maret 2022   15:40 Diperbarui: 10 Maret 2022   15:55 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aditia Irawati, Audy Mirza Alwi dan Oscar Motuloh (Foto: dokumen pribadi Audy Mirza Alwi)

Jakarta -- Wartawan foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang sudah purna bhakti, Audy Mirza Alwi, meluncurkan buku "Linimasa Pewarta Foto Kantor Berita", yang mengisahkan pengalaman dan perjalanan karirnya sebagai wartawan foto. Peluncuran buku dilaksanakan di Hotel Kuretakeso, Jakarta Selatan, Rabu (9/3/2022).

Acara peluncuran buku dimeriahkan diskusi bertajuk "Sinergi Pewarta Foto dengan Narasumber" yang menghadirkan pembicara mantan wartawan foto ANTARA dan kurator foto Oscar Motuloh dan GM External Corcom Telkomsel Aldin Hasyim. Moderator diskusi adalah Kokok Dirgantoro (Founder & CEO Opal Communication). Dua acara itu dibuka resmi Staf Khusus Menteri Perhubungan Aditia Irawati.

Buku "Linimas Pewarta Foto ANTARA" bisa disebut sebagai buku otobiografi Audy Mirza Alwi sebagai pewarta foto dan editor foto (1990-2020). Puluhan foto karyanya, dari yang bersifat human interest hingga foto liputan Istana Keperesidenan RI, olahraga, seni budaya, ekonomi, sosial, politik, demo, termasuk foto event pariwisata, dimuat di buku yang tebalnya 158 halaman itu.

Buku diterbitkan Penerbit Bumi Aksara Jakarta, dengan editor Priyambodo RH. Di buku itu ada sambutan (mantan) Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA Parni Hadi dan catatan dari pewarta foto/kurator foto Oscar Motuloh.

Bagaimana Audy berkisah? Ia bercerita, bukunya dibuat menjelang dirinya pensiun sebagai wartawan foto dan redaktur foto ANTARA pada April 2020. "Karena pandemi Covid-19, saya di rumah terus. Saya coba menulis pengalaman dan perjalanan saya sebagai pewarta foto, sejak saya ikut tes seleksi hingga pensiun di ANTARA," katanya. 

Ia berterus terang senang dan bangga memiliki profesi sebagai wartawan foto, apalagi bekerja di perusahaan media massa besar milik bangsa dan negara Indonesia, yaitu Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA, yang memberikannya keleluasaan dan kreativitas tak terbatas, termasuk dukungan peralatan dan perlengkapan fotografi yang memadai.

"Setelah lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo, saya mencari-cari lowongan kerja wartawan, sampai kemudian menemukan iklan lowongan di sebuah koran, dan langsung melamar," kisah Audy yang pernah bekerja sebagai reporter majalah Golf Indonesia saat kuliah.

Kemudian ia mendapat panggilan mengikuti tes tertulis di Gedung Lembaga Pendidikan Jurnalistik  ANTARA (LPJA) Pasar Baru, Jakarta, 17 April 1989, dengan materi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Imu Pengetahuan Umum. Jumlah pelamar yang mengikuti tes tertulis waktu itu 299 orang. Ia dan seluruh pelamar juga menjalani tes psikologi.

"Ternyata lowongan yang saya lamar adalah Pewarta Foto di Kantor Berita Nasional ANTARA. Tentu saya tahu ANTARA, karena sebelumnya pernah mengajukan permohonan praktik kerja untuk kuliah akhir sarjana muda," kata Audy yang kini berusia 60 tahun dan memiliki satu istri dan dua putra.

Satu bulan kemudian, Mei 1989, ia mendapat pemberitahuan bahwa ia dan empat pelamar lainnya dinyatakan lulus tes tertulis, dan harus mengikuti tes wawancara, tes berbicara dalam bahasa Inggris, dan tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. 

"Alhamdulillah, setelah melalui berbagai tes cukup berat menurut saya, dari 299 pelamar, saya dan empat rekan saya seangkatan dinyatakan lulus, dan harus menjalani pendidikan Kursus Dasar Jurnalistik Foto ANTARA selama tujuh bulan," kata Audy.

Audy lulus bersama empat rekan seangkatannya, yaitu Agus Baharuddin, Aris Budiman, Hermanus Prihatna, dan Yayat S. Soelaeman. Namun menjelang dimulainya pendidikan Agus Baharuddin mengundurkan diri karena diterima bekerja di perusahaan lain.

Menurut Oscar Motuloh, yang saat seleksi saat itu sudah menjadi wartawan foto ANTARA, Audy dan tiga rekannya calon wartawan foto, merupakan generasi pertama wartawan foto ANTARA yang mendapat pendidikan lengkap, tidak hanya mendapat pelatihan dan pendidikan teori dan praktik fotografi, tetapi juga memperoleh pendidikan ilmu jurnalistik secara luas.

"Awal tahun 1989 itu Pak Parni Hadi yang menjadi Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi ANTARA menginginkan seluruh wartawan baru ANTARA memiliki kualitas tinggi, termasuk membentuk tim wartawan foto yang tidak hanya ahli memotret, tetapi juga memiliki wawasan jurnalistik yang luas. Artinya wartawan foto yang bisa menulis berita sama baiknya," kata Oscar Motuloh.

Dalam bukunya Audy bercerita bagaimana ia dan tiga rekannya belajar teknik menulis berita, wawancara, editing, riset sebelum menulis berita, hukum pers, opini publik, dan Bahasa Indonesia Jurnalistik. Ia juga belajar pengetahuan fotografi, termasuk pengenalan kamera, lensa, teknik memotret, teknik mencuci film dan mencetak foto (teknik kamar gelap).

Tahun 1989, Biro Foto ANTARA masih menggunakan film hitam putih untuk  memotret, dan wartawan foto mencuci dan mencetak foto sendiri dengan alat enralger, kemudian foto dikirimkan ke seluruh media massa (koran) di seluruh Indonesia.

Setelah menjalani Kursus Dasar Pewarta Foto, Audy dan tiga rekannya dinyatakan lulus, dan diangkat menjadi pegawai tetap Kantor Berita ANTARA sebagai pewarta foto. Oscar menjelaskan, setelah dinyatakan lulus, keempat wartawan foto itu menjadi tulang punggung Biro Foto ANTARA, dan foto-foto yang dihasilkan juga menjadi beragam, tidak hanya foto seremonial peresmian dan rapat-rapat.

"Dulu kami di kalangan pewarta foto menyebutnya dengan istilah foto 'Saltan Gong', yaitu foto yang gambarnya berisi orang-orang sedang salaman, tanda tangan, dan memukul gong," kata Oscar sambil tersenyum.

Kehadiran generasi pertama wartawan foto terdidik dan memiliki wawasan jurnalistik menjadikan foto-foto produksi ANTARA menjadi bervariasi, mulai dari foto features, human interest, foto lomba dan pertandingan olahraga, aksi-demo, pementasan seni budaya, lingkungan, dan foto kehidupan sehari-hari. Bahkan foto seremonial pun angle-nya lebih menarik.

Wartawan Istana

Sepertinya Audy Mirza Alwy memanfaatkan buku "Linimasa Pewarta Foto Kantor Berita" ini sebagai media dan ruang untuk bercerita, dengan gaya bertutur, sebuah linimasa perjalanan karirnya selama 30 tahun sebagai pewarta foto. Bahkan beberapa kali ia sangat detil, seolah-olah ingin menuangkan semua kisah, sekecil apa pun, untuk dibagikan kepada pembacanya.

Tentu menyenangkan dan membanggakan baginya ketika perjalanan karirnya sebagai wartawan foto ANTARA, dengan tugas-tugas liputan besar dan penting, ikut mewarnai perjalanan hidupnya, bahkan sedikit banyak berperan dalam membentuk kepribadian, karakter, dan mungkin pandangan hidupnya.

Kisah liputan event internasional bulutangkis Piala Thomas dan Piala Uber di Kuala Lumpur (1992) dan pesta olahraga multi-event Bangsa-bangsa Asia Tenggara (SEA Games) di Singapura (1993), dapat dibaca di buku ini, termasuk liputan peristiwa politik, ekonomi dan budaya, serta liputan feature reporting event pariwisata di berbagai daerah.

Tahun 1993 menjadi titik penting perjalanannya sebagai wartawan foto, ketika ia mendapat tugas sebagai wartawan foto di Istana Keperesidenan RI. Sebagai wartawan istana, Audy memiliki pengalaman sangat banyak, karena mengalami masa-masa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.

Penugasan sebagai wartawan Istana Kepresidenan RI juga membuatnya bisa menjelajahi berbagai negara mengikuti kunjungan kenegaraan, termasuk meliput Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik (APEC) di Manila (1996), Bandar Seri Begawan (2000), dan Bangkok (2003).

Sebagai wartawan istana, Audy juga memiliki kesempatan langka meliput pemakaman Ibu Tien Soeharto (1996), peristiwa lengsernya Soeharto di Istana Merdeka pada 21 Mei 1998, termasuk pelantikan BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI.

Buku Fotografi

Buku "Linimasa Pewarta Foto Kantor Berita" sesungguhnya bukan hanya mengisahkan perjalanan Audy sebagai wartawan foto, tetapi juga memuat perkembangan dunia fotografi yang saat ini sudah di era foto digital, termasuk perkembangan perlengkapan dan peralatan kamera, flash, lensa, dan mesin pengirim foto jarak jauh.

Termasuk pengalaman memotret yang dimulai dengan kamera manual dan lensa 50mm sampai memotret dengan kamera canggih yang mampu mengambil 10 foto atau 20 foto lebih per detik. Ditulis juga pengalaman menggunakan film gulungan hitam putih, teknik kamar gelap, mencuci hingga mencetak foto sendiri, hingga penggunaan film dalam bentuk digital.

Peluncuran buku (Foto: Yayat S. Soelaeman)
Peluncuran buku (Foto: Yayat S. Soelaeman)
Ada juga cerita perkembangan kecanggihan kamera yang dilengkapi berbagai fitur, misalnya self timer, interval timer, long exposure timer, exposure count, termasuk framing object, pengaturan resolusi, aspek rasio, titik fokus, review, dan berbagai fitur pendukung lain. Termasuk perkembangan lensa, mulai dari lensa makro, fix-lens, tele-lens, zoom-lens, bahkan wide-lens hingga 16mm, dengan pengaturan cahaya otomatis.

"Dengan berkembangnya jenis-jenis lensa, kemampuan wartawan foto untuk memotret objek pun menjadi lebih baik dan mampu menghasilkan foto-foto lebih berkualitas dan lebih tajam, dan teknik-teknik memotret pun semakin berkembang," kata Audy.

Ia juga bersyukur di zamannya, Kantor Berita ANTARA, memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi wartawan foto untuk mengembangkan kreativitas, bukan hanya menghasilkan foto-foto seremonial dan foto-foto hard-news, namun juga foto-foto features yang bercitarasa seni dan human-interest.

Sejarah Foto Jurnalistik

Bahkan dalam bukunya, Audy bercerita mengenai perkembangan Biro Foto ANTARA sebagai satu unit kerja yang menjadi bagian dari Redaksi ANTARA yang memproduksi foto-foto berita untuk para pelanggan. Bukan hanya pelanggan media massa, tetapi juga perusahaan dan perorangan.

Perkembangan Biro Foto ANTARA dapat dikatakan menjadi kisah penting tersendiri dalam buku ini, karena keberadaannya mampu mewarnai sejarah perkembangan fotografi Indonesia. Selain menjadi penyedia produk foto dalam dan luar negeri (Reuters dan AFP), Biro Foto ANTARA juga memiliki Lembaga Pendidikan Jurnalistik (LPJA) dan Galeri Foto Jurnalistik (GFJA).

LPJA merupakan institusi pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas dan wawasan para wartawan, wartawan foto, dan staf kehumasan, sedangkan GFJA di antaranya memiliki fungsi penting untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap karya seni foto jurnalistik.

"Indonesia pernah memiliki kantor berita foto Press Photo Service atau IPPHOS yang lahir tahun 1946, didirikan kakak-beradik Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur. IPPHOS bahkan lebih tua dibanding Magnum Photos yang berdiri tahun 1947," kata Oscar Motuloh ketika menjadi pembicara dalam diskusi.

Sepertinya Oscar Motuloh, yang menginisiasi pendirian GFJA, memimpikan membangun Biro Foto ANTARA seperti layaknya IPPHOS dan Magnum Photos, sebagai agensi foto jurnalistik (foto berita) di Indonesia. Atau bahkan sekelas agensi foto jurnalistik ternama, Black Star (Photo Agency), yang berkecimpung di foto jurnalistik dunia sejak tahun 1935.

Peserta Diskusi (Foto: Yayat S. Soelaeman)
Peserta Diskusi (Foto: Yayat S. Soelaeman)
Alex dan Frans, pendiri IPPHOS, adalah fotografer jurnalistik Indonesia yang mengabadikan momen Proklamasi Kemerdekaan RI. Foto-foto mereka menjadi satu-satunya yang diterbitkan dari peristiwa bersejarah tersebut. Tak hanya mengabadikan momen langka tersebut, keduanya juga mengabadikan foto ikonik lainnya terkait perjuangan bangsa Indonesia.

Sedangkan Magnum Photos menyediakan foto-foto jurrnalistik dari berbagai isu di banyak belahan dunia, termasuk foto perang paling update, dan banyak mendokumentasikan detail-detail pertumbuhan suatu generasi, para pemuda dan perempuan serta human interest dari seluruh dunia.

Bagi Oscar Motuloh, foto sebagai media komunikasi, harus mampu menceritakan lebih banyak makna tersirat dibanding yang bisa direkamnya. Tak hanya itu, sebuah foto seharusnya mampu menjadi salah satu cara untuk mengabadikan suasana hati dan perasaan seseorang, serta situasi yang pernah terjadi.

"Foto adalah bahasa visual, dan itu milik para wartawan foto," kata Oscar Motuloh, yang mendapat gelar kehormatan sebagai Empu Fotografi Indonesia (semacam Doctor Honoris Causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 2019. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun