Keterbatasan jumlah penumpang, kecepatan yang lambat dan mobilitas masyarakat menjadi alasan bendi tak mampu bertahan menghadapi munculnya beragam moda transportasi yang semakin canggih.
Di satu sisi, bendi menjadi transportasi yang ramah lingkungan, dengan sumber tenaga yang berasal dari kuda akan memberi dampak yang tidak besar terhadap kerusakan lingkungan.
Di beberapa daerah di Indonesia seperti di Jakarta dan Jogja dan beberapa daerah di Sumatra, eksistensi bendi saat ini bertransformasi menjadi kendaraan wisata dan hiburan bagi masyarakat kota dan anak-anak.
Meskipun masih ada yang menggunakan bendi sebagai transportasi umum, namun daya tarik yang semakin menurun akan mengancam keberadaan bendi.
Di Kabupaten Jeneponto tepatnya di Kec. Bangkala, kita masih bisa menyaksikan bendi sebagai transportasi umum yang digunakan oleh masyarakat untuk berbelanja ke pasar Allu.
Meski jumlah bendi tidak terlalu banyak, sebagian masyarakat  di Allu, Bangkala, masih menggunakan bendi hingga saat ini. Bendi hilir mudik setiap hari khususnya di waktu pagi membawa masyarakat berbelanja di pasar Allu.
Alasan yang membuat layanan bendi masih bertahan di wilayah Allu adalah tarif yang mudah dijangkau. Kebanyakan masyarakat yang tinggal berjarak lebih kurang satu hingga dua kilometer dari pasar Allu hanya membayar dua ribu rupiah satu kali rute.
Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh juga membuat penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama dan mampu memuat empat hingga lima orang sehingga layanan transportasi bendi bisa bertahan hinga saat ini.
Sementara di kota Gorontalo, mewarta banthayo.id via kumparan keberadaan bendi  mulai tergantikan dengan keberadaan becak dan becak motor sejak tahun 1997, sehingga bendi yang tersisa tinggal 10 unit dan hanya berada pada titik-titik tertentu di kota Gorontalo.
SementaraÂ